Dari Charles Farhardian cerita Pemimpin Papua tersebar ke
seluruh dunia.
Artikel ini bisa ditemukan dalam versi bahasa Inggeris yang dimuat pada blog saya lainnya <http://farsijanaforpizza.blogspot.com/2013/11/from-charles-fahardian-stories-of.html
Oleh Farsijana Adeney-RisakottaArtikel ini bisa ditemukan dalam versi bahasa Inggeris yang dimuat pada blog saya lainnya <http://farsijanaforpizza.blogspot.com/2013/11/from-charles-fahardian-stories-of.html
Saya masih bergetar karena segera akan merilis kisah-kisah
tokoh Papua yang sebenarnya adalah pengulangan pengetikan dari apa yang sudah
dilakukan oleh Charles Farhardian.
Sebagai seorang intelektual, Farhardian sudah tertarik dengan
Papua terutama suku Dani sejak ia berumur 18 tahun. Ketika saya di rumahnya,
beliau menunjukkan fotonya ketika pada umur 18 tahun berada diantara
saudara-saudaranya di lembah Baliem, Papua.
Daya tariknya telah membawanya untuk melakukan penelitian di antara suku
Dani tentang bagaimana kehidupan mereka sebelum menjadi Kristen dan sesudah
Irian Barat diserahkan Belanda kepada Indonesia.
Minatnya kepada Papua dalam kurun waktu lama yang diikuti
dengan penelitian untuk mengerti tentang peran agama dalam kehidupan orang
Papua ternyata mempertemukan pendekatan antropologis dan teologi yang selama
ini sering kali dianggap tidak obyektif sebagai pilihan dalam membangun
kerangka teoritis dan metodologis yang merepresentasikan kenyataan suatu
komunitas yang diteliti. Farhardian melalui bukunya berjudul “ Christianity,
Islam and Nationalism in Indonesia” (New York and London: Routledge, 2005)
dengan sangat teliti mampu menghadirkan kompleksitas orang-orang suku Dani
sebelum dan sesudah menjadi Kristen yang diikuti dengan proses integrasi ke
dalam Indonesia.
Charles Farhardian dikelilingi oleh materi budaya, kumpulan cerita tokoh Papua dan buku penelitian yang dilakukannya selama bertahun-tahun di tanah Papua |
Agama ternyata sangat berperan membentuk identitas suku tetapi
juga identitas sebagai negara bangsa seperti terlihat pada pewajahan
nasionalisme yang dibangun oleh Indonesia.
Farhardian dalam bukunya mampu menunjukkan bahwa kekristenan yang
berhasil mengakomodasikan pandangan agama nenek moyang yaitu nabelan kabelan ternyata belum mampu
mempersiapkan orang-orang Dani untuk
hidup dalam dunia modern. Pengalihan
agama secara besar-besaran terjadi pada tahun 1960 an, orang-orang Papua
menjadi Kristen sebenarnya untuk memelihara semangat pietisme dari abad ke-19
yang diajarkan oleh misionaris dalam penginjilan mereka di tanah Papua. Semua produk materi yang dipergunakan dalam
upaya agama nenek moyang Papua dibakar. Tetapi pengalihan agama ini tidak
diikuti dengan proses pendidikan seperti yang terjadi pada daerah lain dalam
teritori the Dutch East Indies sebut
misalkan daerah Maluku, tetapi dibiarkan tak terkelola pengembangan sumber daya
manusia disebabkan karena pengalihan kedaulatan pemerintah yang cenderung
mengembangkan kebijakan pengembangan Papua sebagai sumber daya alam untuk
Indonesia.
Program pengembangan Papua bisa didukung oleh penyebaran
transmigrasi yang mendapat prioritas dalam kebijakan nasional dibandingkan
keberpihakan kepada orang asli Papua
yang ada di tanah Papua. Kekuatan budaya Orang Asli Papua mulai lemah ketika
kantong-kantong ekonomi yang mengelola sumber pengetahuan budaya Papua dalam
format modern seperti batik Papua ternyata menyingkirkan OAP sendiri. Pelebaran konflik di antara pendatang dan
Orang Asli Papua makin terbuka disebabkan karena kebijakan negara yang bekerja
sama dengan perusahaan-perusahaan asing seperti Freeport (dari Amerika Serikat)
yang cenderung merekruit pendatang sebagai karyawan dibandingkan dengan
OAP.
OAP tinggal dalam kantong-kantong kemiskinan tanpa kekuatan
karena infrastruktur penguatan kapasitas pendidikan dan pengembangan ekonomi
berbasis lokal tidak berjalan dengan baik yang lebih cenderung memihak kepada
pendatang. Situasi ini terlihat selama
32 tahun dalam masa Orde Baru sampai tiba masa Gerakan Reformasi yang membawa
kehidupan berdemokrasi di Indonesia tetapi sekaligus berdampak bagi kebangkitan
nasionalisme Papua. Referendum yang
disetujui oleh pemerintahan B.J Habibie ternyata melahirkan kedaulatan sebagai
negara merdeka kepada Timor Leste telah memberikan semangat kepada OAP untuk
bersatu meninjau ulang sejarah integrasinya ke dalam Republik Indonesia. Sejak
terbentuknya tim 100 yang merupakan wakil-wakil Papua, OAP masih menunggu
adanya Dialog antara Pemerintah Pusat, antara Jakarta dengan rakyat Papua.
Farhardian yang mengangkat pertanyaan penting tentang
transformasi agama di kalangan OAP ternyata harus melihat faktor-faktor lain di
luar agama yang turut membentuk suatu komunitas menjadi dirinya, sekaligus
keputusan komunitas tersebut untuk beralih agama. Misalkan terjadi di kalangan
suku Dani, di mana salah satu kepala sukunya memutuskan menjadi Islam sehingga
seluruh warga mengikutinya. Alasan perubahan agama terkait dengan penerimaan
gaji setiap bulan yang ternyata ketika menjadi Kristen tidak ada uang gaji.
Buku ini sangat penting dibaca karena memperlihatkan bagaimana agama bisa
menjadi alat propaganda untuk mengubah suatu komunitas tanpa diikuti dengan
tanggungjawab penuh dalam pengembangan akhlak, pengetahuan yang seimbang untuk
menunjang kemandirian bagi penganut agama tersebut.
Charles Farhardian sangat optimis masalah Papua bisa
diselesaikan apabila semua orang beragama, baik Kristen dan Islam bisa
menyadari kesalahan yang dilakukan dalam memberdayakan Orang Asli Papua.
Dalam buku yang disuntingnya dengan jugul Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua (versi Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Deijai, West Papua, 2007) dan dengan terjemahannya dalam bahasa Inggeris yang berjudul The Testimony Project Papua, diterbitkan oleh Penerbit Deijai, West Papua, 2007) yang kedua sumber ini bisa diakses pada website www.thetestimonyprojet.com.
Farhardian telah mewancarai 12 tokoh pimpinan Papua dalam kurun waktu dua kali perkunjungan di tanah Papua. Nama-nama mereka diketik menurut urutan yang muncul dalam buku suntingan Fahardian baik dalam versi bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggeris. Pertama, Amelia Jigibalom; kedua, Benny Giay; ketiga Willem Rumsarwir; keempat, Obed Komba; kelima, Marjono Murib; keenam, Helena Matuan; ketujuh, Jesua Nehemia Jikwa; kedelapan, Oktovianus Mote; kesembilan, Uma Markus Kilungga; kesepuluh, Noakh Nawipa; kesebelas, Herman Awom; dan keduabelas, Nicholas Jouwe.
Dalam buku yang disuntingnya dengan jugul Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua (versi Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Deijai, West Papua, 2007) dan dengan terjemahannya dalam bahasa Inggeris yang berjudul The Testimony Project Papua, diterbitkan oleh Penerbit Deijai, West Papua, 2007) yang kedua sumber ini bisa diakses pada website www.thetestimonyprojet.com.
Farhardian telah mewancarai 12 tokoh pimpinan Papua dalam kurun waktu dua kali perkunjungan di tanah Papua. Nama-nama mereka diketik menurut urutan yang muncul dalam buku suntingan Fahardian baik dalam versi bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggeris. Pertama, Amelia Jigibalom; kedua, Benny Giay; ketiga Willem Rumsarwir; keempat, Obed Komba; kelima, Marjono Murib; keenam, Helena Matuan; ketujuh, Jesua Nehemia Jikwa; kedelapan, Oktovianus Mote; kesembilan, Uma Markus Kilungga; kesepuluh, Noakh Nawipa; kesebelas, Herman Awom; dan keduabelas, Nicholas Jouwe.
Melalui nomor polisi pada mobilnya, Farhardian mengajarkan kepada orang Amerika bahwa Papua berada di dalam bagian negara Indonesia |
Saya telah meminta izin dari Charles Farhardian untuk mengetik ulang
kisah-kisah tokoh Papua ini supaya dibaca secara luas kepada seluruh
warganegara Indonesia sehingga kita semua tahu apa yang sedang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia terhadap Papua dan tokoh-tokohnya. Tetapi cerita-cerita
tidak bisa menggantikan cerita yang ada dalam buku yang disunting oleh Charles
Farhardian sebagaimana sudah saya jelaskan di atas.
Adapun tujuan penyebarannya adalah mendorong pelaksanaan
Dialog Jakarta – Papua yang melibatkan tokoh-tokoh Papua, yaitu mereka yang
dianggap adalah pengkhianat bangsa Indonesia sebagaimana dituduhkan dengan
menggunakan KUHP terkait dengan tindakan subversif. Seperti dikatakan oleh Pastor Neles Tebay,
Dialog Jakarta – Papua perlu mengikutkan tokoh-tokoh Papua yang dianggap
sebagai anggota OPM dan KNPB yang berada di tanah Papua dan yang ada di
mana-mana di seluruh dunia. Aspek lain
yang terkait dengan itu adalah penyebaran kisah-kisah tokoh Papua ini memberikan makna mendalam kepada mereka,
tokoh-tokoh Papua untuk menghentikan perang demi menghindari makin banyak
korban dari masyarakat sipil yang meninggal karena pertarungan yang dibenarkan
oleh negara Indonesia yang dilihat sebagai perlawanan negara dengan
pemberontak-pemberontak yang menggugat hak keutuhan NKRI.
Pengajaran lain kepada orang Amerika adalah Wamena adalah bagian dari Papua di dalam negara Indonesia |
Penyebaran ini dilakukan dalam tanggungjawab saya, Farsijana
Adeney-Risakotta, sebagai salah satu moderator Petisi Warganegara NKRI untuk
Papua, yaitu suatu gerakan jejaring sosial maya dan juga dalam realitas nyata
untuk membangun kesadaran seluruh warganegara NKRI di Indonesia dan di seluruh
dunia terhadap upaya penarikan militer Indonesia dari tanah Papua dan mendorong
dilakukannya perdamaian melalui dialog Jakarta – Papua sebagaimana diinginkan
oleh warganegara NKRI yang berada di tanah Papua. Salam amalulukee.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar