Penyerangan Kopassaus ke Lapas Cebongan: Pemindahan non-konflik ke konflik sosial. Sadarlah Masyarakat Sipil Indonesia!
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Penyerangan 11 prajurit Kopassus tanggal 23 Maret 2013
membunuh empat orang tahanan Polda DIY yang dipindahkan dengan tiba-tiba dari
Polda ke ke Lapas Cebongan masih menuai perdebatan. Saat ini ada dua kubu.
Pertama, kubu yang beranggapan bahwa penyerangan kepada empat tahan adalah
benar karena keempat tahanan tersebut adalah preman. Kedua, kubu yang mengangap
penyerangan dilakukan sewenang-wenangan dari kelompok bersenjata kepada
masyarakat sipil sebagai status tahanan sehingga digolongkan sebagai
pelanggaran HAM.
Akibat dari pertentangan kedua kubu ini, ada upaya untuk
saling mempengaruhi opini masyarakat baik melalui media massa, cetak,
elektronik maupun protes memprotes sebagaimana terlihat dengan pemasangan
poster, spanduk di hampir semua wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Perbedaan kubu ini bahkan berjangkit sampai
pada tingkat pembuat kebijakan yaitu Kementerian Pertahanan dengan Komas HAM.
Kedua institusi negara berbeda dalam pandangannya terhadap penilaian 11 prajurit
kopassus ini. Kementrian Pertahanan berada pada kubu yang menganggap tindakan 11 prajurit kopassus bersifat
spontanitas bukan atas perintah pemimpin sehingga bukan pelanggaran HAM dan
tidak perlu mengalami peradilan HAM. Sementara Komnas HAM berpendapat bahwa
penyerangan Lapas di Cebongan dikategorikan pelanggaran HAM karena pembunuhan
dengan mentargetkan sekelompok orang yang mempunyai hak untuk hidup dan masih
dalam proses menjalani proses hukum.
Kedua argumentasi dari kedua kubu ini, sangat penting
dipetakan terutama untuk mendorong pemahaman bersama tentang pendasaran
argumentasi berbasis hukum. Secara
konten dan definisi, hukum bersifat positif. Pembacaan hukum adalah tepat dan
konkrit. Dalam banyak kasus, upaya mencari cela hukum bisa dilakukan oleh
pengacara untuk meringankan beban sangsi yang akan dikenai oleh seseorang
sebagai pribadi atau kelompok terkait kasus perdata atau pidana. Diluar kasus biasa yang harus melalui
kepolisian sebelum diserahkan kepada pengadilan, kasus penyerangan Lapas Cebongan adalah kasus
yang istimewa karena dilakukan oleh prajurit TNI AD. Perdebatan tentang di manakah yang lebih
tepat untuk dilaksanakan peradilan kepada para penyerang Lapas Cebongan menjadi
silang diskusi di antara Kementerian Pertahanan dengan Komnas HAM.
Komnas HAM sendiri mengakui bahwa TIM Investigasinya
masih belum selesai untuk mengkaji dan mencari bukti-bukti yang akan membantunya dalam memberikan
pandangan kepada negara tentang pelaksanaan peradilan yang tepat kepada 11
prajurit Kopassus. Sementara ini
penemuan Komnas HAM sudah menunjukkan adanya perbedaan dengan TIM Investigas TNI
AD. Komnas HAM menemukan keterlibatan 14 prajurit sementara TIM Investigas TNI
AD menemukan adanya keterlibatan 11 prajurit Kopassus dalam penyerangan Lapas
Cebongan. Komnas HAM juga menemukan upaya
sistematis dalam penyerangan Lapas Cebongan karena ada proses koordinasi dan pembagian tugas yang
dilakukan dengan rapih (Skala News Com, 12/4). Dikatakan oleh Ketua Komnas HAM dikutip dari :
“Nurlaila
menjelaskan, pelaku penyerangan terhadap empat tahanan Lapas merupakan
sekelompok orang terlatih karena memiliki pembagian tugas yang sangat rapi,
seperti eksekutor, time keeper, perusak CCTV, penondong/penyerangan petugas
Lapas, penjaga situasi di luar, sopir kendaraan”.
Di Tribunnews. com, Ketua Komnas HAM
memerinci perbedaan dasar hukum yang dipakai ketika wartawan bertanya tentang
pandangan Menteri Pertahanan yang berbeda dengan Komnas HAM terkait dengan
pelanggaran HAM. Indikasi pelanggaran HAM terlihat karena pengrusakan milik
lembaga dilakukan termasuk penyerangan yang mengambil hak hidup dari keempat
tahanan. Pelanggaran HAM berat yang disinjalir oleh Menteri Pertahanan memang
tidak terlihat terutama ketika HAM didefinisikan sebagai kegiatan penyelenyapan
nyawa secara meluas, massif, sistematis dan geneoside. Untuk maksud pelanggaran
HAM, Komnas HAM merujuk pada Undang-undang nomor 39 tahun 1999 bukan UU 26
tahun 2000 tentang Pelanggaran HAM berat (Tribunnews.com, 12/4/2013)
Menurut saya, penggunaan fasilitas negara mulai dari
kenderaan, persenjataan, dan pengetahuan dari prajurit dalam melakukan eksekusi
kepada empat tahanan Polda di Lapas Cebongan juga menunjukkan indikasi bahwa
penyerangan ini sudah diketahui
sebelumnya setidaknya ada perizinan tentang penggunaannya. Komnas HAM juga masih bertanya-tanya tentang
pemindahan dengan mendadak keempat tahanan Polda yang sebelumnya masih di sel Polda, dalam beberapa
jam, kurang dari 24 jam sesudah
tiba ke Lapas langsung diserang dan dieksekusi oleh rombongan Kopassus (Lensa
Indonesia Com, 7/40/2013). Penemuan
Komnas HAM ini berbeda dengan pandangan Kementerian Pertahanan, seperti
dikatakan oleh Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro bahwa tidak ada
kebijakan dari pimpinan untuk melakukan penyerangan sehingga tidak bisa
digolongan sebagai genosida sebagaimana dimaklumkan dalam UU tentang HAM (11/4).
Memahami perbedaan yang sedang
terjadi dalam masyarakat dan institusi negara, menjadi sangat penting peran
keluarga korban untuk meminta transparansi dan pengawalan peradilan yang bersih
dan adil. Untuk maksud ini, masih ada harapan bagi reformasi hukum di Indonesia
terutama sesudah Wantimpres membentuk Tim Pencari Fakta Penyerangan Lapas
Sleman. Menurut saya, TPF ini bukan saja menegakkan keadilan kepada korban dan
keluarga korban tetapi kembali menempatkan hukum di ranah negara. Penyerangan
Lapas di Cebongan harusnya tetap dilihat di ranah non-konflik, di mana ada
kekerasan pidana yang dilakukan oleh segelintir orang untuk membunuh kelompok
yang dianggap preman. Akan tetapi ketika
ada upaya perluasan kejadian dari non-konflik ke ranah konflik, maka pemerintah
dan warganegara NKRI perlu mewaspadainya.
Di sinilah “loncatan kejadian”! Menurut
saya, kejadian penyerangan Lapas di Cebongan terkesan sedang diupaya untuk
keluar dari jalur non- konflik, sehingga bisa dikategorikan konflik antara
negara dengan masyarakat sipil. Kejadian
non konflik melibatkan interpersonal, kekerasan menimbulkan kematian di antara
geng-geng. Tetapi konflik negara dengan
masyarakat sipil memberikan legitimasi kepada negara untuk menindak masyarakat
sipil yang sedang mengacaukan, melakukan huru hara, sehingga ada alasan untuk
melakukan penanganan konflik sosial. Kasus-kasus ini sudah terjadi di beberapa
tempat dalam situasi konflik yang melibatkan massa seperti di Maluku dan Poso.
Dalam konteks ini, penindak yang nota bene sedang melakukan huru hara secara
massif, meluas tidak bisa ditindak karena alasan membela negara. Prajurit digerahkan
untuk mengamankan negara dari para premanisme dalam suatu kerusuhan yang melibatkan
masyarakat sipil.
Pemecahan masyarakat yang pro dan
kontra termasuk inisiatif mereka yang pro dengan mencetak spanduk dan poster
kemudian menggantung di berbagai tempat di seluruh Yogya menunjukkan adanya
upaya pengiringan untuk memperluas ekskalasi konflik pribadi menjadi ke dalam
konflik massa, konflik sosial. Padahal pengalaman saya memasang spanduk harus
mendapat izin dari Pemda tergantung dalam teritori masing-masing, sehingga
pemasangan tanpa izin harusnya bisa dipersoalkan. Apakah pemerintah memberikan
izin dalam pemasangan spanduk tsb? Gubernur DIY mengatakan tidak bisa melarang,
karena memang bukan wilayahnya. Pemasangan spanduk masuk dalam domain dari
masing-masing pemerintah daerah (lihat Antaranews.com, 15/4/2013).
Ketika masyarakat sipil lengah,
landasan hukum, Inpres 2 tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri dengan
sendiri bisa menyerang masyarakat secara bersama. Inilah saatnya masyarakat
sipil semakin kritis untuk berdiri menyadarkan pemerintah daerah untuk tidak
membiarkan Kota Yogya menjadi sasaran bualan permainan interpretasi hukum dan
penyusupan maksud hukum yang dibuat sangat sublim sampai terasa perluasan konflik
sosial di dalam masyarakat. Padahal kejadian yang terjadi ada di Hugo Cafe.
Saya keliling bertanya kepada tukang partir di jalan-jalan, mereka sebagai
pekerja di K 24 Apotik, Cicle K, POM Bensin, Toko Foto Copy 24 jam di Yogyakarta tentang
adakah preman yang membalak mereka ketika semua orang tertidur nyenyak.
Jawabannya tidak ada. Mereka semua katakan kejadian-kejadian itu ada di Cafe
Hugo bukan di jalan-jalan raya di kota Yogyakarta. Jawaban mereka yang sepanjang malam bekerja
untuk sesuap nasi harusnya menjadi ukuran kepada kita semua. Siapakah
premanisme? Tunggulah kajian saya selanjutnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar