Memperjelas Dukungan Terhadap Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Saat ini saya sedang menyelesaikan pengetikan dan
publikasi Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua yang disunting oleh Charles Farhardian.
Bukunya ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris.
Judul bukunya dalam versi bahasa Indonesia adalah Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua
sedang dalam bahasa Inggeris berjudul the Testimony Project Papua. Buku ini
sudah diterbitkan pada tahun 2007. Tetapi sayang hanya sesudah saya dan suami
mengalami kecelakaan mobil yang sangat dasyat yang menyebabkan tulang belakang
(T-11 dan L-4) saya patah, saya akhirnya mendapat buku tersebut langsung dari
Charles Farhardian yang pada waktu itu bersama keluarganya menerima kami
tinggal di rumah mereka di Santa Barbara. Pada artikel lain saya sudah
menjelaskan tentang makna kecelakaan itu yang menurut saya terjadi supaya bisa
bertemu dengan tokoh-tokoh Papua di kamar Papua di rumah keluarga Farhardian.
Saat ini tangan kiri saya sedang dibalut dengan
gelang berlapis plastik yang menjelaskan nama, tanggal lahir dan tanggal saya
dibawa ke unit Gawat Darurat dari Ventura Medical Center di California
Selatan. Ketika saya melihat tanggal kami mengalami kecelakaan, sebenarnya pada
tanggal yang sama, 4 November 2013, di Jayapura terjadi protes dari mahasiswa
terhadap RUU Otsus Plus yang sedang diproses oleh pemerintah daerah dan pusat.
Kemudian puluhan mahasiswa tertanggap oleh polisi. Mengapa tanggal saya masuk
rumah sakit sama dengan tanggal mahasiswa Papua ditanggap? Apakah saya dalam
bawa sadar tahu tentang kepedihan orang-orang asli Papua sehingga teriakan
mereka datang seperti angin yang tiba-tiba membuat mobil kami oleng dan
akhirnya saya patah tulang sehingga bisa bertemu dengan cerita-cerita ini.
Siapakah yang tahu?
Sejak tahun 2007 sampai sekarang, perlu enam tahun
sebelum Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua bisa diketahui oleh kita semua
warganegara Indonesia. Dalam artikel lain saya juga menjelaskan bahwa Kisah ini
ternyata harus berjalan panjang dari Papua ke Santa Barbara, California
kemudian ke Boston di mana saya sekarang tinggal untuk memprosesnya kemudian
disebar luaskan melalui dua blog saya yaitu Indonesiaku Indonesiamu Indonesia
untuk semua yang ditulis untuk pembaca di tanah air dan PIZZA (Peace Incredible
Zoom Zone Authenticity) yang ditulis untuk pembaca dunia terkait dengan
keprihatinan saya terhadap ketegangan global dan pertarungan politik regional
di berbagai tempat sehingga mengorbankan masyarakat sipil.
Saya meletakan terjemahan dari Kisah Hidup
Tokoh-Tokoh Papua pada blog PIZZA (Peace Incredible Zoom Zone Authenticity)
karena selain publikasinya dalam bahasa Inggeris, persoalan konflik di Papua
sudah terlalu lama terjadi dan sebaiknya mendapat perhatian masyarakat dunia
supaya mendorong pemerintah Indonesia menyelesaikan konflik secara damai untuk
mengakhir korban masyarakat sipil di propinsi Papua Barat yang sudah mencapai
100.000 jiwa sesuai dengan penelitian yang dilakukan di beberapa tempat seperti
di Universitas Sydney, Australia dan Yale Universitas di Amerika Serikat.
Kepedulian saya terhadap Papua sudah lama, sejak saya
masih kecil selalu mendengar cerita-cerita sebelum tidur dari nenek saya yang
melahirkan ibunda di Serui, Papua. Tetapi secara akademik, perhatian saya
terhadap Papua muncul ketika saya sedang menulis disertasi tentang kekerasan
massa yang melibatkan komunitas Kristen dan Islam di Maluku Utara terlibat.
Konflik sosial melibatkan agama telah menghancurkan kampung-kampung dan membinasakan
masyarakat yang tidak berdosa.
Kehancuran dan bencana dari konflik sosial dengan muatan agama
menimbulkan trauma yang panjang sebelum akhirnya masyarakat sendiri memulai
proses perdamaian untuk memungkinkan para pengungsi kembali ke kampung masing-masing.
Peristiwa yang terjadi pada masa transisi sesudah gerakan Reformasi berdampak
terhadap situasi politik di sekitar Maluku dan Sulawesi. Konflik serupa muncul
di Sulawesi Tengah, Poso dan Tentena, yang sampai sekarang masih menyisakan
trauma sekaligus upaya dari berbagai pihak, terutama masyarakat sendiri untuk
membangun rekonsiliasi.
Perpindahan penduduk berlangsung besar-besaran
terutama dari daerah-daerah konflik di mana masyarakat yang mempunyai akses
untuk pindah ke daerah lain karena tempat bermukimnya tidak aman. Sebagai
contoh, perpindahan terjadi di Ternate, Tidore, dan juga di pulau Halmahera
terutama untuk masyarakat dengan posisi sebagai pegawai negeri atau pedagang
lebih mudah untuk pindah lokasi tempat tinggal. Tetapi masyarakat petani akan
tetap berada di tempat pengungsian sampai mereka diizinkan bisa kembali ke
desanya. Pada saat itu, terjadi perpindahan yang besar dari propinsi Papua.
Masyarakat asal Tidore dan Ternate yaitu komunitas muslim yang sudah lama
tinggal di Papua pindah untuk mengisi kekosongan dari masyarakat kristiani yang
sudah meninggalkan Tidore, Ternate dan tempat-tempat lain yang mayoritas
komunitas adalah muslim.
Hubungan antara Tidore dan Ternate dengan Papua sudah
berlangsung sebelum kedatangan pedagang-pedagang barat yang dimulai oleh
Portugis dan Spanyol. Orang Papua adalah pekerja-pekerja yang pada akhir abad
16 lebih tepat disebut “budak” dari kesultanan Tidore dan Ternate. Merekalah
yang dipergunakan sebagai pekerja-pekerja di perahu-perahu dagang yang dikuasai
oleh kesultanan Tidore dan Ternate. Sesudah perang antara Tidore dan Ternate,
daerah Kepala Burung ditetapkan sebagai wilayah kesultanan Tidore sementara
kekuasaan kesultanan Ternate meluas ke seluruh kepulauan Maluku, sampai ke
pulau Timor dan Sulawesi. Penguasaan daerah-daerah ini diikuti dengan
pengiriman anggota Kesultanan sebagai penguasa di daerah-daerah yang
ditaklukan. Sekalipun penguasa ditempatkan di daerah-daerah tersebut, tidak
otomatis masyarakatnya menerima semua kebijakan dari kesultanan.
Penolakan terjadi di mana-mana karena kebijakan
kesultanan yang sekedar mengekplotasi masyarakatnya. Agama Islam hanya diterima
di kalangan kesultanan, mereka yang mempunyai hubungan darah karena pernikahan
dan mereka yang terlibat dalam bisnis rempah-rempah. Pada saat itu, untuk masuk
dalam jaringan perdagangan dunia yang dikendalikan dari Kesultanan Otoman di Turkey dan
Musgal di India Selatan, rekanan bisnisnya harus menjadi Islam. Ketika orang
menjadi Islam, mereka disebut masuk Melayu karena pada waktu itu Kerajaan yang
menguasai jalur perdagangan dari kepulauan nusantara adalah Kesultanan Malaka,
yang berasal dari etnis Melayu. Kecuali keluarga-keluarga Kesultanan yang sudah
ada, seperti Aceh yang belayar langsung ke Maluku seperti ke Banda Neira,
maupun Kesultanan dari Utara, seperti Tidore dan Ternate bisa mempertahankan
identitasnya sendiri karena mereka mempunyai wilayah kekuasaan yang terkait
dengan jaringan perdaganan antara pulau-pulau. Kesultanan Malaka merupakan
pintu gerbang dari bagian timur kepulauan nusantara untuk menjual hasil dagang
buminya. Hubungan dagang keluar negeri dalam jaringan kesultanan India ke Eropa
harus melalui Kesultanan Malaka. Saya menulis semuanya ini dalam disertasi,
tetapi semakin jelas sesudah saya mengunjungi Malaka pada tahun 2011.
Tetapi resistensi dari masyarakat terhadap ekploitasi
dari kepentingan bisnis Sultan-Sultan Islam ini sangat tinggi. Daerah-daerah
yang dikuasai oleh Sultan-Sultan Muslim ini tidak otomatis mampu mengislamkan
warga masyarakatnya karena mereka tahu tentang ketidakadilan yang dilakukan
oleh kesultanan-kesultanan tersebut. Di Maluku Utara misalkan, daerah-daerah di
pulau Halmahera di mana anggota keluarga Kesultanan dikirimkan sebagai pemimpin
(Sangaji) untuk mengklaim daerahnya, warganya tetap melakukan praktek agama lokal. Kenyataan ini bukan saja terjadi masa
penguasaan Kesultanan Malaka, tetapi juga sesudah Malaka ditaklukan oleh
Portugis sampaikan kemudian terjadi pergantian penguasaan daerah oleh
pedagang-pedaganan VOC dari Belanda.
Ketika VOC bangkrut dan pemerintah Belanda mengambil
alih daerah perdagangannya, pendataan penduduk mulai dilakukan terutama untuk
menarik pajak dari masyarakat. Misalkan di Galela, data yang tersedia baru ada
pada abad ke-19, yang pada waktu itu keluarga Kesultanan Ternate sudah lama
menjadi pejabat Sultan di sana yang disebut Sangaji. Tetapi jumlah orang
muslim hanya 174 jiwa dibandingkan dengan total masyarakat yang ada waktu
itu kurang lebih 1296 jiwa. Dalam catatan pemerintah Belanda mereka yang belum beragama universal disebut "alfuru" artinya beragama nenek moyang (Adeney-Risakotta. 165-166). Hal yang sama terlihat dengan
daerah kekuasaan Kesultanan Tidore yang pulau Tidore dengan Kepala Burung di
Papua. Sekarang daerah Kepala Burung di sekitar Raja Ampat dengan pusatnya di Fak-Fak, di mana masyarakat asli Papua beragama Islam sejak jaman penguasaan kesultanan Tidore di abad 16 disamping Merauke dengan penduduk transmigran yang beragama Islam di tahun 1970an.
Hambatan bagi masyarakat untuk memeluk Islam terutama di Halmahera dalah
ekploitasi dan ketidakadilan yang dilakukan oleh kesultanan Ternate kepada
penduduk dalam daerah klaim pemilikan teritori. Perampasan tanah rakyat menyebabkan masyarakat resisten terhadap
berbagai upaya kesultanan menjadikan mereka sebagai orang-orang muslim.
Daerah-daerah ini dibiarkan oleh pemerintah Belanda
sebagai daerah-daerah penguasaan kesultanan tanpa memberikan dukungan
pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia lainnya. Perubahan kebijakan
Belanda baru terjadi pada di akhir abad ke-19 sesudah kebijakan Politk etis
dicanangkan sebagai keputusan parlemen di Negeri Belanda. Untuk melaksanakan
itu, pemerintah yang terbatas secara sumber daya meminta gereja-gereja untuk
mengirim pekerja-pekerja yang bersedia kerja di Hindia Belanda menjadi guru,
petani untuk menggerakan masyarakat menanam kopi, vanila, coklat, kelapa dengan
tujuan eksport. Pada abad inilah, banyak
penduduk lokal tertarik menjadi Kristen karena pendekatan yang dilakukan oleh
pekerja-pekerja gereja yang berbeda dari utusan-utusan Sultan. Nilai-nilai yang dibawa oleh pekerja-pekerja
gereja ini bisa diterima oleh masyarakat setempat. Nilai-nilai keadilan, kasih
sayang, penghormatan, toleransi dan kerja untuk membangun keluarga dan
masyarakat menjadi daya tarik bagi masyarakat lokal.
Penelitian saya menunjukkan pendekatan kemanusiaan
yang dilakukan oleh para pekerja-pekerja sukarelawan dari gereja-gereja ini
yang dilihat mengubah kehidupan masyarakat yang berada dalam kekuasaan
kesultanan. Sultan Ternate sangat mendukung pekerja-pekerja gereja karena
dipercayai bisa mengubah tabiat orang-orang Halmahera yang sangat ganas
terkenal sebagai perampok pada kapal-kapal dagang baik kesultanan Ternate
maupun pemerintah Belanda. Ternyata memang benar, orang-orang Halmahera
berubah, bukan terutama karena menganut agama Kristen, tetapi karena profesi
mereka dialihkan menjadi petani-petani yang tangguh. Hasil kerja keras mereka
terlihat pada panen raya kelapa yang langsung ditampung oleh pedagang-pedagang
Tionghoa bekerja sama dengan pemerintah Belanda untuk diberangkatkan ke Eropa.
Pada saat itu, kendali kekuasaan dari pemerintah
Belanda hanya ada pada tingkat nasional dengan Batavia sebagai pusatnya, dan
pada tingkat regional di beberapa tempat yang sudah tersedia infrastruktur dan
sumber daya manusia yang terdidik seperti di Maluku Utara (Ternate), Maluku
Tengah (Ambon), Sulawesi Selatan (Makassar), Timor Barat (Kupang), Jawa Timur
(Surabaya), Jawa Tengah (Semarang), yaitu daerah-daerah yang mempunyai
pelabuhan alam tersedia untuk menampung kapal-kapal dagang. Di pulau Halmahera,
Tobelo adalah pusat pelabuhan karena topografi alam yang cocok untuk tempat
berlabuh. Pemerintah Belanda juga menghindari jalur-jalur pelabuhan yang sudah
terbentuk dalam jaringan dagang muslim. Karenanya, Batavia dibangun untuk
menjadi pusat dagang yang menghubungkan antara dunia timur ke Srilangka
kemudian ke Kerala (India Selatan) menuju ke Amsterdam dan Roterdam. Sebelum
meninggalkan kepulauan Nusantara, kapal-kapal dagang Belanda mengisi batu bara
di Sabang di pulau Weh. Jarak antara pulau Weh ke Banda Aceh kira-kira 2 jam
dengan kapal berkapasitas muatan dagang. Saya menggunakan kapal cepat dari Ulee
Lheu (baca:Ulele) hanya 45 menit.
Saya menulis artikel ini untuk menjelaskan hubungan
antara agama dengan kebijakan sosial untuk memberdayakan masyarakat. Agama
bisa dipakai untuk memaksa orang dan komunitas menjadi tunduk ketika penganut
agama tertentu adalah pembuat keputusan dan pelaksanan program-program
pembangunan. Kecenderungan ini hampir terlihat dalam sejarah penyebaran
agama-agama di mana-mana di seluruh dunia. Agama sebagai ideologi untuk
menyatukan masyarakat yang berbeda secara etnis, gender, kelas sosial sehingga
bisa dikendalikan untuk mendukung program-program para pemimpin yang berkuasa
di daerah-daerah tersebut. Fenomena penggunaan agama sebagai penyeragaman
kepatuhan dari anggota masyarakat kepada pemimpin sebenarnya sangat
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia untuk bebas memilih agamanya sendiri.
Situasi dunia sesudah perang dunia ke-II sangatlah
berbeda. Kehancuran yang terjadi di Eropa sebelum perang dunia ke-2 juga dimulai
karena ketegangan antara agama-agama, terutama di kalangan agama Kristen
sendiri. Negara-negara di Utara Eropah saling bersaing antara Protestan,
Katolik, Anglikan, Ortodoks. Masing-masing ingin menguasai dan memperluas
teritori dagang dan politiknya. Saya lihat fenomena yang sama juga terjadi di
dalam jaringan dagang muslim di bawah kendali Kesultanan Otoman, Musgah dan
Kesultanan Moroco yang berbagi kekuasaan dengan Keluarga Kalifah dari Timur
Tengah untuk menguasai Eropa selatan, dimulai dari Lisbon sampai ke Spanyol.
Spanyol terbagi atas dua kekuasaan kerajaan Islam, dengan pusat Cordoba di
kuasai oleh kesultanan Damaskus yang mengklaim dirinya sebagai keluarga
langsung dari Nabi Muhammad (Syriah) dan
Granada sebagai pusat dari Kesultanan Moroco.
Persaingan kedua kerajaan Islam inilah sebenarnya
yang melemahkan kolonialisasi Islam di Eropa Selatan sehingga kerajaan lokal,
yang beragama Katolik didukung oleh Vatikan, Ferdinand bisa mengusir kedua
kerajaan ini dari Andalusia. Saya bisa bercerita lebih mendalam tentang
kehidupan kerajaan Islam di Andalusia panjang lebar sebagai bagian dari
perjalanan saya ketika ke Lisbon meneliti arsip-arsip Portugis terkait dengan
Maluku Utara. Muslim di Andalusia
disebut Moro karena mereka berada dalam dominasi penguasaan Kesultanan
Moroko. Adanya dua kerajaan Katolik yang
hancur di Maluku Utara juga bernama Morotia. Selanjutnya bisa membaca disertasi
saya.
Jadi kembali kepada diskusi sebelumnya, apakah rupa,
bentuk, esensi agama yang hidup sesudah perang dunia ke-2 masih berwajah
penjajahan ataukah merupakan agama yang diturunkan dari Sang Pencipta untuk
kebahagiaan, keadilan, kesejahteraan, cinta kasih dan perdamaian umat
manusia. Tidak bisa dipungkiri, sejarah
kepahitan agama yang tercatat di dalam kitab-kitab suci seringkali menjadi
bumerang untuk dimasukan dalam ingatan penganut sebagai alat untuk memotivasi
perjuangan membela agamanya yang konteks kehidupannya sudah sangat berbeda
dibandingkan ketika tulisan-tulisan dalam kitab suci itu diturunkan sebagai wahyu
untuk dicatatan sebagai peristiwa sejarah. Membaca kitab suci dengan pandangan
agama yang luhur dari Allah hasilnya memang berbeda dengan membaca kitab suci
dengan pandangan politik untuk menaklukan umat manusia. Menurut saya, agama
apapun tidak bisa menaklukan umat manusia kecuali Allah. Orang yang membawa
agama dari Allah bisa dinilai apakah ia orang beragama benar atau hanya
menggunakan agama untuk tujuan politiknya. Seorang beragama berarti ia peka
terhadap penderitaan orang lain. Upaya untuk menyeragamkan agama supaya
orang-orang tunduk sebenarnya adalah penipuan karena orang-orang yang beragama
ini ternyata tindak pernah menjadi orang yang betul-betul merdeka, sebagai anak
manusia yang adalah ciptaan Allah dan karenanya ia bisa dikasihi berkembang bukan
karena mengikuti kemauan manusia tetapi karena hatinya dicintai, dilindungi
dikuatkan ditolong oleh Sang Pencipta.
Saya menulis artikel ini untuk mengklarifikasi kepada
pembaca di Indonesia, bahwa saya sebagai seorang warganegara Indonesia merasa
sangat terpukul membaca Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua yang disunting oleh
Charles Farhardian. Saya tidak pernah sadar tentang penderitaan saudara-saudara
saya di Papua sampai saya membaca buku ini. Saya juga tidak bermaksud membaca
buku ini kecuali karena saya dipaksakan oleh Tuhan harus membacanya. Kecelakaan
mobil yang dasyat telah membawa kami ke rumah Papua dari keluarga Farhardian
untuk bertemu dengan kisah-kisah yang menceritakan penderitaan saudara-saudara
saya di tanah Papua. Kami tidak pernah
merencanakan tinggal di rumah itu, karena kami sudah dipesankan hotel terbaik
di Santa Barbara untuk kami menginag selama memberikan kuliah di Westmont
College.
Kuliah kami bertemakan kehidupan beragama dan upaya
hidup bersama di Indonesia. Suami dan saya adalah intektual. Kami terikat
sebagai pendidik yang mendiskusikan secara terpadu kajian agama dan politik
sebagai bagian dari dimensi peradaban dan sejarah Indonesia. Tetapi juga
menunjukkan perjalanan pribadi kami untuk membawa perdamaian dan keadilan di
lingkungan tetangga dan masyarakat di Indonesia. Dengan pengalaman kami bekerja
sama di antara penganut agama-agama di Indonesia, kami lihat adanya kekuataan untuk
menjadikan Indonesia sebagai model di mana Islam, sebagai agama mayoritas
mengayomi agama-agama lainnya. Kenyataan ini akan terus benar, karena
pengalaman pluralis yang saya alami dalam keluarga sendiri. Pihak keluarga dari
ibunda saya banyak yang muslim, tinggal tersebar di seluruh Indonesia. Kami
juga mempunyai anak angkat seorang muslim. Kami lakukan semuanya dengan cinta
kasih untuk membagikan kehidupan dengan sesama karena dengan cara itu kami juga
diberkati sebagai anak-anak Allah di dunia ini.
Tetapi saya selalu sangat sadar tentang ketimbangan
yang terjadi dalam masyarakat terutama apabila masyarakat biasa menjadi sasaran
kerakusan, kekuasaan dari para elit, militer untuk menguasai daerah-daerah yang
sebenarnya bukan haknya. Keputusan saya untuk kerja dengan masyarakat di akar
rumput di Indonesia dimulai dari penemuaan penelitian saya dimana orang biasa
bisa dipakai sebagai alat untuk memanipulasi fakta dan mengadudombakan warga
sehingga mereka terlibat dalam konflik sosial bahkan dalam kekerasan massa.
Saya satu-satunya dari dosen yang mengajar pada program ICRS Yogya yang menulis
bidang minat konflik dan kelompok marjinal. Saya tidak saya melakukan
penelitian tetapi bekerja dengan kelompok-kelompok marjinal untuk menguatkan
eksistensi mereka sebagai manusia di bumi Indonesia.
Saya menulis artikel ini untuk mengingatkan
warganegara Indonesia dan dunia lainnya yang sedang ricuh dalam berbagai perang
supaya makin berhati-hati dengan upaya kelompok-kelompok politik dan militer
dalam membagi-bagi masyarakat. Setiap warganegara berhak untuk meminta rasa
aman dari pemerintah yang berkewajiban memberikan perlindungan. Hak dasar
manusia untuk berbahagian terkait dengan rasa aman tanpa ketakutan karena
kebebasannya memeluk agama yang dipercayai dan beribadah, mengekspresikan diri
dengan santun dan hormat dalam beragumentasi akan dihentikan karena yang
bersangkut menjadi target untuk ditangkap. Hak-hak dasar lainnya yang adalah juga
hak politik masyarakat adalah mempertanyakan kepada pemerintah kebijakan-kebijakan yang dibuat bukan untuk
memberikan kemanfaatann kepadanya. Baik Islam dan Kristen dan agama-agama
lainnya percaya pemerintah adalah wakil Allah di dunia, tetapi keterwakilannya
harus mencerminkan rupa Allah yang maha kasih, setia, kudus, pengampun dan
pelindung. Sifat-sifat Allah ini apabila tidak ada dalam kepemimpinan
pemerintah karena yang tampil adalah sifat-sifat pemaksaan, kebohongan,
kecurangan, korupsi dan lainnya, maka sebenarnya ruang Allah sudah diambil
kendali oleh kekuatan-kekuatan yang berakar dalam kelemahan manusia. Manusia
bisa berkompromi dengan kekuatan-kekuatan egoistis, mementingkan diri sendiri
dan kelompoknya sehingga memunculkan sifat-sifat kebinalan, kebuasan dari
manusia yang menyerupai binatang.
Bahasa manusia mengungkapkan sifat-sifat kesetanan
manusia yang bercongkol pada diri sendiri dengan kata-kata misalkan kebuasan,
keangkeran, kebrutalan, kebinasaan, kekacauan, kericuhan, kemunafikan, kekerasan,
keganasan, pengerasan, keburukan, kejahatan, dendam kesumat, kebengisan,
kebiadaban, kekejaman, kegalakan, kekasaran, dan seterusnya. Bahasa manusia
yang menunjukkan sifat-sifat kebinalan seperti saya jelaskan diatas sebenarnya
bermuara dengan apa yang disebut kekafiran. Jadi orang kafir adalah mereka yang
mempunyai sifat-sifat bukan dari manusia yang menyifati sifat-sifat baik dari
Sang Pencipta tetapi sifat-sifat yang berasal dalam diri sendiri yang dikuasai
oleh kekuatan yang disebut “Kesetanan” yaitu mereka yang haus pada darah
manusia. Mereka inilah yang disebut “Kafir”.
Karena orang-orang yang menganggap dirinya beragama dan beradab bisa
berkelakuan seperti kesetanan, dan mereka inilah yang menurut pemahaman bahasa
disebut “Kafir”.
Mungkin dengan pemaparan yang jelas, langsung dan
terus terang, saya bisa mengerti tentang apa yang harus orang Indonesia lakukan
kepada saudara-saudaranya di tanah Papua.
Saya mendorong terus supaya saudara-saudara di Papua meminta haknya dari
pemerintah Indonesia untuk melakukan dialog karena sudah ditetapkan dalam UU no
21 tahun 2001 yaitu Otsus Papua. Tanpa warga masyarakat mengerti tentang
Rancangan UU Otsus Plus yang sedang dipersiapkan oleh pemerintah sekalipun
sudah diakui bahwa Prolegnas 2013 di DPR RI tidak mencatat tentang muatan
pembahasan RUU Otsus Plus tetapi toh pemerintah pusat dan daerah tetap ngotot
perlu dilakukan.
Sifat pemaksanaan dan pelanggaran tata manajemen
negara bisa terjadi karena pemerintah menggunakan kekuasaan yang sangat
bertentang dengan semangat dalam merancang suatu UU terutama apabila melibatkan
suatu kebijakan khusus untuk diperlakukan di daerah seperti Papua. Saya juga berhak untuk bertanya kepada
pemerintah karena produk UU apapun adalah hukum yang berlaku di tingkat
nasional yang perlu mendapat perhatian dari warga negara Indonesia di seluruh
tanah air. Ketulusan pemerintah pusat
dan daerah untuk mempertimbangan keinginan rakyat Papua adalah lebih baik untuk
mengakhir masa jabatan Presiden SBY dengan aman dan damai yang akan dicatat
oleh dunia sebagai seorang pemimpin menerima penghargaan perdamaian melalui World Statesman
Award pada bulan Mei 2013 yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar