Bersama R.A.Kartini, Menarilah Mengembalikan Kebajikan
Pengetahuan Sejati!
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Pernahkah anda membayangkan tentang perayaan hari
Pahlawan sejajar dengan hari-hari keagamaan? Hari ini hari Kartini, 21 April
2013. Setiap kali perayaan Kartini, segera terbersit dalam diri saya, seorang
Kartini yang cerdas. Diluar konstruksi bikinan Orde Baru, Kartini sebagai
seorang “Ibu” sehingga perayaannya ditandai dengan berkebayaan, Kartini untuk
saya adalah seorang pemikir.
Jadi memperingati hari Kartini membawa saya
berkelana kembali ke alam Kartini. Seolah-olah semangat Kartini kembali lagi,
sedang bercakap-cakap dengan saya. Inilah kesetaraan perayaan Kartini dengan
hari-hari keagamaan. Kartini memenuhi hidupnya dengan nilai-nilai kehidupan.
Nilai keadilan, keberanian, kesetaraan, keberpihakan, kepedulian, keinginantahuan
tinggal bersisian di dalam diri Kartini dengan nilai-nilai kerukunan, kesopanan, keramahtamahan, kepatuhan, keiklasan, kemandirian dan
pertanggungjawaban seorang manusia di hadapan Sang Khalik.
Buku
Habis Gelap Terbit Terang adalah jendela saya untuk setiap kali
kembali ke alam Kartini, mengerti pergolakannya kemudian membawanya ke dalam jaman
saya. Pemikiran Kartini melintasi waktu sekalipun dirinya sudah selesai. Itulah
sebabnya saya ingin berkeluh kesah kepada Kartini karena saya tahu Kartini akan
sangat senang berdialog, berdiskusi. Kartini juga ingin tahu apa yang terjadi
dengan Indonesia. Istilah berdialog, berdiskusi mungkin telah berat untuk
menjelaskan sebenarnya yang saya inginkan adalah berkeluh kesah kepada Kartini.
Selayaknya seperti Kartini yang berkeluh kesah dengan teman-teman penanya. Saya
juga ingin melakukan yang sama sekarang.
Saya ingin memberitahu tentang kedukaan bangsa pada saat
perayaan hari Kartini. Keprihatinan dari penyelenggaraan hari Ujian Nasional (UN)
untuk siswa/i sangat tepat diteruskan
kepada Kartini sebagai seorang pejuang pendidikan. Pendidikan sebagai jendela
kepada perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik dari seseorang anak manusia,
ternyata sekarang ini di Indonesia lebih
banyak dipraktekkan sebagai anjang berpolitik. Pendidikan menjadi rebutan
partai-partai untuk mendudukan wakilnya yang diharapkan bisa mengendalikan
konstruksi jati diri anak-anak bangsa.
Keterpesonaan, daya tarik yang menyisir perhatian
anak-anak bangsa terhadap pendidikan seolah-olah tidak berhasil dihadirkan
sebagai inti pendidikan nasional. Pendidikan dihadapi sebagai beban, karena
tugas-tugas pembelajaran yang harus dikerjakan oleh peserta didik tanpa
mengerti relevansi kerja kerasnya untuk hidupnya sekarang dan masa depan.
Contohnya saat ini, Ujian Nasional yang amburadul, harus menyebabkan siswa/i
menunggu berjam-jam sebelum soal ujian tersedia. Di seluruh Indonesia,
pelaksanaan Ujian Nasional yang tidak serentak, telah menuai permasalahan
karena penantian dalam waktu yang lama bagi siswa/i terhadap ketersediaan soal ujian. Pemusatan pelibatgandaan soal UN
di Jakarta telah menyebabkan petaka kepada anak-anak bangsa di seluruh
Indonesia.
Mengapakah UN harus dikontrol dari Jakarta? Engkau,
Kartini, pasti segera bertanya! Pak
Menteri sudah menjawab, katanya pemusatan cetak soal UN di Jakarta untuk menghindari kebocoran UN. Sayang,
menghindari dari satu jebakan sekarang malahan Kementrian Pendidikan sedang
terperosok pada kebijakan yang dibuatnya sendiri. Bisakah engkau, Kartini
memberitahu saya, ada apa dengan bangsa
ini?
Engkau, Kartini pasti gamang mengetahui alasannya
kegagalan produksi dan distribusi soal UN karena pelaksanaan tender cetakan
soal-soal UN yang dilakukan tidak adil penuh siasat kecurangan. Kongkalikong
kebijakan yang mencari cela terhadap pelibatgandaan keuntungan malahan berbuah
malapetaka. Sekarang para pejabat ketakutan karena pendidikan yang dijaminkan
oleh negara seolah-olah sedang dipermain-mainkan.
Tukar ganti kurikulum nasional belum selesai
diperdebatkan, sekarang Indonesia berhadapan dengan kegagalan UN. Ketakutan kegagalan
UN yang semula pada kebocoran soal malahan sekarang terjebak pada pengamanan
kebijakan sentralisasi yang sedang tersandung pada kepentingan penggelolaan
dana cetak soal UN. Engkau, Kartini, mungkinkah bertanya, apakah yang ada dalam
pemikiran pembuat kebijakan Pendidikan?
Kegairahan Presiden SBY untuk menggali ilmu ternyata belum bisa
diturunkan kepada sistem yang dipimpinnya. Kementrian Pendidikan sebagai
pengelola dengan anggaran besar seolah-olah lumpuh berhadapan dengan kebijakan
yang dibuatnya sendiri.
Memikirkannya malahan membuat engkau Kartini puyeng! Saya
juga ingin menghindari memikirkan kesembrawutan pengelolaan kebijakan
pendidikan di negeri ini. Mungkin saya banyak berangan-angan terhadap cara
mengajar yang menimbulkan kegairahan, keterpesonaan dari peserta didik.
Menghadirkan cara belajar yang dikangenin oleh siswa/i, mahasiswa/i, perempuan akar rumput dan anak-anak adalah “my
passion”. Saya tahu engkau, Kartini
mewarisi “passion” itu kepada saya.
Engkau, Kartini juga telah menginspirasikan
begitu banyak guru-guru terbaik yang pernah lahir dari bumi Indonesia. Guru-guru
yang memberikan waktu untuk meluaskan pengetahuannya sendiri di atas “ilmu
spesifik” yang diajarkannya supaya membuka wawasan siswa/i sehingga tertarik untuk
memasuki misteri ilmu pengetahuan. Mereka ini, guru-guru sedang disia-siakan,
dipermainkan oleh Kementrian Pendidikan karena tukar pasang kebijakan
kurikulum. Puncak kesengsaraan guru-guru adalah saat ini, penantian soal-soal
UN, penyelesaian pelaksanaan UN yang melelahkan dari penantian soal-soal yang
lambat tiba di daerah-daerah.
Keresahan terhadap kebijakan pendidikan mungkin akan
menghasilkan apatisme dari peserta didik. Saya tahu “keresahan” ini berbeda
dengan yang engkau, Kartini perlihatkan pada jamanmu. Engkau, Kartini resah karena ketidakcocokan
antara realitas yang dihadapi dengan ide-ide perjuangan yang diterima dalam
kesadaran nilai. Misalkan realitas perempuan yang terbelakang pada saat itu,
sehingga mendorong engkau, Kartini untuk mendirikan sekolah keputrian kepada
mereka. Engkau bahkan memberi waktu mengajarkan mereka yang bisa berbahasa
lisan tetapi tidak menulis yang dikatakannya.
Dalam setiap kata-kata yang
engkau, Kartini pilih untuk mengajar, ada rahasia yang engkau bukakan kepada
mereka. Engkau, Kartini, memperkenalkan huruf sekaligus menjelaskan konsep
dengan cara yang mempesonakan sampai mata indah dan mata hati dari
perempuan-perempuan muda terbelalak dan tersentuh. Mereka tertawa bersamamu
dirimu, Kartini.
Mereka bisa membayangkan tugas-tugas seorang ibu ada
dalam kata “ibu, tetapi juga dari caramu mengajar, mereka mengenal sisi “ibu”
yang cerdas ada pada dirinya sendiri. Engkau, Kartini, mengalirkan keyakinan
baru dalam cara yang santun sekaligus kritis mengamalkan ajaran tradisi tentang
“sorga di bawah telapak kaki ibu”. Mereka tahu, dalam kata “ibu”, sikap
ketulusan adalah kekuatan yang menggetarkan untuk memelihara semangat anggota
keluarga, termasuk anak-anak bangsa sehingga tidak gampang menyerah kepada
keegoisan diri.
Mereka mengerti dari kata “ibu”, ada proses yang harus dilewati
setiap anak manusia. Sikap kesabaran muncul sebagai jawaban dari perjalanan
ketekunan, berulang-ulang kali melakukan sesuatu sampai berhasil dengan diikuti
sikap menunggu melihat buah keberhasilan sendiri tanpa cepat-cepat mencari
jalan pintas. Mereka makin mengerti, dalam “ibu” tidak ada kepasifan, stagnasi
tetapi kehidupan yang terus mengalir.
Engkau, Kartini sudah datang melawat saya di pagi ini.
Engkau, Kartini telah menunjukkan rahasia kehidupan ada pada kata “ibu”.
Manusia yang dilahirkan dari rahim perempuan, dikawal juga sang ibu sampai
anak-anak bangsa mencapai cita-citanya setinggi gunung Merapi. Engkau, Kartini,
mengajarkan sikap tapa dalam kata “ibu”, sehingga perjalanan meraih cita-cita
dilakukan dalam kebersahajaan yang membebaskan.
Menarilah dalam kepedulian dengan sesama. Menarilah dalam
pembebasan penggalian rahasia kehidupan dari lorong terang pengetahuan yang
keluar dari kata “ibu”. Menarilah, engkau, Kartini bersama saya sampai semua
anak-anak bangsa diangkat dari keputusasaan mentransformasikan keegoisan pemimpin
bangsa mengkontruksikan pendidikan pembodohan yang sedang menjebak diri mereka
sendiri.
Menarilah, menarilah, engkau, Kartini bersama terang
ilahi yang tetap ada di balik kelabu semesta membungkus duka perjalanan
kebijakan pendidikan di negeri ini. Saya menari sampai engkau, Kartini
menghilang, memberi istirahat kepada anak-anak bangsa menemukan jalannya
kembali kepada kebajikan pengetahuan sejati!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar