Premanisme: Preman dan Perlente?
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Preman adalah ucapan gaul untuk “freeman”. Istilah ini sangat macho, tetapi bisa juga
digunakan untuk menunjuk kepada perempuan. Sebagai istilah, preman menjadi
terkenal sesudah peristiwa penyerangan Lapas di Cebongan Sleman. Sejatinya,
preman sudah lama ada dalam masyarakat Yogyakarta. Istilahnya bukan preman
tetapi galih-galih, jagoan, atau bandar yaitu mereka yang biasa menguasai areal
tertentu seperti pasar, menerima setoran ekstra dari pemilik-pemilik kios, sekalipun
sudah ada pungutan resmi dari pengelola pasar.
Fungsi mereka ada mengamankan lokasi sehingga ada kenyaman bagi penjual
dan pembeli.
Saya ingat dulu pernah, anjing kesayangan terlepas dan
keluar halaman tanpa sepengetahuan siapapun, kemudian kami menghubungi seorang
pemuda, sahabat kami. Pemuda ini tersenyum ketika mendengar cerita kami tentang
anjing yang sedang jalan-jalan tanpa permisi, sudah menghilang kira-kira dua
jam lalu. Kurang dari tiga jam kemudian, pemuda ini sudah kembali dengan anjing
kami. Kami sangat senang dan berterima kasih dengannya. Sampai sekarang pemuda
ini tidak pernah bercerita di mana menemukan anjing tsb. Ia hanya menjelaskan,
seseorang yang dihormati di kampung karena berjejaring dengan berbagai kelompok
pemuda “jagoan”, menolongnya mendapatkan anjing kami lagi.
Di suatu malam tahun baru, suami dan saya bersama dengan
klub tennisnya berkonvoi dengan puluhan
orang menjelang pergantian tahun. Pada malam itu, saya belajar tentang berbagai
macam kelompok-kelompok, mereka yang menyebut dirinya “geng”. Ada geng pemuda
berambut cepak, ada geng pemuda bermotor besar, ada geng pemuda bercelana koko, ada berbagai macam orang
dengan atribut yang berbeda-beda. Kami berkonvoi tanpa ada keonaran, sangat
tertib dalam antrian kemacetan di setiap perempatan.
Sangat jarang, tetapi satu dua kali, kami mengunjungi
Cafe untuk makan malam. Saya suka menari, jadi kami mencari Cafe yang mempunyai
lantai luas bisa digunakan untuk menari sambil menikmati musik indah. Di sini,
saya mengamati orang-orang muda yang datang ke sana. Sangat jarang, seseorang
ke Cafe sendirian. Pengunjung datang berduaan atau berkelompok. Pernah saya
lihat mereka datang sebagai rombongan dari kelompok pencinta salah satu
kendaraan bermotor atau mobil tertentu.
Cafe menjadi pilihan orang-orang muda di Yogyakarta untuk menonton bersama
misalkan siaran olahraga atau sekedar film yang diputar rutin di Cafe tertentu.
Gambaran geng yang nampak dari gerombolan pemuda-pemudi
tsb sedang menggantikan pemahaman lama tentang jagoan. Model geng-gengan ternyata menunjukkan
kekuasaannya melalui spesifikasi klub yang menyaring pengikut secara khusus.
Misalkan geng pencinta mobil VW. Geng-geng ini tidak bermain di ranah kekuasaan
teritorial tetapi pada “persona” dan identitas yang merepresentasikan diri pada
gaya hidup tertentu.
Sangat berbeda dengan taksi yang beroperasi di
Yogyakarta. Kami sering harus memanggil taksi ketika teman-teman harus pulang sesudah "dinner" bersama di rumah kami. Saking biasanya dengan taksi-taksi yang
suka ngetem di perempatan Cemara 7, sebelum perempatan ring road utara dengan
jalan Kaliurang, saya pernah bertanya kepada pak sopir-sopir tsb tentang daerah
operasinya. Dikatakan, setiap sudut
kota, tanpa ada peraturan tertulis sebenarnya dikuasai oleh kelompok taksi
tertentu. Perempatan Cemara 7 sangat cepat dapat penumpang. Daerah ngetem ini sudah dikuasai oleh taksi X,
sehingga taksi lain tidak bisa ikut-ikutan menunggu penumpang di sana. Taksi
lain juga dilarang untuk mengambil penumpang di sekitar tsb. Misalkan ketika
penumpang muncul bersamaan dengan lewatnya jenis taksi dengan nama lain, maka
penumpang tsb hanya bisa diangkut oleh taksi yang sedang ngetem.
Penguasaan
teritori taksi mengingatkan saya tentang daerah teritori binatang di hutan
rimba di Pangandaran, Jawa Barat. Di sini, pernah kami mengembalikan seorang eeh seekor
monyet, piaraan keluarga yang diberikan nama Solo. Solo dilepaskan kembali ke
alam bebas, karena tidak ada yang mau menjaganya ketika kami harus ke luar
negeri untuk waktu yang lama. Singkat ceritanya, membawa Solo ke Pangandaran
tidak mudah, karena di sana sudah ada geng monyet-monyet. Sambutan terhadap Solo dilakukan dengan perang antara dua klan monyet. Dunia monyet gempar karena hadir seekor monyet yang bentuk fisiknya berbeda. Solo punya lapisan alas perut seperti perempuan yang menunjukkan pola dietnya menyerupai manusia. Solo dibesarkan dalam keluarga selama beberapa tahun. Ketika dikembalikan ke dunia aslinya, diperlukan penyesuaian, ujian sebelum akhirnya
Solo, monyet betina ini diterima dan kawin dengan monyet raja dari klan terkuat hasil pertarungan dari perang penyambutannya.
Baik manusia maupun binatang ternyata menunjukkan keserupaan dalam persaingan, pengklaiman teritori dan kepemilikannya.
Sebagai kota pelajar, Yogyakarta menjadi sasaran dari
berbagai bentuk pemuda/i dengan latar belakang yang berbeda-beda. Di sini
ditemukan pendatang artinya mereka yang “boten boso”, tidak berbahasa Jawa dari
usia anak sampai dengan pemuda/i. Orang
asli Ngayogjakarta juga sekarang jarang berbahasa Jawa halus, "kromo inggil" dengan sesama
anggota keluarganya. Jadi ukuran bahasa untuk menyebut seseorang asli Yogya
juga bisa membingungkan. Tetapi yang penting, Yogya sudah sangat berubah.
Perubahan terutama terjadi di wilayah utara, di daerah Sleman, di mana pusat
pendidikan, dan perhotelan dibangun di Yogyakarta.
Istilah preman yang dulu dikaitkan dengan teritori
penguasaan di pasar, ternyata bisa bergeser menjadi daerah penguasaan dalam
keahlian, sebagaimana ditunjukan pada kelompok hobi maupun profesional. Kesan
preman yang dekil, bertato juga mulai bergeser. Preman sekarang bermobil
seperti berbagai geng-geng mobil, termasuk juga angkutan taksi. Preman dan
perlente adalah dua istilah yang telah mengubah pencitraan geng-geng dari
konotasi kumuh, kumal menjadi keren, gaya, berotot dan dompet tebal. Untuk menjaga pencitraannya supaya tidak “stone”
setiap saat, preman-preman modern ini merekrut anggotanya yang bebas dari
pengaruh narkoba. Tetapi di sisi lain, ada pilihan-pilihan kesenangan yang
perlu dilindungi misalkan terkait dengan gonta ganti pasangan. Preman-preman perlente ini sering kali bangga
dengan pasangan-pasangan yang berubah-ubah. Dalam advokasi hidup bebas HIV/AIDS
yang pernah saya ikuti, tingkat kerawanannya muncul bukan dari jarum suntikan
tetapi dari pergantian pasangan.
Perwajahan preman perlente di Yogyakarta ternyata tidak
bebas dari persaingan di antara geng-geng. Mereka bersaing untuk mendapatkan pasangan
yang paling mahal. Transaksi-transaksi mirip “trafficking” terjadi dengan “bermerek”
artinya mereka yang terlibat saling berganti-gantian pasangan tanpa terkesan
kusut dan kumuh. Pencitraan preman
perlente ini tidak jauh berbeda dengan preman-preman yang bertugas sebagai
petugas sekuriti di pub-pub atau cafe-cafe. Setiap cafe punya petugas sekuriti
yang diangkat dengan menggunakan konsep sama, “keren, kuat, muda, dan
gaya. Kasus Hugos Cafe menjelaskan
tentang pertemuan antara berbagai kelompok dengan klaim-klaim yang sangat
beragam. Catatan kejadian kekerasan di Hugos Cafe dalam tahun terakhir ini sudah ada dua kasus
pembunuhan, pertama seorang pengikut geng mobil Lavina dan kedua seorang
anggota Kopassus. Pertama, perkelahian antara geng dan geng. Kedua perkelahian
antara seorang Kopassus dengan seorang sekuriti Hugos Cafe yang dibantu oleh
rekan-rekan lainnya.
Dari penggambaran ini, sangat penting kepada pemerintah
untuk melakukan pembinaan kepada pemuda-pemudi karena mereka adalah aset
bangsa. Ada tanggungjawab yang perlu dipikul bersama oleh pemuda/i ini.
Peristiwa Hugos Cafe kiranya memberikan refleksi mendalam kepada masyarakat
sipil di Yogyakarta untuk turut peduli terhadap situasi hidup malam yang bisa
mengancam pemuda/i. Selama mereka bisa dibina, saya pikir preman perlente
bukanlah ancaman untuk negara kecuali diantara preman sendiri yang sedang
saling mengancam. Apabila terjadi seperti ini, maka sangat penting peristiwa
kasus per kasus hendaknya tidak dijadikan
alasan untuk menakut-nakuti warga masyarakat dengan ancaman premanisme di kota
Yogyakarta. Seperti yang saya amati, sekelompok geng mobil melakukan pemasangan
poster dan spanduk di seantero Yogya
yang berisi “aspirasi” menolak premanisme. Pertanyaan saya, apakah mereka tidak
sadar menjadi bagian dari premanisme tsb, preman dan perlente?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar