Premanisme dan Busung Lapar: Aib Pemerintah dan Kelas
Menengah
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Hampir waktu yang bersamaan, dua peristiwa penting
terjadi di Indonesia pada akhir bulan Maret dan awal April 2013. Pertama, pada
tanggal 23 Maret terjadi penyerangan 11 prajurit Kopassus di Lapas Cebongan,
Sleman yang menewaskan dengan sangat keji empat orang tahan Polda DIY. Kasus
penyerangan Kopassus hingga kini masih menyisakan pro dan kontra terutama
karena pembenaran bahwa mereka membunuh preman. Pihak pendukung kontra menolak pembenaran karena alasan HAM sedangkan kelompok pro mendukung Kopassus. Gerakan anti premanisme
bergerak cepat sesudah mantan Pangdam IV Diponegoro, Mayjen TNI Hardiono Sarono di hadapan publik
menjelaskan bahwa para penyerang membunuh empat preman. Ketika itu belum jelas
siapakah penyerang. Sesudah Tim Investigas TNI AD mengumumkan pengakuan
penyerang dan terungkap mereka adalah prajurit Kopassus, segera mendapat
apresiasi dari Presiden SBY yang memuji keterusterangan 11 prajurit sebagai
“kesatria”. Menurut saya pujian Presiden SBY bertujuan untuk mendongkrak
popularitasnya, terutama di kalangan pendukungnya yang loyal dan pernah memilihnya
dalam pemilu 2004 yang terulang lagi pada tahun 2009. Pandangan ini saya tulis
dalam artikel blog berjudul “Dari Preman ke Kesatria Presiden SBY Mendongrak
Popularitasnya. Yogya Sasaran Operasi Intelejen”.
Kedua, pada awal April tersebar di media massa pemberitaan tentang 95 orang meninggal di Propinsi Papua Barat, di kabupaten Tambarauw karena busung lapar. Gubernur Papua mengawali kunjungan Tim gabungan, Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan UP4B yang langsung mengunjungi ke lokasi tiga desa yang dihebohkan terserang wabah, meralat jumlah yang meninggal dari 95 menjadi 4 orang yang meninggal, diantaranya karena busung lapar. Hasil kunjungan tim gabungan dibawah pimpinan UP4B ke Kwesefo, Mbatde dan Jokbi Joker, diumumkan bahwa tidak ada busung lapar kecuali pasien yang sakit karena kekurangan gizi. Ketika petugas mewawancarai kematian yang terjadi di ketiga desa tersebut, masyarakat sendiri sulit mendeskripsikan penyebabnya. Riwayat sakit seseorang yang menyebabkan kematian sulit diungkapkan karena ketika mereka sakit sampai meninggal tidak ada penanganan kesehatan apalagi dicatat dalam rekaman medis.
Kematian sekalipun dalam jumlah yang kecil disebabkan karena busung lapar bisa digolongkan bencana nasional. Istilah bencana nasional saya gunakan untuk menunjukkan bahwa penanganan kasus busung lapar harus dilakukan terintegrasi dari pusat ke daerah karena Papua sebagaimana disinyalir dalam laporan penelitian Departemen Pertanian; Papua merupakan salah satu daerah rawan gizi dan busung lapar di Indonesia. Pandangan saya ini disampaikan dalam artikel online berjudul “Kondisi Warga Asli Papua di Tengah Daerah Pertambangan di Pegunungan Tambrauw” dan “Empat Orang Meninggal Karena Busung Lapar di Papua Adalah Bencana Nasional”.
Kedua fenomena ini sengaja saya paparkan untuk membukakan isi hati manusia. Keduanya terkait dengan sesama warganegara NKRI yang papah. Kaum premanisme yang sekarang sedang dilawan dengan menggandeng pembenaran tindakan penyerangan Kopassus ke Lapas Cebongan adalah para preman kelas teri. Sementara sesama warganegara NKRI di Papua adalah juga mereka yang sangat miskin, terisolasi di tengah-tengah kelimpahan yang diperoleh dari eksplorasi hasil pertambangan di pegunungan Tambrauw. Pembesaran kasus premanisme dilakukan di kota Yogya, kota saya, sementara pengingkaran kasus busung lapar terjadi di Papua ketika saya bersama dengan sesama warganegara NKRI sedang memperjuangkan pengawalan bersama untuk mendorong pemerintah RI memfasilitasi perdamaian di tanah Papua. Gerakan pengawalan ini tergabung dalam "Petisi Warganegara NKRI untuk Papua" yang bisa diakses melalui https://www.facebook.com/petisi.untuk.papua/ Jadi kedua kasus ini sangat menarik untuk dikaji terutama mengerti bagaimana sejatinya pemerintah RI dan warga masyarakat kelas menengah dalam merespon kedua kasus ini.
Memang sangat gampang menjadikan orang kecil sebagai tumbal untuk kepentingan nama baik pejabat, pemerintah. Premanisme adalah upaya menebarkan ketakutan kepada warga masyarakat kelas menengah. Mereka yang menumpas premanisme mendapat gelar pahlawan dari kelas menengah. Saya bekerja dengan perempuan akar rumput di Yogyakarta dan berjalan keliling di seluruh kabupaten dan Kota Yogya sampai ke pelosok-pelosok desa. Saya belum pernah melihat preman seperti yang saya lihat di Kelapa Gading Jakarta Barat atau di jalan-jalan ibu kota DKI. Memang kasus-kasus kriminal perorangan tampil menguatirkan warga masyarakat sebagaimana diberitakan di media cetak lokal.
Pemilihan istilah premanisme juga bermasalah. Istilah premanisme digunakan mengandaikan adanya sekolah preman, di mana pengikutnya bisa terlihat di seantero jalan-jalan kota dan desa-desa karena mereka, gerombolan premanisme tidak mungkin tersembunyi tanpa tanda-tanda fisik tertangkap di mata langsung kecuali apabila ada intel sebagai preman yang tampil seperti siluman. Di Yogyakarta, apabila diasumsikan ada premanisme, tentu sudah meresahkan warga masyarakat sebelum arus balik gelombang dukungan terlihat sesudah mantan Pangdam IV Diponegoro, Sarono menggunakan istilah “preman” untuk menjelaskan siapakah mereka yang diserang dan dieksekusi dalam penyerangan Lapas Cebongan.
Penggunaan “premanisme” ternyata berhasil untuk menggegerkan kelas menengah. Kenyamanan mereka terganggu. Lebih baik dihabisi preman-preman tsb karena mereka adalah sampah masyarakat. Tanpa mengerti secara kritis, masyarakat sudah bereaksi memperbesar kasus premanisme, seolah-olah Yogyakarta sudah dikelilingi premanisme. Pembesaran premanisme karena adanya gelombang protes dari berbagai kelompok. Ada yang mengaku melakukannya spontan tanpa dibayar. Siapakah tahu yang sebenarnya dari pengakuan-pengakuan tsb? Jelas untuk kita semua, mereka yang protes masuk di media cetak dan menjadi sorotan televisi. Kami menerima telepon dari mana-mana di seluruh Indonesia bertanya tentang situasi Yogyakarta. Kenyataannya kami di Yogyakarta baik saja. Saya masih mengendarai kendaraan motor malam-malam. Minggu lalu, saya pulang dari Gunung Kidul dengan motor tiba di Yogyakarta pada malam hari. Yogyakarta aman, kota damai yang membuat warganegara NKRI dari mana-mana hendak datang dan tinggal di sini.
Sebaliknya, kasus busung lapar, segera sesudah berita tsb
sampai di media massa, para pejabat dan kelas menengah bergerak membantah
laporan-laporan yang bertebaran. Busung lapar tampil seperti teror yang
menakutkan kelas menengah. Berbeda dengan premanisme, teror busung lapar
sejatinya menteror nama baik pejabat dan kelas menengah. Busung lapar tampil memalukan,
menimbulkan aib yang bisa mengancam pejabat dari pusat sampai ke daerah. Tindakan
penelantaran warga masyarakat sampai menyebabkan kematian dari busung lapar melawan
perundangan dan hati nurani. Warga yang meninggal dari busung lapar menandakan
mereka miskin secara materi maupun pengetahuan tentang gisi. Tindakan cepat dari
pemerintah untuk mengatasinya mendapat pujian
seperti dilakukan oleh LSM Belantara menanggapi kesiapannya untuk dipolisikan
oleh Bupati Tambrauw yang menganggap nama baiknya dicemarkan dengan pemberitaan
95 orang meninggal karena busung lapar. Abner Korwa dari LSM Belantara memuji
Bupati Tambrauw yang sudah menginstruksikan dinas terkait untuk segera
mengatasi keadaan terisolasi tiga desa dari fasilitas publik seperti
diberitakan pada Radar Timika Online (11 April 2013). “ Namun dari
kasus ini lanjut Abner, pihaknya melihat ada hikmahnya, bupati sudah mulai
menginstruksikan dinas terkait untuk merencanakan relokasi kampung sesuai
keinginan masyarakat dan pembukaan akses jalan ke kampung-kampung tersebut yang
sangat terisolir di pedalaman. Ini merupakan dinamika social yang lazim terjadi
di Papua. Berbagai persoalan di masyarakat kalau dimunculkan di media publik baru bisa mendapat perhatian serius dari pemerintah. Contoh konkritnya adalah
Otonomi Khusus Papua yang hasilnya sudah dinikmati sekarang, kalau tidak ada
gejolak sosial yang muncul di Papua tentu tidak ada kebijakan khusus seperti
ini “.
Premanisme yang perluasannya cepat
sehingga mendapat dukungan masyarakat, sebenarnya sedang menunjukkan keaiban
kelas menengah yang dengan cara gampang hendak menyelesaikan persoalan bersama.
Caranya “basmi preman”. Urusan preman bukan tanggungjawabnya. Preman ketika
melakukan tindakan kekerasan, ia berhadapan dengan hukum negara. Polisi
berkewajiban melakukan pembinaan kepada masyarakat. Preman bukan tugas
Kopassus. Masyarakat kelas menengah harus bersama-sama dengan polisi untuk
melakukan pembinaan di masing-masing rukun tetangga, rukun warga, pedukuhan,
desa, kecamatan dalam mengatasi tindakan-tindakan kriminal yang mengancam warga
masyarakat. Berdiri membawa spanduk sebagai tanda protes untuk ditonton seluruh
warga dunia di TV bukanlah cara untuk mengatasi premanisme, apabila diasumsikan
ada preman di kota damai, Yogyakarta. Memasang spanduk di seluruh perempatan di jalan-jalan kota tentang pembasmian premanisme bukan solusi melainkan anjang pertarungan pengaruh. Pemasangan spanduk bukan jaminan untuk pembasmian preman.
Kuncinya ada pada masyarakat kelas menengah. Kalau masyarakat kelas menengah tidak bersedia sabar untuk melakukan ronda malam, bergaul dengan kelas masyarakat biasa, cara yang paling cepat seperti pemunculan di TV tidak akan menolong mengatasi premanisme. Warga masyarakat di tingkat basis akhirnya akan tahu siapakah sebenarnya yang menjadi preman. Bukan mustahil mereka yang protes tentang premanisme, dalam perjalanan sejarah, malahan terbalik, mereka adalah preman sesuai dengan temuan dari masyarakat akar rumput. Preman dalam hal ini, mereka yang suka membayar orang lain untuk menghancurkan, melakukan kekerasan kepada seseorang lain demi kepentingannya sendiri.
Kuncinya ada pada masyarakat kelas menengah. Kalau masyarakat kelas menengah tidak bersedia sabar untuk melakukan ronda malam, bergaul dengan kelas masyarakat biasa, cara yang paling cepat seperti pemunculan di TV tidak akan menolong mengatasi premanisme. Warga masyarakat di tingkat basis akhirnya akan tahu siapakah sebenarnya yang menjadi preman. Bukan mustahil mereka yang protes tentang premanisme, dalam perjalanan sejarah, malahan terbalik, mereka adalah preman sesuai dengan temuan dari masyarakat akar rumput. Preman dalam hal ini, mereka yang suka membayar orang lain untuk menghancurkan, melakukan kekerasan kepada seseorang lain demi kepentingannya sendiri.
Premanisme dan busung lapar adalah
dua fenomena yang bergerak cepat, yang keduanya hanya bisa diselesaikan dengan
kesungguhan hati dari pejabat pemerintah maupun masyarakat kelas menengah.
Diperlukan keluasan hati nurani yang membuka di sudut sejati diri
menyentuh masyarakat kelas menengah sehingga penanganan premanisme, apabila
sungguh ada di Yogyakarta, bisa dilakukan bukan sekedar dengan memasang poster
dan spanduk tetapi melalui kegiatan pembinaan yang terarah sampai di tingkat
RT, RW. Sejalan dengan itu, busung lapar Papua, sebaiknya tidak dilihat sebagai
cara untuk menjatuhkan pejabat dan masyarakat menengah, tetapi untuk mendorong
perluasan hati nurani dan sejati pembuat kebijakan dan wakil rakyat dalam mengentaskan kemiskinan masyarakat yang
ada di daerah-daerah rawan gizi di Papua dan di daerah lain seperti yang sudah
diteliti oleh Departeman Pertanian sebagaimana sudah saya sampaikan dalam tulisan-tulisan sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar