Petisi
Warganegara NKRI untuk Papua (Morning News, 11 April 2013)
Tahukah
anda, jumlah pengolahan tanaman sagu rakyat di Papua bersaing dengan luasan
pengolahan perkebunan kelapa sawit pemerintah?
Oleh
Farsijana Adeney-Risakotta
Selamat pagi sahabat-sahabat Petisi Warganegara NKRI untuk Papua. Salam semangat ya!
Pagi ini Petisi Warganegara NKRI untuk Papua mengangkat Morning News dengan judul "Tahukah anda, jumlah pengolahan tanaman sagu rakyat di Papua bersaing dengan luasan pengolahan perkebunan kelapa sawit pemerintah?" Alasan pembahasan berita dengan tema ini selain masih sejalan dengan dampak kebijakan pembangunan di Papua yang masih menyisakan busung lapar, juga perlu dipikirkan tentang alasan-alasan pengembangan usaha rakyat yang ternyata dilakukan dengan menakuti-nakuti basudara Papua sebagai OPM. Pemahaman yang komprehensif tentang hubungan antara pengembangan ekonomi rakyat untuk kesejahteraannya dengan upaya perdamaian di Papua sangat perlu diketahui oleh sesama warganegara NKRI di seluruh Indonesia.
Kiranya sahabat-sahabat bisa terinspirasi untuk memikirkan mendalam solusi perdamaian di Papua yang menghadirkan keadilan, kesejahteraan dan keamanan sampai di tingkat akar rumput. Salam amalulukee.
Pagi ini Petisi Warganegara NKRI untuk Papua mengangkat Morning News dengan judul "Tahukah anda, jumlah pengolahan tanaman sagu rakyat di Papua bersaing dengan luasan pengolahan perkebunan kelapa sawit pemerintah?" Alasan pembahasan berita dengan tema ini selain masih sejalan dengan dampak kebijakan pembangunan di Papua yang masih menyisakan busung lapar, juga perlu dipikirkan tentang alasan-alasan pengembangan usaha rakyat yang ternyata dilakukan dengan menakuti-nakuti basudara Papua sebagai OPM. Pemahaman yang komprehensif tentang hubungan antara pengembangan ekonomi rakyat untuk kesejahteraannya dengan upaya perdamaian di Papua sangat perlu diketahui oleh sesama warganegara NKRI di seluruh Indonesia.
Kiranya sahabat-sahabat bisa terinspirasi untuk memikirkan mendalam solusi perdamaian di Papua yang menghadirkan keadilan, kesejahteraan dan keamanan sampai di tingkat akar rumput. Salam amalulukee.
Berita selengkapnya sbb:
Tanaman
sagu dikategorikan tanaman keras. Dalam catatan departemen kehutanan
dikategorikan tanaman hutan non kayu. Di
Propinsi Papua, luas hutan sagu, sebagai bagian dari hutan produksi mencapai
4.769.548 Ha. Pemanfaatannya untuk konsumsi masyarakat dengan pengolahan secara
tradisional mencapai 14.000 Ha.
Sementara
pengolahan perkebunan kelapa sawit oleh masyarakat di Papua, yang menggantikan
sebagian hutan sagu sudah mencapai hampir 10.000 Ha. Data dari BKPM menjelaskan
penyebaran perkebunan kelapa sawit milik rakyat di Kabupaten Asmat seluas 72
Ha, di Kabupaten Keerom seluas 9.300 Ha dan di Kabupaten Merauke seluas 518 Ha.
Perkebunan kelapa sawit milik negara yang beroperasi di Papua sudah mencapai
14.720 Ha dan pemilikan swasta seluas 1.074 Ha. Jadi jumlah total perkebunan kelapa
sawit di Papua adalah 16.393,3 Ha.
Petisi Warganegara NKRI untuk Papua melengkapi
berita pagi ini dengan mengikutkan tulisan B. Josie Susilo Hardianto yang
pernah dimuat di koran Kompas berjudul “Perkebunan di Papua: Ketika Kebun
Kelapa Sawit Datang”. Tulisan ini menjelaskan tentang sejarah perkebunan kelapa
sawit di Papua yang dimulai tahun 1980an.
Pengalihan secara besar-besaran areal
sagu menjadi kelapa sawit dilakukan oleh pemerintah dengan mengancam rakyat
sebagai antek-antek OPM. Hasil perkebunan selama tiga puluh tahun ternyata
belum berdampak bagi kesejahteraan orang asli Papua di Kapubaten Keerom.
Selanjutnya sahabat-sahabat bisa membaca langsung tulisan dari B.Josie Susilo
Hardianto.
Referensi:
1.
Pemerintah Papua. Badan Pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Lingkungan Hidup
2.
BKPM, Indonesia Investment Coordinating Board
Perkebunan di Papua: Ketika Kebun Kelapa Sawit
Datang
Oleh B. Josie Susilo Hardianto
Tanah
adalah ibu. Ia memberi jaminan kehidupan, sebagaimana ibu menghidupi anaknya
melalui susu yang dihasilkan dari payudaranya. Masyarakat Papua percaya, jika
tanah dijual, mereka akan menjadi lumpuh, kehilangan daya hidup dan masa depan.
Masuk ke
dalam kampung-kampung di sekitar Arso Kota, Kabupaten Keerom, kita dapat dengan
mudah menemukan rumah masyarakat asli telah dibangun permanen. ”Namun, itu
tidak menunjukkan kenyataan sebenarnya. Dari luar memang tampak baik, tetapi
sebenarnya kami kesulitan menghidupi keluarga,” kata seorang petani, Agus
Bawir.
Dengan
jujur Agus mengatakan, rumah-rumah itu sebenarnya tidak dibangun atas jerih
payah kerja mereka. Agus mengatakan, rumah itu dibangun dari hasil penjualan
atau menyewakan kebun plasma kelapa sawit yang mereka miliki. Itu dilakukan
bukan karena kebun itu tidak menghasilkan, tetapi karena masyarakat asli tidak
sanggup mengikuti pola kerja industri yang berbasis perkebunan rakyat tersebut.
Program
PIR
Mulanya
pada awal tahun 1980-an ketika pemerintah mengembangkan program perkebunan inti
rakyat (PIR) dan menyelaraskannya dengan program transmigrasi di wilayah
tersebut. Ternyata, dampak sosial program itu sungguh tak terduga.
Masyarakat
asli kebingungan dan tergopoh-gopoh mengikuti perubahan yang cepat itu. Mereka
tiba-tiba dihadapkan pada peralihan pola hidup, dari meramu menjadi pola
industri yang berbasis perkebunan rakyat yang sebenarnya asing bagi mereka.
Sebenarnya,
kala itu, masyarakat asli enggan menyerahkan tanah mereka untuk diubah menjadi
perkebunan dengan pola PIR. ”Namun, karena takut dicap anggota Organisasi Papua
Merdeka (OPM), kami terpaksa menyerahkannya. Puluhan hektar hutan dibuka,
pohon-pohon sagu dan kayu ditebang,” kata Bernard Nouyagir, Kepala Kampung Arso
Kota, Kabupaten Keerom.
Hutan
kayu dan sagu yang sebelumnya menjadi basis hidup mereka tiba-tiba lenyap dan
berganti menjadi kebun kelapa sawit. Reproduksi pangan seperti umbi-umbian dan
sayur-mayur mulai sulit dilakukan, binatang buruan sulit didapat.
Gegar
budaya
Hutan
yang menjadi basis kehidupan mereka perlahan-lahan hancur, pola hidup mereka
berubah dan terancam. ”Dari cara hidup meramu, tiba-tiba kami dihadapkan pada
pola hidup baru, yaitu industri berbasis perkebunan tanpa proses peralihan dan
pendampingan yang memadai,” kata Ketua Dewan Adat Masyarakat Keerom Hubertus
Kwambre.
Pemerintah
melalui PTPN II, tutur Hubertus, memang melatih masyarakat untuk mengelola
kebun kelapa sawit itu. Namun, itu bukan perkara mudah. Cara berkebun dengan
orientasi industri sangat berbeda dengan cara berkebun masyarakat asli Papua
yang berorientasi pemenuhan hidup harian saja.
Jika
sebelumnya masyarakat asli cukup membuka hutan seluas kurang lebih setengah
hektar untuk menanam keladi, sayur dan umbi-umbian, dengan hadirnya kelapa
sawit mereka harus bekerja pada lahan minimal seluas dua hektar dengan jenis
tanaman monokultur.
Sebagai
plasma mereka dihadapkan pada pola intensifikasi untuk memperoleh target
produksi tandan buah segar (TBS) untuk memasok industri minyak sawit mentah
atau CPO (crude palm oil). Mereka juga menjadi bergantung pada pabrik karena CPO
hanya dapat dihasilkan melalui proses pemerasan di pabrik.
Tanpa
disadari, itu berdampak pada hilangnya identitas kultural dan relasi mereka
dengan tanah pun berubah. ”Jika sebelumnya relasi masyarakat asli dengan tanah
sangat dipengaruhi oleh gagasan filosofis dan religius, dalam pola baru itu
relasi masyarakat dengan lahan cenderung hanya berbasis ekonomis. Melalui
proses itu, mereka pun seolah menjadi buruh dalam relasi industri berbasis
perkebunan rakyat tersebut,” tutur Hubertus menambahkan.
Tidak nyaman
itu, ditambah berbagai persoalan, seperti menurunnya kinerja pabrik, rendahnya
harga TBS, dan tingginya ongkos angkut, pada awal periode tahun 2000 masyarakat
asli mulai meninggalkan kebun kelapa sawit mereka. Sebagian kebun itu mereka
jual atau disewakan kepada para transmigran pendatang. Imbalannya, pembeli atau
penyewa membangun rumah permanen serta menyetor uang sewa sebesar Rp 250.000
hingga Rp 300.000 per bulan.
Seorang
anggota DPRD Kabupaten Keerom, Conrad Gusbagir, yang membidangi Keuangan, mengatakan,
sebenarnya prospek ekonomis dari perkebunan kelapa sawit cukup menjanjikan.
Buktinya, dari penjualan TBS para petani plasma yang berasal dari luar Papua
mampu menghasilkan uang hingga jutaan rupiah per bulan.
”Sebaliknya,
masyarakat asli karena tidak mampu mengurus kebun kelapa sawit hasilnya buruk.
Lalu mereka mulai beranggapan kelapa sawit tidak bermanfaat. Ujungnya, mereka
menjual atau menyewakan lahan itu dan untuk menyambung hidup sehari-hari mereka
kembali menanam sayur-mayur dan menjualnya ke pasar,” kata Conrad lagi.
Kesenjangan
Namun,
peralihan itu ternyata makin memperunyam masa depan masyarakat asli Papua.
Ketika para pendatang mampu mereproduksi lahan yang mereka sewa dan memperoleh
penghasilan dari usaha itu, sebagian besar masyarakat asli justru mulai
bergulat dengan kemiskinan.
Kesenjangan
kian melebar. Reproduksi modal oleh pendatang membuat mereka mampu menguasai,
sektor informal, sebagian besar aset ekonomi terutama di wilayah perkotaan,
terutama pasar. Deretan kios di Arso Kota dan Arso II, misalnya, dimiliki
pendatang. Masyarakat asli hanya mengambil peran kecil sebagai pedagang sayur
atau sirih-pinang.
Perlahan-lahan
kota mulai dipadati pendatang dan masyarakat asli makin terpinggirkan. Mereka
pun seolah menjadi terasing di tanah mereka sendiri, apalagi ketika mereka
mendapat cap-cap sebagai tukang mabuk, tukang bikin onar, dan separatis.
Melompat
Dosen
pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia, Hariadi
Kartodihardjo, mengatakan, kegagalan masyarakat asli Papua bercocok tanam
kelapa sawit disebabkan karena mereka mengalami lompatan kultur dalam proses
budidaya dan produksi tanaman perkebunan. Lompatan kultur itu memperlemah
kelembagaan masyarakat dan mengancam kemandirian mereka.
Harus
diakui, dalam dimensi investasi, penguatan sosial masyarakat menurutnya kerap
tidak mendapat perhatian. Yang menjadi fokus utama adalah agregat pertumbuhan
investasi dan laju modal. ”Kemajuan ekonomi berbasis komunitas tidak menjadi
perhatian karena, memang, basis kultural kerap berlawanan dengan pola
perkebunan yang orientasinya produk massal,” kata Hariadi.
Melihat
apa yang dialami masyarakat Keerom, Dekan Keerom yang juga penggiat HAM, Pater
John Jonga, berpendapat sebaiknya pemerintah mengkaji kembali proyek
pengembangan perkebunan kelapa sawit di Papua. Banyak aspek, seperti lingkungan
hidup, budaya, isu-isu keamanan, dan sosial, harus dipertimbangkan kembali.
Apalagi, saat ini, ada rencana pengembangan kebun baru di Keerom.
Kepala
Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Keerom Sidik Pujiadi mengungkapkan, PT
Rajawali Group akan mengelola lahan seluas 26.048 hektar. ”Lahan yang akan
dibuka hanya seluas 15.000 hektar saja. Sebagian lahan tidak dibuka karena
merupakan hutan adat,” kata Sidik Pujiadi.
Ia
berpendapat, melihat situasi dan kondisi masyarakat Papua, setiap perusahaan
yang hendak mengembangkan usaha sebaiknya mempresentasikan diri kepada
masyarakat, pemerintah daerah, dan para tokoh masyarakat adat setempat. Sejak
awal benih-benih kecurigaan harus dipupus untuk membuka pintu keterlibatan
masyarakat asli, terutama untuk menentukan bagaimana tanah dikelola dan
komoditas apa yang selayaknya serta mampu dikembangkan masyarakat.
Gagasan
dan rasa memiliki masyarakat perlu diakomodasi dan diberi perhatian karena
mereka melihat tanah bukan semata-mata sebagai modal usaha. Lebih dari itu,
tanah adalah bagian eksistensial dari budaya dan keberadaan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar