(Indonesian version)
Tuhan, Sang Pencipta dalam
Kekuatan Perjuangan Manusia di Papua
Pendasaran Menuju
Dialog Jakarta-Papua
Versi English dari artikel dimuat pada blog saya lainnya http://farsijanaforpizza.blogspot.com/2013/11/god-almighty-of-creator-within-human.html
Versi English dari artikel dimuat pada blog saya lainnya http://farsijanaforpizza.blogspot.com/2013/11/god-almighty-of-creator-within-human.html
Oleh Farsijana
Adeney-Risakotta
Agama menjadi bagian dari dunia modern saat ini. Ramalan tentang kematian agama-agama sudah berakhir. Dengan wajah yang menyerupai budaya, agama kembali tampil menjadi sumber kekuatan manusia di abad 21. Perdebatan tentang adanya Sang Pencipta atau semesta terbentuk sebagai hasil dari proses evolusi semata sudah melampaui titik kejenuhan. Toh setiap kelompok dengan argumentasinya masing-masing bisa terpelihara dan dipercayai menurut keyakinan setiap pribadi dan komunitas yang memungkinkan kepercayaan tersebut berkembang menjadi pengingat kepada semua orang yang mempercayainya. Di era di mana kebebasan berpendapat, berkeyakinan dan beragama diakuai sebagai bagian dari dasar hidup bersama masyarakat di dunia modern, ternyata menghadirkan keragaman dalam ekspresi manusia yang menjawab terhadap pertanyaannya tentang keberadaan Sang Maha Besar, Pencipta semesta.
Kerangka logika tentang Sang Pencipta sebagai pelindung
keluarga, suatu kelompok etnis, klan, desa sampai pada negara makin diperluas
pengertiannya ketika pendekatan untuk menjelaskan ajaran-ajaran tersebut
dilakukan dengan mengakui peran Sang Pencipta sebagai Roh yang hidup dan
berkarya dalam kehidupan manusia. Pengertian Roh yang statis berubah dengan
pengkayaan penggambaran Sang Pencipta yang terlibat dalam keseharian manusia di
muka bumi.
Batasan tentang agama-agama dalam kerangka pemahaman evolutif
sudah mulai berubah terutama mengingat keterhubungan dalam kesalingpengaruhi di
antara agama-agama. Reformasi dan transformasi terus berlangsung di setiap
agama-agama baik terkait dengan pemahaman ajarannya maupun praktek nilai yang
tampil dalam tindakan setiap pemeluk agama.
Ketika saya di rumah sakit
Ventura County Medical Center, saya dilayani oleh seorang perawat yang
sangat ramah. Kami terlibat diskusi yang mendalam ketika ia bertanya tentang Bali
dan Hinduismenya yang telah menumbuhkan komitmen dalam dirinya.
Namanya, Cyndy, dilahirkan sebagai seorang Katolik dari ibu
dan bapak asli Mexico. Cyndy berumur 32 tahun mengatakan tidak mempraktekkan
ajaran Katoliknya kecuali tahu bahwa ia dibaptiskan di gereja. Sekarang ia
sedang mempelanjari Hinduisme. Saya bertanya mengapa ia tertarik dengan
Hinduisme, katanya pengajaran tentang raga yang menjadi pusat dari displin
untuk mengerti kehidupan sangat menarik kepadanya.
Doktrin
Hinduisme tentang dewa-dewi maupun berbagai matra yang cukup sulit dipakai
dalam doa tidak menghalanginya untuk memantapkan pilihannya dalam pendalaman
agama Hindu untuk kehidupan pribadinya. Raga adalah kosmik pada tubuh yang
mengantar dirinya untuk menguak misteri penderitaan (samsara) untuk menyusun
ulang penjelasan tentang struktur kelas dalam masyarakat yang bisa disejajarkan
dengan kasta.
Sebagai
seorang anak imigran di Amerika Serikat, Cyndy dididik dengan disiplin yang
tegas. Ia harus bisa berbahasa Inggeris yang bagus supaya bisa berpartisipasi
dalam tataran masyarakat yang tingkatan kualitas hidup yang tinggi. Tubuh
sendiri menjadi pusat dari penampakan perjuangan mengatasi penderitaan dari
perjuangan antara kelas sekaligus penguatan ruang pribadi yang unik untuk
mengembangkan diri sendiri. Dalam konteks ini, ajaran keselamatan di mana
penderitaan manusia telah diambil alih oleh Kristus sebagaimana dimaksudkan
dalam ajaran Kristen tampil tidak menjawab kenyataan perjuangan seorang anak
manusia mengatasi tekanan pada dirinya sebagai seorang anak imigran. Cyndy
berpikir dalam dengan dirinya sendiri ia bertarung di dalam dunia. Tubuhnya
adalah pusat dari semua upaya untuk mengatasi penderitaan. Kerjanya sebagai
perawat di rumah sakit seolah-olah menyadarkan dirinya tentang penderitaan
tubuh manusia dari berbagai kesakitan dan bencana yang menyakitkan fisik.
Muncul pertanyaan bagi dirinya, sebagai seorang Hindu dari
barat kasta manakah yang paling tepat?
Sebagai seorang pemudi Amerika Serikat, pengakuan tentang adanya
perbedaan pola hidup dan aksesitas kepada kapital sosial bisa memberikan
anggapan baru kepadanya bahwa kenyataan di Amerika Serikat telah melahirkan
kepadanya suatu kasta yang baru. Pemahaman tentang kasta lahir dari kenyataan
sosial manusia yang ada dalam abad modern sekaligus bersentuhan dengan ajaran
universal tentang hak-hak manusia sehingga kasta lebih dilihat sebagai
perjuangan kelas sosial yang harus dilakukan terus menerus.
Di Amerika Serikat ruang kepada agama dan keluasan
pengembangan nilai spiritualismenya terbuka lebar. Sekalipun harus diakui,
dampak dari pemisahan agama dan politik terlihat pada pelarangan pengajaran
agama sebagai iman di wilayah publik seperti sekolah-sekolah dari tingkat
paling dasar sampai tinggi.
Tanggungjawab pengajaran diambil alih oleh keluarga yang seringkali
terlalu sibuk untuk memberikan perhatian kepada anak-anaknya. Anak-anak bertumbuh dalam ruang toleransi
yang dikendalikan oleh negara untuk memberikan tempat kepada berbagai ajaran
agama tampil menguatkan kesadarannya sebagai seorang manusia di dunia. Tanggungjawabnya sebagai seorang manusia
untuk mengerti panggilan dirinya mengabdi kepada sesama dibangunkan berdasarkan
pada kekuatan diri sendiri. Di sekolah,
sejak kecil, kecerdasan, kepekaan, kepedulian
kepada sesama dan ketrampilan diri dibentuk berbasis pada penguatan kapasitas
individu sebagai seorang manusia.
Pertama kali saya dilayani oleh Cyndy saya agak terpesona.
Tubuhnya kecil, berambut hitam, tetapi mukanya menampakkan wajah bintang film
Sophia Loren. Ketika Cyndy menyuapi saya
pada saat suami saya harus memberikan kuliah umum di malam di Westmont College
di hari kedua saya di rumah sakit, Cyndy bercerita bahwa banyak orang pikir ia
berasal dari Perancis. Tutur katanya
sangat lembut dengan pandangan mata yang mendalam penuh kharisma dan kasih
sayang. Tetapi Cyndy dilahirkan di
Amerika Serikat tempat di mana ia terbuka untuk menjadi dirinya sendiri
dibebaskan dari berbagai kategori yang dirumuskan dalam buku-buku. Keunikan
Cyndy menunjukkan keragamanan manusia yang dengan cara berbeda-beda
berinteraksi dengan sesama untuk menjawab kondisi kemanusiaan yang
dihadapinya.
Sesudah saya di rumah sakit selama dua hari, kemudian saya
diizinkan pulang dan dibawa suami ke rumah teman kami, Charles dan Katherine
Farhardian. Kamar yang kami tempati disebut rumah Papua. Ketika saya memasuki
kamar Papua, saya sangat terharu, karena saya merasa seperti sedang kembali ke
rumah nenek dan kakek saya di Serui di mana ibu saya dilahir. Rumah panggung
yang kokoh menyimpan banyak cerita sejak saya masih kecil hingga ketika saya
mengunjunginya di tahun 2007.
Itulah nasib saya, kecelakaan membawa saya pulang ke rumah
Papua. Papua sebagai tempat, seperti
rumah nenek-kakek saya di Serui, di tanah Papua, tetapi Papua juga ada pada
diri saya, sebagaimana dipelihara dengan baik oleh teman kami, Charles
Farhardian. Satu ruangan dari rumahnya
adalah tempat di mana banyak cerita dari tanah Papua tersimpan dengan baik di
tempat yang sangat jauh darinya di kota Santa Barbara, California, Amerika Serikat.
Hiasan dinding dari Wamena terbuat dari kulit sebesar hampir dua meter dipasang
di sebelah kiri dari tempat tidur di mana saya berbaring. Ada foto kepala suku
dari salah satu lembah Baliem di dalam lemari di sebelah kanan dari kepala saya
berbaring. Semua barang dari tanah Papua
punya cerita yang menggetarkan saya. Saya berbaring dengan berbagai roh-roh
yang telah berpindah dan tinggal di dalam kamar Papua. Termasuk juga roh nenek
saya yang namanya “Cootje” adalah namanya diberikan sebagai nama saya yang lainnya.
Di kamar inilah, saya membaca untuk pertama kalinya cerita
tentang tokoh-tokoh Papua seperti Amelia Jigibalom, Benny Giay, Willem
Rumsarwir, Obed Komba, Marjono Murib, Helena Matuan, Jesua Nehemia Jikwa,
Octovianus Mote, Uma Markus Kilungga, Noakh Nawipa, Herman Awom, dan Nicholas
Jouwe. Cerita-cerita mereka dikumpulkan oleh Charles Fahardian dan dibiarkan
dengan keindahan dan kekuatan bahasa Indonesia ala Indonesia Timur sebagai
narasi seasli-aslinya seorang Papua bertutur tentang dirinya sendiri, suku
bangsanya dan negaranya.
Ketika saya membaca cerita-cerita ini saya semakin sadar
tentang diri sendiri yang selamat dari kecelakaan dasyat supaya bisa bertemu
dengan tokoh-tokoh Papua ini dalam cerita mereka yang mengkuatkan saya. Kematian menyemput kita kapan saja diluar
kendali diri sebagai seorang manusia. Tetapi dalam cerita-cerita ini saya
disadarkan tentang kekuatan besar di luar diri manusia sebagai pribadi, sebagai
suku, yaitu kekuatan negara, pemerintah dan militer yang bekerja secara
sistematis sedang menghabiskan saudara-saudari saya orang-orang Papua.
Cerita-cerita yang mereka tuturkan adalah kenyataan seperti
cerita-cerita orang-orang suku Indian di Amerika Serikat, mereka yang tanahnya
di ambil oleh pendatang dari Eropa di tanah yang disebut Amerika Serikat.
Cerita-cerita ini saya sudah kenal 36 tahun lalu sebagai cerita masa kecil
melalui buku Mark Twain yang menulis seri dari cerita Winnetou, pemimpin suku
Apache yang sangat berani melawan ketidakadilan bangsa Eropa yang mengambil
tanah-tanah mereka.
Akhir bulan Oktober 2013, kami diundang untuk berceramah dan
sharing dengan gereja-gereja Presbyterian di beberapa kota di New Mexico
tentang kehidupan orang beragama di Indonesia. Di sini ketika kami melewati
daerah teritori suku Apache, saya ingat kembali ketika saya merasa seperti
seorang anak dari salah satu pemimpin Indian. Tetapi ternyata ingatan itu
dikuatkan menjadi satu peringatan karena di salah satu tempat di mana Apache Nugget
berada, saya memutuskan mendapatkan satu selimut wol yang ternyata adalah
selimut dibuat khusus untuk seorang anak perempuan dan diberikan kepadanya
ketika ia baru dilahirkan. Selimut ini mempunyai desain yang sangat tua dibuat
khusus oleh Pendleton Woolen Mills untuk The Nez Perce dalam mengingat seorang
pemimpin Indian yang bernama Chief Joseph.
Chief Joseph adalah
pemimpin India yang sangat dihormati baik oleh suku bangsanya maupun
musuh-musuhnya yaitu tentara Amerika Serikat.
Ia memimpin perang yang membawa 1400 orang India menyeberang perbatasan
Amerika Serikat ke Canada. Tetapi dalam perang itu banyak yang meninggal
sehingga sebagai pemimpin, Chief Joseph bersedia menghentikan perang supaya upaya
perdamaian bisa dimulai. Chief Joseph
berkata: “...Saya capek dari pertarungan..Sekarang dingin dan tidak ada
selimut...Dengarlah saya prajurit-prajurit lainnya, hati saya sakit dan dan
sedih..dari dimana matahari akan terbit, saya tidak akan berperang lagi untuk
selamanya”. Penghentian perang tersebut membuka proses negosiasi dengan
pemerintah Amerika Serikat. Lebih jauh, inilah permulaan ekspedisi Lewis dan
Clark untuk menyelidiki batas-batas wilayah berbagai suku Indian di Amerika
Serikat yang harus dihormati dan diserahkan kembali oleh pemerintah Amerika
Serikat. Selimut saya ini, dengan desain Chief Joseph diberikan nama khusus dalam
bahasa Indian yaitu " .. Hin - mah - too - yah - lat - kert .. "
yang berarti guntur bergulir lembah bukit. Nilai-nilai selimut mencerminkan
karakter keperkasaan, kekuatan, keberanian dan ketekadan.
Jadi saya tinggal di rumah bersama-sama dengan roh-roh dari orang-orang Papua dan selimut Chief Joseph yang saya selalu menggunakan sejak saya mendapatkannya di New Mexico, di tanah Apache. Ketika saya membaca kisah hidup pemimpin Papua yang disunting oleh Charles Farhardian dengan judul The Testimony Project " Papua ", semakin saya yakin, kecelakaan kami di Ventura , California terjadi supaya saya bisa bertemu dengan para pemimpin Papua di rumah Papua untuk mendengar cerita mereka dan bisa terhubungkan kembali dengan cerita para pemimpin Indian itu.
Kisah hidup tokoh Indian masih segar setelah perjalanan ke New Mexico sebelum ke California dan sekaligus juga memperkuat cerita pemimpin Papua di Papua. Penderitaan kehilangan tanah di Papua seperti situasi orang-orang India di Amerika Serikat pada awal kedatangan para pendatang untuk mendiami benua Amerika. Ketidakadilan dan kekerasan yang dilakukan oleh militer Indonesia mengingatkan kita pada cerita yang sama di sini di Amerika Serikat dan perlu dihentikan. Selain itu, pemimpin-pemimpin suku Indian juga bersedia untuk menghentikan perang memulai proses perdamaian untuk mengurangi korban dari warga biasa yang meninggal dalam perang. Saya bertanya apakah pemimpin-pemimpin Papua bersedia berhenti berperang dan memulai negosiasi dengan pemerintah Indonesia demi menghentikan jatuhnya korban lebih banyak dari kalangan warga sipil biasa di Papua.
Jadi saya tinggal di rumah bersama-sama dengan roh-roh dari orang-orang Papua dan selimut Chief Joseph yang saya selalu menggunakan sejak saya mendapatkannya di New Mexico, di tanah Apache. Ketika saya membaca kisah hidup pemimpin Papua yang disunting oleh Charles Farhardian dengan judul The Testimony Project " Papua ", semakin saya yakin, kecelakaan kami di Ventura , California terjadi supaya saya bisa bertemu dengan para pemimpin Papua di rumah Papua untuk mendengar cerita mereka dan bisa terhubungkan kembali dengan cerita para pemimpin Indian itu.
Kisah hidup tokoh Indian masih segar setelah perjalanan ke New Mexico sebelum ke California dan sekaligus juga memperkuat cerita pemimpin Papua di Papua. Penderitaan kehilangan tanah di Papua seperti situasi orang-orang India di Amerika Serikat pada awal kedatangan para pendatang untuk mendiami benua Amerika. Ketidakadilan dan kekerasan yang dilakukan oleh militer Indonesia mengingatkan kita pada cerita yang sama di sini di Amerika Serikat dan perlu dihentikan. Selain itu, pemimpin-pemimpin suku Indian juga bersedia untuk menghentikan perang memulai proses perdamaian untuk mengurangi korban dari warga biasa yang meninggal dalam perang. Saya bertanya apakah pemimpin-pemimpin Papua bersedia berhenti berperang dan memulai negosiasi dengan pemerintah Indonesia demi menghentikan jatuhnya korban lebih banyak dari kalangan warga sipil biasa di Papua.
Saya menulis
cerita ini keluar untuk meminta dukungan dari semua orang Amerika dan Indonesia
warga dunia untuk mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan segera dialog
Jakarta dengan rakyat Papua. Momentum dialog ini sudah ditunggu sangat lama. Bahkan hasil rekomendasi Rapat Dengar Pendapat yang dilakukan pada tanggal 25-27 Juli 2013 di Jayapura adalah melakukan segera Dialog Jakarta - Papua, kemudian baru dilakukan rekonstruksi Otonomi Khusus. Rekomendasi ini berbeda dengan kenyataan sekarang di mana rakyat Papua sedang dipaksakan untuk menerima Rancangan UU Otonomi Khusus Plus.
Saya juga menulis kembali cerita ini dan melebarluaskan kisah-kisah tokoh Papua yang sudah dikerjakan oleh Charles Farhardian supaya pemimpin-pemimpin Papua bisa berani keluar mempersiapkan diri mereka untuk memulai dialog dengan pemerintah Indonesia. Karena dialog tanpa pemimpin-pemimpin Papua yang dipilih oleh rakyat tidak akan menghasilkan perdamaian. Dialog antara Jakarta dan Papua harus melibatkan pemimpin Papua yang oleh pemerintah dan militer Indonesia, mereka dipandang sebagai penjahat, pemberontak, pengkhianat negara bangsa mereka sendiri.
Saya juga menulis kembali cerita ini dan melebarluaskan kisah-kisah tokoh Papua yang sudah dikerjakan oleh Charles Farhardian supaya pemimpin-pemimpin Papua bisa berani keluar mempersiapkan diri mereka untuk memulai dialog dengan pemerintah Indonesia. Karena dialog tanpa pemimpin-pemimpin Papua yang dipilih oleh rakyat tidak akan menghasilkan perdamaian. Dialog antara Jakarta dan Papua harus melibatkan pemimpin Papua yang oleh pemerintah dan militer Indonesia, mereka dipandang sebagai penjahat, pemberontak, pengkhianat negara bangsa mereka sendiri.
Para pemimpin Papua yang dianggap penjahat, pemberontak ditargetkan untuk dibunuh atau ditempatkan pada penjara dengan hukuman penjara seumur hidup. Para pemimpin Papua ini sebenarnya adalah orang-orang beriman yang kekuasaannya didasarkan pada kekuatan dan keadilan yang berasal dari Sang Pencipta, Tuhan Langit dan Bumi. Pemimpin-pemimpin Papua menyuarasakan nilai-nilai yang mengingatkan kita pada nilai-nilai perjuangan keadilan, kesetaraan, iman kepada Tuhan Sang Pencipta, terkait dengan kesejahteraan, keadilan, kesetaraan, keterwakilan, seperti dalam dasar negara Republik Indonesia, Pancasila dan UUD 1945, yang juga merupakan ajaran nilai mendasar dalam agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, Kongfocu yang merupakan dasar kehidupan manusia di Indonesia.
Enam bulan lalu, saya terkilir siku kanan , dan saya mengakui kasih karunia Allah karena keinginan Allah bagi saya untuk mengikat tangan kanan saya sehingga saya bisa menjadi seorang seniman untuk melukis , untuk mengukir patung dari kawat dengan tangan kiri saya supaya pameran tunggal saya yang berjudul " Pameran Blog dan Seni Rupa Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua” di Bentara Budaya Yogyakarta, Indonesia dari tanggal 21-29 Mei 2013, bisa menyadarkan kita semua tentang kekayaan dan keterbatasan Indonesia dalam melindungi manusianya.
Painting with my left hand after I dislocated my right elbow (1-3) |
Making wire art with my left hand while my right hand helped the process little bit (4) |
(Bumi Torang terbelah or our breaking earth - (5) |
My wire art which is titled Hukum Rimba ( The law of Jungle - (6) |
The performance of dancing on the theme of reconciliation and gathering together after the presentation (7-8) |
During the discussion on the theme of peace in Papua (9) |
The book was presented to the Head of Forum Intelektual Papua (10) |
Giving my speach at the openning of the art exibition (11-12) |
Beberapa link ke pameran blog dan seni rupa Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua bisa dilihat pada:
* Opening of the single art exhibition on Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua (http://www.pinterest.com/farsijanaar/opening-of-the-single-art-exhibition-on-indonesiak/
* Festival Papua Perdamaian (http://www.pinterest.com/farsijanaar/festival-papua-perdamaian-the-festival-of-papuas-p)
*Paintings of Farsijana Adeney-Risakotta (http://www.pinterest.com/farsijanaar/paintings-of-farsijana-adeney-risakotta/)
*Photographs of Peace
(http://www.pinterest.com/farsijanaar/photographs-of-peace/)
*Posters of articles (http://www.pinterest.com/farsijanaar/posters-of-articles)
dan
* Art wire of Farsijana Adeney-Risakotta (http://www.pinterest.com/farsijanaar/art-wire-of-farsijana-adeney-risakotta/)
Salah satu karya kawat (art wire) saya berjudul "Penari Keadilan", dibuat ketika tangan kanan saya dibalut digibs. Ketika petugas di rumah sakit di Ventura, California datang mengukur ukuran tubuh saya untuk membuat brace, saya katakan dulu ukuran diambil dari tubuh saya untuk membuat karya seni. Tetapi sekarang ukuran yang sama bukan lagi untuk suatu karya seni, melainkan untuk membuat perisai yang akan melindungi tulang-tulang patah ditulang belakang saya, mengurangi rasa sakit sekaligus mengingatkan saya tentang penderitaan dari kesakitan karena ketidakadilan yang dialami oleh saudara-saudara saya di Papua.
* Opening of the single art exhibition on Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua (http://www.pinterest.com/farsijanaar/opening-of-the-single-art-exhibition-on-indonesiak/
* Festival Papua Perdamaian (http://www.pinterest.com/farsijanaar/festival-papua-perdamaian-the-festival-of-papuas-p)
*Paintings of Farsijana Adeney-Risakotta (http://www.pinterest.com/farsijanaar/paintings-of-farsijana-adeney-risakotta/)
*Photographs of Peace
(http://www.pinterest.com/farsijanaar/photographs-of-peace/)
*Posters of articles (http://www.pinterest.com/farsijanaar/posters-of-articles)
dan
* Art wire of Farsijana Adeney-Risakotta (http://www.pinterest.com/farsijanaar/art-wire-of-farsijana-adeney-risakotta/)
Salah satu karya kawat (art wire) saya berjudul "Penari Keadilan", dibuat ketika tangan kanan saya dibalut digibs. Ketika petugas di rumah sakit di Ventura, California datang mengukur ukuran tubuh saya untuk membuat brace, saya katakan dulu ukuran diambil dari tubuh saya untuk membuat karya seni. Tetapi sekarang ukuran yang sama bukan lagi untuk suatu karya seni, melainkan untuk membuat perisai yang akan melindungi tulang-tulang patah ditulang belakang saya, mengurangi rasa sakit sekaligus mengingatkan saya tentang penderitaan dari kesakitan karena ketidakadilan yang dialami oleh saudara-saudara saya di Papua.
The Dancer of Justice |
Raga dalam
tubuh saya sebagai bagian dari penderitaan diri tetapi juga terkait dengan
derita saudara-saudari Papua. Penderitaan ini saya tidak pikul sendiri seperti
yang dimengerti oleh Cyndy sebagai seorang Hindu tetapi telah diambil oleh
penderitaan Yesus Kristus yang lebih dulu menderita, disalibkan, mati dan
kemudian bangkit. Seperti disaksikan dalam kisah-kisah hidup pemimpin Papua,
sumber kekuatan dalam perjuangan mereka ada hanya pada Allah.
Sekarang
satu-satunya kegiatan yang dapat saya
lakukan selama 12 minggu menggunakan brace adalah mengetik dengan tangan lurus
saya di laptop sambil harus berdiri setiap 30 menit dari kursi saya berjalan
memutar untuk kembali mengetik. Saya mengetik untuk menemukan wajah keadilan,
cinta, kesetaraan, kesejahteraan yang kami semua anggap sudah dipraktekkan
dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai umat Allah.
Saya ingin
melepaskan satu per satu cerita dari pemimpin Papua karena saya dalam
keterbatasan saya sesudah tulang belakang patah sedang mengetik perlahan-lahan cerita-cerita
ini. Saya percaya keselamatan dalam Tuhan yang telah memberikan saya dan suami
saya hidup dari kecelakaan mobil yang mahadasyat supaya saya dapat mengetikkan
cerita yang akan menyebar di seluruh dunia sehingga banyak orang dapat
mendengar suara-suara pemimpin Papua ini.
Membaca tulisan ini saya menjadi larut dalam narasinya. Kesan mendalam semakin kuat saat saya mulai membaca paragraf tentang kamar Papua, dimana saya menemukan nama-nama yang juga pernah saya kenal bahkan bercengkerama dengan mereka, seperti Nikolas Jowe atau nowah Nawipa. Namun Saya menjadi begitu terkejut ketika tulisan ini mulai masuk pada proposal dialog Jakarta-Papua. Saya tidak menyangka kalau tulusan ini dikembangkan untuk sebuah proposal "dialog" Jakarta-Papu yang terkesan seakan mengidentifikasi Jakarta sebagai representasi Indonesia yang dengan sengaja meninggalkan Papua. Sama sekali saya tidak keberatan dengan dialog karena dialog adalah pintu menuju hal baik, saya hanya terkejut dengan statemen bahwa pemerintah Indonesia dan tentara, dalam tulisan ini, disebut menganggap para pemimpin Papua adalah penjahat, pemberontak bahkan penghianat yang ditargetkan untuk dibunuh.
BalasHapusSaat saya mendengar paparan Nikolas Jowe di Belanda juga saat saya beberapa hari bersama dengan Nowah Nawipa di Bangkok beberapa tahun lalu saya tidak mendengar itu.
Mohon kiranya penulis memberikan ulasan lebih mendalam siapa kiranya, pemimpin papua yang mana yang kematiannya menjadi target tentara atau akan segera dipenjara saat tertangkap?
Penjelasan penulis akan menjadi pencerahan bagi saya. Apresiasi yang tinggi untuk tulisan ini.
Salam Hormat
Malik
BalasHapusSalam sesama warganegara NKRI untuk bung Malik mengejar mimpi.
Terima kasih banyak untuk tulisan bung Malik yang menanggapi catatan saya di atas. Seperti saya jelaskan, catatan di atas adalah bagian paling awal dari 12 kisah hidup tokoh-tokoh Papua. Saya harap bung Malik bisa bersabar mengikuti cerita-cerita yang akan saya bagikan kepada semua warganegara NKRI dan dunia supaya kami semua disembuhkan dari proses pembacaan atas cerita-cerita tersebut.
Terkait dengan maksud dari perluasan cerita-cerita tokoh Papua yang bertujuan untuk mendorong terjadinya Dialog antara Jakarta dan rakyat Papua, sebagai seorang warganegara NKRI, saya percaya cara ini adalah yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan riel di lapangan di tanah Papua. Melibat tokoh-tokoh Papua yang dengan tegas mungkin menamakan dirinya adalah bagian OPM atau KNPB adalah sangat bijaksanan karena mereka adalah pemimpin yang menerima rahmat sebagai pemimpin karena dipilih oleh warga masyarakatnya.
Saya harap bung Malik bisa memulai mengikuti cerita-cerita yang saya ketik ditengah kesulitan saya dalam bernapas karena brace yang dipasangkan sangat ketat untuk melindungi tulang belakang yang retak.
Terima kasih banyak saya sampaikan kepada bung Malik untuk berbagi dukungan sebagai sesama warganegara NKRI dalam menyelesaikan masalah di tanah Papua. Salam amalulukee
salam sejahtera selalu,. untuk penulis artikel diatas, tulisannya bagus sekali,. mencoba mengangkat sisi lain dari Papua. Selain anda melihat dari sisi tersebut yang anda bahas diatas, pernahkah anda menginjakkan kaki di Papua? atau mencoba meneliti lebih dalam tentang situasi di Papua?
BalasHapusSalam sejahtera bapak/ibu Modus Capua. Terima kasih banyak untuk pembacaan dan komentarnya. Mungkin anda sebagai pembaca kurang teliti karena saya menjelaskan bahwa saya ke Papua, termasuk mengunjungi rumah panggung di mana nenek dan kakek saya pernah tinggal di Serui, tempat ibunda saya dilahirkan. Papua sudah di hati saya sejak masih kecil karena banyak cerita yang sangat menawan dituturkan oleh kakek dan nenek sebagai cerita sebelum tidur malam. Sudah hampir dua tahun saya bersama-sama dengan sesama warganegara NKRI melakukan gerakan yang bernama Petisi Warganegara NKRI untuk Papua. Tulisan ini adalah bagian dari artikel yang diposting di Forum Petisi Warganegara NKRI untuk Papua . Semoga penjelasan saya berkenaan untuk anda. Salam amalulukee.
BalasHapus