Merumuskan Kemiskinan Belajar dari Papua-Aceh-Yogya: Bagian Kedua
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Bicara tentang kemiskinan seperti memasuki lorong gelap
gendang telinga manusia. Ada banyak bagian berliku-liku yang harus diteteskan
obat supaya telinga tidak sakit. Rongga adalah jalan menuju sebagian dari
segmen hidup di dalam telinga. Salah
perawatan, telinga bisa kehilangan fungsinya. Diri sendiri tidak bisa melihat rongga telinga,
tetapi hanya dapat merasakan telinga, sedang sakit atau tidak. Seseorang lain, dokter, perawat atau petugas
salon yang bisa membantu melihat dan mengeluarkan bongkahan lilin penutup gendang
telinga yang mengganggu pendengarannya.
Kemiskinan ketika dialami seseorang diterima dengan sikap
tawakal dan bertahan, yang bisa terlihat pada kebiasaan perilaku diri dan
kelompok dalam hidupnya sehari-hari. Sangking terbiasa hidup miskin, seseorang
dan komunitasnya tampil terlalu kuat sehingga tidak merasakan sedang hidup
dalam kemiskinan. Mereka yang hidup di sekitar pesisir pantai, di pinggiran
sungai, di lereng-lereng gunung dan lembah di pedalaman berbeda-beda dalam
menghayati “kemiskinan” yang sedang membelitnya.
Diperlukan ukuran yang diberikan dari luar komunitas
untuk menjelaskan kondisi standar dari keberadaan kehidupan seseorang atau
kelompok. Misalkan di era 70 an di
Indonesia, ukuran kemiskinan mulai diperkenalkan oleh Prof Sayogyo terkait
dengan garis kecukupan gizi. Patokannya rata-rata manusia Indonesia memerlukan
2.100 kilokalori per orang per hari yang dikonsumsikan dari asupan beras sebagai ukurannya.
Dalam rangka program MDGs (Millenium Development Goals),
PBB menetapkan ukuran mengatasi kemiskinan kronik di dunia, yaitu pemenuhan
pendapatan seseorang per hari $1 untuk bisa memenuhi kebutuhan primairnya. Kedua ukuran ini menjadi problematis ketika ditempatkan pada pertimbangan topografi
dan lokasi sebagai prasyaratan pengentasan kemiskinan. Merujuk pada fenomena di
daerah pedalaman di Papua, sumber gizi tersedia pada tanaman tetapi tanpa
pengetahuan gizi masyarakat tidak berubah untuk meningkatkan kesehatannya.
Jadi faktor pertama dalam mengerti kriteria kemiskinan,
sebenarnya bukan pada standar pencapaian produk yang menjaminkan pembelanjaan
kebutuhan sehari-hari seseorang dalam keluarga. Kriteria pemenuhan asupan gizi berbasis konsumsi
beras sebagai ukuran juga problematis karena pola diet warga asli Papua adalah
sagu dan umbi-umbian. Pertimbangan lain yaitu lokasi dan topografi harus menjadi
alasan yang sangat penting untuk mengerti jejaring kehidupan yang mencekam
seseorang dengan kelompoknya sehingga hidup dalam keadaan yang disebut miskin. Selain
fenomena keterisolasian fisik, keterasingan seseorang dan kelompok dari ide-ide pemikiran kreatif yang mendorong pada
proses penciptaan harus bisa menjadi ukuran dalam merumuskan kemiskinan.
Jadi apa itu kemiskinan? Kemiskinan adalah kondisi hidup
yang sangat minimalis, sangat sederhana dijalani seseorang, sekelompok orang
maupun masyarakat tertentu karena keterbatasan ketersediaan sumberdaya,
aksesitas pengolahannya, rendahnya kapabilitas dan kapasitas mengembangkan diri
yang bisa mendorong terjadinya tukar
menukar ide, pengetahuan, produksi dan jasa dengan sesama. Kondisi hidup
minimalis ini menyebabkan keterbatasan masyarakat miskin mengakses pendidikan,
kesehatan, perdagangan, dan perumahan. Pemenuhan
kebutuhan primair masyarakat miskin tanpa melengkapi mereka dengan kemampuan
memproduksi bisa menyebabkan terjadinya stagnasi atau kepasifan dalam menanggapi
dan menyelesaikan alternatif solusi
persoalan-persoalan kehidupan yang dihadapinya.
Kepasifan atau stagnasi seringkali diidentikan dengan
kemalasan. Padahal keduanya berbeda.
Kemalasan adalah keenganan untuk memproses atau melakukan sesuatu karena
berbagai pertimbangan yang dibuat secara sadar. Misalkan, seseorang memutuskan
untuk bersantai sesudah menghabiskan waktu yang lama mengerjakan sesuatu. Kemalasan
sebagai sikap hidup bisa terjadi sebagai bagian dari reaksi masa bodoh. Ketika
berbagai upaya dilakukan tetapi menghasilkan kesia-siaan, maka orang cenderung
membangun sikap malas.
Tetapi kepasifan cenderung terjadi karena ketidaksadaran
terhadap ide-ide lain di luar pembendaharaan pengetahuan yang dimiliki
seseorang atau kelompok. Kepasifan terlihat dari kelambatan tanggapan seseorang
dalam pengembangan ide-ide baru yang kreatif sehingga bisa mendorong proses
penciptaan suatu karya yang dapat dipertukarkan dengan sesama.Kepasifan bisa mendorong pada kemandegan dalam berkarya.
Penyebabnya bukan karena kemalasan tetapi dikarenakan pelemahan kemampuan
mencipta sehingga tidak terekspos dengan pembiasaan berpikir untuk memecahkan
keterbatasan diri atau kelompok dalam mengolah SDA yang melimpah atau berkekurangan.
Ketidakmampuan mencipta bisa menimbulkan perasaan tidak
berdaya yang tampil dalam wujud penyerahan diri atau tawakal sebagai tanda dari
sikap bertahan. Dampaknya bisa positif seperti ketahanan untuk terus mencipta
dalam cara dan pengetahuan yang ada sekalipun tingkat modifikasi tidak
berkembang dengan optimal. Sisi negatifnya terjadi ketika kemandegan bersifat menetap.
Munculnya rasa frustasi yang mendorong seseorang atau kelompok memilih menarik
diri dari tanggungjawab untuk mengembangkan produk ciptaannya yang bisa
ditawarkan kepada sesama. Kefrustasian akan diperparah apabila semua aksesitas
untuk memproses penyegaran pengetahuan tidak tersedia. Struktur yang tidak adil
bisa menjadi pemicu terhadap pelemahan kemampuan mencipta dan berkarya.
Kefrustasian kolektif bisa menyebabkan kemandegan dalam
penciptaan yang berpengaruh terhadap pelambatan perkembangan budaya. Pengertian budaya bukan dimaksud sebagai perkembangan
kebiasaan bermalas-malasan, tetapi kemandegan dari proses penciptaan karya. Peran
penting budaya adalah menjaminkan penerusan proses produksi dan reproduksi yang
bisa dicapai apabila kapasitas dan kapabilitasnya terbentuk dari proses belajar
yang mendalam. Proses kemandegan budaya bisa terjadi sebagai bagian dari sistem
pengembangan SDM yang tidak merata.
Perumusan definisi dan pengertian kemiskinan di atas dapat
dipergunakan untuk mengerti tentang perbedaan dinamika dan mobilitas penduduk
yang hidup di pesisir pantai, di sekitar sungai dan di pedalaman tampil
berbeda-beda. Penyebaran penduduk Papua yang lebih banyak di daerah pedalaman
menyebabkan adanya perbedaan dalam dinamika ekonomi yang mendorong kepada
seseorang dalam kelompok memacu dirinya secara bersama mengatasi ketergantungan
hidup semata-mata pada alam.
Kedinamisan penduduk Papua di sekitar pantai berbeda
karena aksesitasnya untuk berhubungan dengan kelompok-kelompok yang lain dalam
pertukaran produksi yang dilakukan secara bersama. Kedinamisan interaksi
penduduk di pantai yang mendirikan kota-kota penting di Papua, misalkan
Jayapura, Biak, Serui, Merauke, Sorong dsbnya.
Penduduk Papua di daerah pedalaman terbatas dalam interaksi dengan dunia
luar kecuali aksesitas transportasi yang
mahal bisa diatasi.
Fenomena yang sama bisa dilihat dalam konteks masyarakat
di Aceh sebagai daerah dengan penduduk yang tinggal di sepanjang pantai,
dibandingkan dengan mereka yang tinggal di pedalaman. Sejak jaman sebelum kolonialisasi
Eropa, warga Aceh di daerah pantai adalah pedagang ampuh yang memperluas jejaring
pasar dari percampuran geneologi pendatang
dengan warga lokal. Mereka ini adalah etnis Aceh dengan mobilitas tinggi
sehingga terkesan mendominasi etnis lain di sana, misalkan etnis Gayo yang lebih banyak mendiami daerah
pedalaman.
Di Yogyakarta sebagai daerah di pedalaman, di jalur
selatan juga mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi pada alam. Daerah dengan
aksesitas air yang tersedia tampil lebih makmur, seperti Sleman, Bantul,
sebagian Gunung Kidul dan sebagian dari Kulon Progo. Tetapi di daerah dengan
aksesitas air rendah mendorong masyarakat meninggalkan desanya untuk mencari
penghidupan di lokasi lain seperti nampak pada desa-desa di Gunung Kidul
sebelah selatan dan di Kulon Progo bagian selatan. Gunung Kidul mengekspor
tenaga kerja untuk bekerja di bidang jasa dengan tingkatan pengupahan yang
belum memungkinkan pemenuhan seluruh kebutuhan kehidupan minimalis plus yang
meliputi primair, sekunder dan tertair.
Realitas kepasifan karena keterisolasian fisik maupun keterasingan pengetahuan yang terjadi pada masyarakat miskin
harus ditransformasikan dengan menghadirkan pendidikan yang mencerdaskan warga
sehingga mereka bisa terinspirasi untuk menggali sumber pengetahuan yang ada di
sekitarnya. Pengembangan pengetahuan berlangsung secara bertahap dalam
interaksi dengan ide-ide pengelolaan SDA yang diperjumpakan dari
kelompok-kelompok lain di luar dirinya untuk peningkatan kualitas hidup
bersama. Dalam mencapainya sangat penting disediakan model pendidikan yang
mengkombinasikan kebijakan dan praktek lokal.
Misalkan “noken” yang diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO
perlu dimasukkan dalam kurikulum lokal sehingga bisa dipelajari oleh anak-anak Papua.
Pengajaran desain dan kreatifitas berpikir bisa membantu pengembangan fungsi “noken”
yang menjawab kebutuhan luas masyarakat modern di sekitar Papua maupun di
seluruh dunia. Pelestarian bahan
produksi noken juga perlu dilakukan dengan menanam pohon “momo” yang
dipergunakan sebagai bahan dasar pembuatan anyaman “noken”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar