Dari Preman ke Kesatria Presiden SBY Mendongkrak
Popularitasnya
Yogya Sasaran Operasi Intelejen!
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Koran Kedaulatan Rakyat, Kamis, 11 April 2013 memuat
headline dengan gambar Mayjen TNI Hardiono Sarono dan Pangdam IV Diponegoro
Mayjen TNI Sunindya dipanggul prajurit. Penghormatan diberikan prajurit sesudah
pelepasan jabatan di Makodam IV Diponegoro. Mengaku hormat, bangga kepada 11
prajurit TNI yang melakukan penyerangan di Lapas Cebongan, Sarono mengatakan: “Saya
pertaruhkan karier, pangkat dan jabatan saya untuk 11 prajurit itu. Inilah
bentuk solidaritas yang tak bisa digoyakkan. Jangankan karier, nyawa pun saya
pertaruhkan untuk prajurit saya”. (KR, hal.1). Kebanggaan Sarono adalah kesehatian
korps (esprit de
corps). Kebanggaan Sarono menyetarakan perjuangan
prajurit setara dengan pahlawan.
Di awal publikasi kasus penyerangan di Lapas
Cebongan, pengumuman penembakan yang dilakukan oleh Sarono sehingga berbuntut
pada mutasi dirinya sebagai Pangdam IV Diponegoro, digunakan kalimat penyerang
telah menghabisi empat preman. Pernyataan Sarono tentang “preman” untuk
menjelaskan kejadian penyerangan di Lapas Cebongan segera mendapat simpati dari
warga masyarakat. Kemudian sesudah Tim Investigasi TNI AD mengumumkan hasil
penyelidikannya didapatkan ternyata penyerangnya adalah 11 prajurit
Kopassus. Sejak itu prajurit adalah
pahlawan preman. Di Yogya tiba-tiba dipasang spanduk “Sejuta Preman Mati Rakyat
Yogya Tidak Rugi”. Spanduk yang terpasang
di beberapa sudut kota Yogya tidak tahu siapa yang buat, siapa yang pasang dan mewakili rakyat Yogya yang mana. Spanduk ini telah
membuat masyarakat Yogya simpatik dengan Kopassus.
Sangat mudah menarik simpatik rakyat, SBY yang
partainya sedang tergoyak dengan
skandal korupsi, sedang memainkan simpatik rakyat. Ironisnya yang diserang
adalah rakyat Yogya yang dianggap sebagai pusat pendidikan, terutama barometer perdamaian di
Indonesia (Adeney-Risakotta, KR, 2011). Gampang menggoncangkan rasa aman
masyarakat. Preman menjadi kata kunci dari sublimasi kekerasan yang bisa
dihadirkan segera di depan mata akibat akumulasi pengalaman di tempat lain. Istilah
preman menjadi tumpukan untuk berbagai aksi brutal kelompok-kelompok yang
menyerang warga ketika dihadirkan untuk pembenaran dalam aksi senjata yang
terjadi di Lapas Cebongan malahan mendapat dukungan dari warga masyarakat.
Ketika masyarakat sipil menuntut penyelidikan
penyerangan, mendesak publikasi hasilnya secara terbuka, Presiden SBY tampil
memuji pengumuman penyelidikan yang cepat dilakukan oleh Tim Investigasi TNI AD karena jiwa
kesetiakawanan 11 prajurit yang mengaku perbuatannya. SBY memilih kata”kesatria”
untuk masuk dalam narasi Mayjen Sarono di awal pernyataan aksi penyerangan yang
menewaskan preman. Sarono dan SBY keduanya sedang memainkan emosi warga
masyarakat, mengangkat keegoisan manusia sehingga melupakan nilai-nilai
kesetaraan, keadilan dan kewajaran (fairness) yang melandasi kesamaan hak untuk semua
orang di hadapan hukum.
Ketika aksi anti preman dilakukan, saya sambil
membonceng seorang teman dengan motor melewati
unjuk rasa tersebut. Terbersit pertanyaan dalam
diri saya. Siapakah mereka? Apakah mereka itu sungguh-sungguh adalah warga biasa
yang mengaku dirinya korban dari preman yang menggelisahkan Yogyakarta, atau
mereka adalah preman dalam tipe lain? Kegundahan saya ini seperti diketahui
teman seboncengan yang pada saat sama berkomentar: “Protes anti preman diorganiser oleh
preman. Di Yogya sedang ada kontes pencarian pendukung. Setiap penguasa punya pendukung. Mereka
adalah preman yang berkompetisi di berbagai tingkatan. Makin tinggi kekuasaan,
premannya juga makin canggih”.
Celotehan teman yang lugu ini mengingatkan saya
tentang aksi-aksi preman di Jakarta, di Ketapang sebelum kemudian tiba-tiba
preman-preman yang sama muncul di Ambon menjelang pecahnya kerusuhan berdarah
di tahun 1998. Siapakah yang menghadirkan preman-preman tsb di Ambon, sampai
sekarang masih misteri? Tetapi yang jelas, percecokan yang terjadi antara dua
orang, seorang supir dengan seseorang penumpang di terminal Mardika dengan
sangat cepat merambat menjadi kerusuhan yang melibatkan saudara-saudara Muslim dan
Kristiani di Ambon (Adeney-Risakotta, 2005). Pengalaman ini sangat penting diangkat untuk dihayati
bersama sehingga warga masyarakat bisa lebih mewaspadai berbagai kejadian
kekerasan yang tiba-tiba muncul.
Aksi-aksi kekerasan ternyata ditumpangi dengan
kepentingan politik, termasuk yang aksi kekerasan penyerangan Lapas di
Cebongan. Kepentingan politik adalah mendokrak popularitas SBY karena ternyata
warga Yogya masih membutuhkan sang kesatria untuk melenyapkan preman. Padahal
premanisme adalah hasil dari kompetisi berbagai elite politik yang merekruit
preman kemudian akan melenyapkannya apabila mengancam diri mereka. Jadi
berhati-hatilah warga Yogyakarta supaya tidak terjebak masuk dalam skenario
kekerasan yang sedang dirasuki secara alamiah ke dalam emosi warga masyarakat!
Demi kenyamanan Yogya marilah mewaspadai berbagai bentuk kekerasan yang
mengatasnamakan jiwa kesatria yang ternyata menyesatkan warga masyarakat karena
sedang mengaburkan nilai perhargaan mendasar manusia di hadapan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar