Petisi Warganegara NKRI untuk Papua (Morning News, 12 April 2013)
Kondisi Warga Asli Papua di Tengah Daerah Pertambangan di Pegunungan Tambrauw
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Selamat pagi sesama warganegara NKRI di seluruh tanah air. Sahabat-sahabat salam semangat!
Sesudah menunggu beberapa waktu, seperti diberitakan dalam Morning News beberapa lalu, akhirnya pagi ini berita yang dipublikasikan di koran Kompas (Kompas, Kamis 11 April 2013) terkait dengan situasi kehidupan sesama warganegara NKRI yang berada di Kabupaten Tambrauw bisa diangkat kembali. Peliputan harian Kompas, yang berada bersama dengan tim kesehatan gabungan dari Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan Unit Kerja UP4B memberitakan dengan deskriptif kehidupan warga di desa Kwesefo, Distrik Kwoor, Kabupaten Tambrauw
Sebelum tiba pada klarifikasi tentang data kematian 95 warga karena busung lapar, wartawan Kompas A Ponco Anggoro menggambarkan situasi kehidupan masyarakat yang sangat sederhana di tengah-tengah daerah yang sedang ditambang oleh perusahaan pertambangan di pegunungan Tambrauw. Gambaran ekstrim tentang perbedaan situasi antara kehidupan masyarakat dengan perusahaan pertambangan adalah pada penyediaan transportasi. Warga masyarakat dihubungan dengan desa terdekat yang memiliki puskesmas, atau sekolah, sesudah berjalan 1- 2 hari. Sementara helikopter bisa diakses dengan pembayaran Rp 30 juta sekali sewa untuk perjalanan pulang pergi dari kampung Kwesefo ke Sujat di mana fasilitas dasar kesehatan dan pendidikan tersedia.
Penggambaran kuat tentang situasi kehidupan masyarakat di Kwesefo menolong pembaca membayangkan perjuangan yang dijalani oleh warga sehari-hari. Ada tiga desa yang saling berdekatan yaitu Kwesefo, Mbatde, dan Jokbi Joker. Tidak ada kematian di Kwesefo selain ditemukan ada 12 anak-anak yang kurang gizi. Di Jokbi Joker ditemukan ada dua kuburan yang masih baru dan di desa Mbatde di antara bulan Desember sd Maret 2013 ada 9 orang meninggal karena diare dan malaria.
Petisi Warganegara NKRI untuk Papua berterima kasih kepada wartawan Kompas yang menggambarkan situasi kehidupan warga dengan sangat detail. Penjelasan tentang 12 anak yang kurang gizi sebaiknya dilengkapi dengan penggambaran tentang tampilan anak-anak tersebut, misalkan dengan mendeskripsikan tanda-tanda kurang gizi pada anak-anak tsb. Sementara anggapan tentang pemicu kematian dari warga disebabkan karena diare dan malaria agaknya terlalu gampang dibuat terutama mengingat ketidaktersediaan aparat kesehatan untuk membuat diagnosa dari penyebab kematian tsb.
Seperti sudah diberitakan sebelumnya, Petisi Warganegara NKRI untuk Papua berpendapat bahwa persoalan jumlah kematian warga akibat busung lapar sekalipun kecil tetap harus diterima oleh pemerintah RI sebagai tanda adanya bencana nasional. Mengunjungi langsung daerah terisolasi seperti Kwesefo, Jokbi Joker dan Mbatde, setidaknya memberikan pengalaman baru dari tim gabungan kesehatan nasional, lokal dan UP4B yang menjadi dasar untuk mendorong munculnya komitmen mengubah situasi keterbelakangan warga dalam memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Eksplorasi pertambangan yang terjadi di sekitar daerah di mana warga berdomisili ternyata belum memberikan nilai tambah kepada penduduk setempat, termasuk perbaikan fasilitas umum yang masih sangat minim tersedia.
Sementara di website UP4B dipasang pengumuman tentang besaran anggaran APBN yang terserap untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan di Papua, tetapi ternyata sebagaimana dilaporkan Kompas, daerah yang terisolasi menimbulkan tanya, tentang ke mana prioritas infrastruktur pembangunan diarahkan? Harapan perubahan masih bisa dilakukan terutama apabila masyarakat sipil turut berpartisipasi mengawal dan keterbukaan media untuk melaporkan perkembangan secara berkala di tempat-tempat yang terisolasi untuk menghadirkan keadilan dan kesejahteraan yang merata kepada seluruh warganegara di NKRI.
Tulisan wartawan Kompas, A. Ponco Anggoro tentang dengan judul "Hidup Terisolasi di Pegunungan Tambrauw" bisa dibaca selengkapnya berikut ini.
Pedalaman Papua Barat
Hidup Terisolasi di Pegunungan Tambrauw
Oleh A. Ponco Anggoro
Sumber: Kompas, Kamis, 11 April 2013, halaman 1 dan 15, kol 1-4.
Merkash Yebron (25) terbarng lemas di tempat tidurnya yang
hanya dilapisi selembar daun pisang, akhir pekan lalu. Di sampingnya, bayi
berusia tiga hari dengan tubuh masih kemerahan, terbungkus kain, terus
menangis. Jemari Merkah sesekali mencoba mengusapnya, tetapi buah hatinya
tersebut tak juga berhenti menangis.
Dia hanya berdua dengan anak keduanya yang bernama Supanyer
Yesnat di tempat itu. Di Kampung
Kwesefo, Distrik Kwoor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Tempat ini berukuran
tidak lebih dari 6 meter persegi sehingga hanya cukup dihuni Merkah dan
Supanyer. Atap rumah berupa pelepah daun sagu dengan dinding dan lantai dari
bambu. Sementara tinggi pintu masuk hanya sekitar 1 meter dengan lebar 0,5
meter sehingga tidak mudah untuk masuk dan keluar.
Bilik itu sebetulnya menempel pada bangunan utam yang
berukuran 8-10 kali lipat lebih besar, tempat keluarga besar Yesnat tinggal.
Meski begitu, tak ada pintu yang menghubungkan kedua bangunan. “Sudah turun
temurun dari orangtua kami, kalau ada yang melahirkan harus keluar dari rumah
dan tinggal di bangunan lain yang dibuat di samping rumah. Ibu dan anak yang
dilahirkan tinggal di sana sampai darah ibu berhenti keluar”, tutur Sekretaris
Kampung Kwesefo Octovianus Yekwan.
Jadi, di bilik itulah Merkah berjuang melahirkan Supanyer.
Persalinan hanya dibantu dukun yang biasa menolong melahirkan. Namun,
perjuangan Merkah tak sia-sa, Supanyer lahir selamat, tak seperti kakaknya yang
meninggal saat dilahirkan dua tahun lalu.
Pola Tradisional
Persalinan dengan cara tradisional terpaksa ditempuh karena
ketiadaan fasilitas dan pelayanan kesehatan di Kwesefo. “Tidak hanya saat
persalinan, tetapi juga kalau ada warga yang sakit, kami lebih sering menggunakan
dedaunan yang biasa dipakai orangtua untuk menyembuhkan penyakit, “ ujar
Octovianus.
Fasilitas kesehatan terdekat dari Kwesefo adalah puskesmas
pembantu di Sujat, Distrik Sujat, yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki
selama satu sampai dua hari. Adapun pelayanan kesehatan dari dokter, bidan,
atau perawat tidak datang setiap saat. “Pelayanan kesehatan pertama di Kwesefo
baru pada akhir 2012. Mereka tiba dengan helikopter dari Sausapor (ibu kota
sementara Tambrauw). Kemudian pulang jalan kaki,” kata Octovianus.
Helikopter disewa dari salah satu perusahaan tambang di
Tambrauw. Helikopter menjadi satu-satunya alat transportasi yang bisa cepat
menjangkau Kwesefo karena belum ada jalan. Dengan helikopter, Kwesefo bisa
dijangkau dalam waktu 15 menit dari Sausapor, sedangkan dengan berjalan kaki
bisa sampai lima hari.
Namun, helikopter tak setiap saat ada. Ketika helikopter
tidak digunakan untuk kepentingan perusahaan, baru bisa disewa. Biayanya Rp 30
juta untuk sekali perjalanan pergi-pulang.
Ketiadaan pelayanan kesehatan ini yang menyebabkan kondisi
kesehatan warga Kwesefo, yang berjumlah 175 orang, terabaikan.
Saat tim
kesehatan gabungan dari Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Papua Barat,
bersama Unit Kerja Percepatan Pembangunan Papua/Papua Barat, mengecek kesehatan
warga, Minggu (7/4) dan Senin, mereka mendapati 12 bayi dan anak berusia di
bawah lima tahun kurang gizi. Jumlah ini hampir separuh dari jumlah anak yang
dicek kesehatannya.
“Tidak ada kesadaran warga akan perilaku hidup bersih dan
sehat. Inilah yang membuat akan-anak kurang gizi, cacingan, atau diare, “ ujar
Muchtar Nasir, dokter dari Kementerian Kesehatan yang termasuk dalam tim
kesehatan gabungan.
Tidak ada pula sekolah ataupun guru di Kwesefo yang bisa
memberikan kesadaran terhadap warga untuk hidup bersih dan sehat. Satu-satunya
cara untuk sekolah, anak-anak harus berjalan ke Sujat atau Kwoor dengan waktu
tempuh satu sampai dua hari.
Kekurangan gizi sebetulnya tak perlu terjadi karena tanaman
yang tumbuh subur di sekelilingi mereka sudah menyediakan gizi yang dibutuhkan
tubuh. Tanaman kasbi (ubi kayu), keladi (talas), betatas (ubi jalar), bahkan
sagu terlihat di sekelilingi kampung, Tampak pula sayuran, seperti bayam dan
pakis. Tanaman pisang juga banyak terlihat. Selain itu, warga juga beternak
ayam yang bisa menjadi sumber protein.
Namun, dari semua hasil kebun yang ada, menurut Octovianus,
warga lebih memilih makan karbohidrat, seperti kasbi, keladi dan betatas. Sementara hasil kebuh lainnya hanya sesekai
dimakan. “Kadang-kadang sisanya dibawa dan dijual ke kota. Namun, tidak sering
karena jarak ke kota jauh. Sebagian besar hasil dibiarkan begitu saja,”
katanya.
Kondisi ini sekaligus membantah terjadinya kematian 95 orang
(dikoreksi jadi 84 orang) akibat busung lapar dan gizi buruk di kawasan itu,
seperti diinformasikan LSM Belantara yang diragukan akurasinya. Di Kwesefo,
misalnya, tidak ada warga yang meninggal sejak pertengahan 2012. Di Jokbi
Joker, tim kesehatan gabungan hanya menemukan dua kuburan baru. Sementara di
Mbatde, berdasarkan laporan warga ke BPBD Tambrauw, ada sembilan orang
meninggal selama Desember 2012-Maret 2013. Pemicunya adalah diare dan malaria.
Terlepas dari simpang siurnya data warga yang meninggal,
fakta yang jelas adalah ketiga kampung di pedalaman Pegunungan Tambrauw itu
masih terisolasi dari pelayanan kesehatan. Untuk mendapatkan pelayanan, mereka
harus berjalan berhari-hari meski dalam kondisi sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar