Petisi Warganegara NKRI untuk Papua
(Morning News, 18 April 2013).
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Memperbandingkan Papua-Aceh-Yogyakarta: Bagian Pertama
Sebagai daerah dengan otonomi khusus,
Papua sangat penting dibandingkan dengan Aceh dan Yogyakarta. Baru-baru ini, Indonesiaku
Indonesiamu Indonesia untuk Semua merilis artikel berjudul “Premanisme dan
Busung Lapar: Aib Pemerintah dan Kelas Menengah”. Argumentasinya, terkait
dengan kejadian luar biasa terjadi di Yogyakarta yaitu penyerangan Lapas di
Cebongan oleh Kopassus sehingga memunculkan gerakan anti premanisme yang
terkesan digiring untuk memecah belah warga masyarakat. Sementara kematian
busung lapar di Papua sekalipun dalam jumlah rendah merupakan bagian dari
bencana nasional yang harusnya mendorong perhatian pemerintah RI untuk mengatasi
keterisolasian tanpa fasiltitas mendasar, kesehatan dan pendidikan untuk
masyarakat di daerah pertambangan di pegunung Tambrauw. Baik premanisme maupun
busung lapar tampil menguatkan menunjukkan kecenderungan kelas menengah maupun
pemerintah dalam penyelesaiannya dilakukan dengan pembasmian, penyingkiran
terhadap kedua fenomena sosial ini karena dianggap sampah dalam masyarakat.
Untuk mengerti lebih mendalam
pandangan-pandangan kelas menengah terkait dengan keberadaan Papua, maka menarik
memperhatikan dua cara berpikir yang merepresentasikan perbedaan titik
berangkat. Pertama, pandangan berdasarkan argumentasi berbasis budaya bahwa
kemiskinan di Papua disebabkan karena kemalasan orang asli Papua. Pandangan ini
bisa dilihat pada pendapat yang disampaikan oleh Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI
periode 2004-2009. Sementara pandangan berbeda, berbasis kemiskinan sebagai
penyebab dari kegagalan struktur, sehingga menyebabkan munculnya pemiskinan di
Papua, bisa dilihat dalam argumentasi yang disampaikan oleh Andreas Harsono
seorang aktivis HAM yang sejak lama meneliti tentang Papua. Kedua pandangan ini
mengalir dalam kedirian pemerintah dan masyarakat sipil di Indonesia.
Mengawali
diskusi berseri mendatang yang akan dirilis oleh Indonesiaku Indonesiamu Indonesia
untuk Semua, pagi ini diterbitkan kembali publikasi dari Voice of America
berbahasa Indonesia yang menerbitkan artikel dengan judul “Meskipun Berstatus
Otonomi, Papua Berbeda dengan Aceh” yang
dirilis pada hari Rabu, 17 April 2013.
Berita
selengkapnya bisa dilihat pada tulisan di bawah ini atau dapat diakses langsung
ke link VOA Indonesia;
Meskipun
Berstatus Otonomi, Papua Berbeda dengan Aceh
Oleh Brian
Padden
Mantan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, adalah perantara perjanjian
daerah otonomi Aceh tahun 2005. Namun, ia memperingatkan agar jangan berharap
ia akan memainkan peran serupa di Papua, yang memperoleh status daerah otonomi
tahun 2001 setelah negosiasi yang melibatkan tiga presiden di Indonesia.
Ia mengatakan, "Papua sudah mendapatkan kesepakatan sepuluh tahun
lalu. Jadi sudah begitu banyak diskusi dan dialog. Ketika itu Soeharto, Habibie
dan Gus Dur menjadi presiden, dan akhirnya kita sepakat untuk memberi status
daerah otonomi khusus."
Namun, pemberontakan separatis Papua masih belum reda. Bulan Oktober, para
aktivis merilis video tindakan keras polisi dalam sebuah rapat gerakan
separatis Papua yang berlangsung damai. Polisi itu termasuk dalam pasukan yang
terdiri dari 30.000 polisi dan tentara yang ditempatkan di Papua.
Meskipun polisi setempat kini menjaga keamanan di Aceh, pasukan keamanan
dari luar Papua tampak menegakkan keamanan di provinsi Papua dan dipandang oleh
banyak orang sebagai kekuatan pendudukan.
Andreas Harsono, seorang peneliti untuk Human Rights Watch mengatakan
pemerintah Indonesia mempertegas kesan itu dengan membatasi kegiatan
partai-partai politik lokal. "Salah satu perbedaan utama adalah Aceh
memiliki partai-partai politik lokal. Di Papua tidak ada. Jika ada partai
politik lokal, penduduk dapat memberdayakan diri mereka sendiri dengan
mengendalikan para politisi mereka. Di Papua, hal itu tidak ada," ujar
Harsono.
Meskipun Jusuf Kalla berpandangan Papua merupakan bagian dari wilayah
kedaulatan Indonesia, seperti kebanyakan rakyat Indonesia lainnya, ia berbicara
tentang penduduk Papua yang memiliki budaya berbeda, di mana etos kerjanya
buruk dan membuat mereka tergantung pada bantuan dari daerah-daerah lain di
Indonesia.
Ia mengatakan, "Karena semua yang mereka perlukan berasal dari luar
daerah. Mereka membutuhkan jalan, mereka mendapat kontraktor dari Jawa atau
Sulawesi, sekolah-sekolah dibangun oleh orang Bugis, beras dan barang-barang
toko semuanya berasal dari luar."
Ia mengatakan ini menjelaskan mengapa Papua memiliki tingkat kemiskinan
yang tinggi, meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah.
Harsono dari organisasi Human Rights Watch tidak sependapat dan mengajukan
argumen bahwa aksi pemogokan buruh di tambang emas dan tembaga terbesar di
dunia sebagai gambaran bagaimana Papua tidak memperoleh bagian kekayaan dari
sumber daya alam mereka. Ia mengatakan stereotip yang mengatakan penduduk Papua
malas tidak hanya salah, tapi tidak manusiawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar