Dari Tulang Patah untuk memulai proses perdamaian
di tanah Papua
Versi bahasa Inggeris dari artikel ini dimuat pada blog saya lainnya:
http://farsijanaforpizza.blogspot.com/from-breaking-bones-to-peace-process-in.html
Versi bahasa Inggeris dari artikel ini dimuat pada blog saya lainnya:
http://farsijanaforpizza.blogspot.com/from-breaking-bones-to-peace-process-in.html
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Tragedi berhubungan dengan nasib. Kehidupan manusia
lebih bisa diterima dalam keadaan pujian, keberhasilan, kesuksesan dan
kelimpahan daripada kekurangan, kesendirian, kepiluan, ketidakberdayaan dan
keretakan. Dalam tradisi Kristen, diskusi mendalam tentang kehidupan yang adil
di mana orang-orang yang benar hidup tanpa kesakitan, kedukaan tampil kuat
dalam diskusi para nabi seperti terlihat pada cerita keluh kesah setengah
perdebatan yang terjadi antara Ayub dan teman-temannya.
Suara sore di Yogya, saya menerima tilpon dari seorang
teman aktivis akar rumput yang ingin bertemu dengan saya. Kami akhirnya
bercerita di rumah saya sampai malam hari. Sebagai seorang muslim, teman saya
ini merefleksikan perjalanan kehidupannya seperti seorang nabi, yaitu nabi Ayub.
Saya agak kaget karena ternyata cerita penderitaan nabi Ayub bukan hanya ada
dalam tradisi Kristiani dan Yahudi, tetapi juga dekat sekali dalam tradisi
Islam. Teman saya ini percaya bahwa masalah yang dihadapinya adalah bagian dari
ujian Allah yang tidak akan meninggalkannya apabila ia terus dekat menyerahkan
pergumulannya dalam rahmat Tuhan sendiri. Teman saya adalah seorang profesional
yang kuat dengan cerita keberhasilannya membela banyak buruh perempuan di
Yogyakarta. Sesudah kami lama berdiskusi, saya mulai sadar bahwa kami berdua
sedang menggunakan pengalaman iman yang sama dalam mengartikan pergumulan yang
dihadapi manusia.
Ayub menggugat kepada Allah untuk semua yang terjadi
terlebih terhadap kehidupan bersama yang dimusnahkan atau dihilangkan oleh Tuhan.
Penderitaan terjadi karena semua yang dekat dengan Ayub diambil dariNya.
Kecuali dirinya sendiri, Ayub yang masih terus bercakap-cakap dengan Allah
ternyata terus dipenuh dengan ketakutan tentang bencana yang terus akan datang
sampai rohnya sendiri tidak bisa terhindari dari kejaran penghukuman Allah.
Membaca Kitab Ayub seperti mendengar keluh kesah tentang seorang yang
kehidupannya dipretelin sedikit demi sedikit.
Kisah Ayub berbeda dengan kisah Yakub yang menghadapi
tragedi terkait langsung dengan dirinya sendiri. Pernah Yakub menjadi pincang
dalam pergulatannya untuk mengerti maksud Tuhan. Ketika Yakub mulai
mengertinya, ia kemudian mendirikan mesbah kepada Allah.
Jadi ada dua macam manusia berhadapan dengan bencana,
mereka yang dirinya selamat tetapi tidak berdaya karena semua di sekitarnya
hancur, kedua, adalah mereka yang dirinya adalah tempat tertimpa bencana.
Kejadian kecelakaan saya karena mobil kami yang
tertabrak adalah mirip dengan cerita Yakub.
Baik cerita Ayub maupun Yakub keduanya menunjukkan
bahwa manusia mempersiapkan dirinya dalam kedekatan dengan Sang Pencipta.
Manusia melihat tanda-tanda yang datang kepadanya untuk mengerti tentang maksud
dari perjalanan hidupnya ke depan.
Saya juga melakukan hal yang sama tentang mengapa kami
mengalami kecelakaan ketika kami telah berjalan mengelilingi Amerika Serikat.
Pertanyaannya mengapa kecelakaan itu terjadi di sana, di California Selatan, di
Ventura tempat yang sudah sangat dekat dengan tujuan kami tiba di sana.
Ketika persiapan Festival Papua pada saat pelaksanaan Pameran saya di Bentara Budaya Yogyakarta dari tanggal 21-29 Mei 2013. Pada saat itu tulang siku kanan saya digibs karena keluar dari posisinya. |
Enam bulan kemudian di Amerika Serikat, saya mengalami kecelakaan mobil sehingga membawa saya tinggal di rumah Papua di Santa Barbara, California |
Pada tulisan lain saya menjelaskan tentang
keterhubungan antara penderitaan yang saya alami tidak seberapa dibandingkan
dengan penderitaan saudara-saudara saya di tanah Papua. Dengan mata iman
saya melihat hubungan antara kecelakaan ini sehingga menghadirkan kami di rumah
Papua, rumah dari Charles dan Katherine Farhardian yang dari sini saya mengerti
tentang penderitaan saudara saudari saya di tanah Papua. Khususnya sesudah saya
mulai membaca buku The Testimony Project Papua yang disunting oleh Charles Fahardian.
Sesudah setahun lebih bekerja langsung dalam
masyarakat di Indonesia dengan isu keadilan, kesejahteraan dan perdamaian
di tanah Papua, saya tahu bahwa kehadiran di rumah Papua di Santa Barbara
merupakan suatu momentum yang sangat penting. Sepanjang saya memoderatori
Petisi Warganegara NKRI untuk Papua, saya sedikitpun belum pernah memberikan
kesempatan mendalam untuk mendengarkan suara orang Papua kepada masyarakat
Indonesia.
Petisi Warganegara NKRI untuk Papua adalah satu
gerakan dunia maya yang bertujuan untuk membangun kesadaran bersama sesama
warganegara tentang situasi yang terjadi di tanah Papua. Tujuannya adalah
meminta pemerintah RI untuk melepaskan Papua dari target militerisasi. Terkait
dengan perundangan yang menyamakan antara seorang teroris dengan mereka yang
protes terhadap ketidakadilan yang terjadi ditanahnya sendiri, Petisi
Warganegara NKRI untuk Papua mendorong pemerintah untuk berlaku adil dalam
membangun definisi yang benar sehingga tidak secara sengaja menyebak,
menghukum, menakut-nakutkan orang Papua dengan Undang-Undang Keamanan Nasional.
Dari perjalanan membagikan informasi dan analisis
tentang Papua kepada sesama warganegara NKRI, saya telah menulis dan sekaligus
mengumpulkan tulisan-tulisan tersebut dalam bentuk buku berjudul Petisi
Warganegara NKRI untuk Papua. Analisis dibangun berdasarkan data-data primair
maupun sekunder yang mengiring pada kesimpulan bahwa ruang kepada partisipasi
orang asli Papua (OAP) dalam mengelola pembangunan di daerahnya sendiri masih
sangat terbatas. Pembangunan menjadi simbol penekan dan eksploitasi terhadap
OAP daripada kemanfaatan yang dirasakan secara merata oleh seluruh warganegara
NKRI di tanah Papua. Dibandingkan dengan kekayaan alam yang berlimpah di tanah
Papua, OAP masih hidup dalam keadaan yang memprihatinkan.
Gerakan membangun kesadaran bersama diantara warga
Papua terhadap ketidakadilan yang sedang terjadi di Papua selalu berakhir
dengan tuduhan subversi yang disampaikan oleh pemerintah RI terhadap
pemimpin-pemimpin OAP yang berani mempertanyakan penegakkan keadilan dan
penghapusan militer di tanah Papua. Pemimpin-pemimpin Papua yang berwibawa
harus dibunuh untuk menghilangkan jejak kekuatan OAP yang mampu membangun
daerahnya berdasarkan nilai-nilai budaya dan agama yang dipercayainya. Potret
pembangunan yang gagal di tanah Papua yang lebih menguntungkan pendatang, para
elit Papua dan pemerintah pusat daripada OAP yang berada di daerah pedalaman,
lembah, pesisir di seluruh Papua telah dipindahkan menjadi isu perseteruan
antara NKRI dengan para pemberontak. NKRI sekarang sedang mengumumkan perang
dengan warganegara NKRI yang disebut sebagai OPM atau KNPB atau SATGAS Papua.
Pastor Neles Tebay dalam bukunya Dialog Jakarta-Papua,
Sebuah Perspektif Papua yang diterbitkan tahun 2011 menggarisbawahi pentingnya
dialog dilakukan di antara pemerintah Pusat dengan berbagai kelompok yang ada
di tanah Papua. Di antara kelompok tersebut adalah mereka yang menamakan
dirinya Organisasi Papua Merdeka atau Komite Nasional Papua Barat. Proses
dialog harus dimulai mengingat kejadian-kejadian kekerasan yang menimpa OAP
sebagai warganegara NKRI yang terus terjadi. Kekerasan-kekerasan dilakukan oleh
militer kepada OAP yang kritis seperti sedang berlangsung saat ini ketika para
mahasiswa-mahasiswi OAP menolak rancangan UU Otonomi Khusus Plus yang sedang
digodok oleh pemerintah Pusat dengan menggunakan kekuatan pemerintah daerah dan
segelintir intelektual di Universitas Cendrawasih di Jayapura.
Perangkat
hukum yang sudah ditetapkan untuk Papua menjadi daerah otonom melalui UU Otsus
Nomor 21 Tahun 2001 dan perubahannya yang diterbitkan melalui UU No.35
Tahun 2008 berisi kebijakan pengelolaan otonomi khusus terbagi pada
Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat.
Dalam
perjalannya, ternyata kapasitas sumber daya manusia dan sistem di tanah Papua
belum bekerja maksimal untuk memberikan ruang partisipasi dari masyarakat akar
rumput di berbagai distrik untuk terlibat dalam menghasilkan peraturan daerah
yang melindungi hak-hak sosial, budaya, ekonomi dan politik OAP seperti yang
dimaksudkan dalam Otsus itu sendiri.
Evaluasi dan
rekomendasi dari Orang Asli Papua terhadap Otsus Papua sebenarnya bukan
pada pernyataan kegagalan Otsus tetapi tekanan untuk segera melakukan dialog di
antara Jakarta dan Papua. Tuntutan dialog Jakarta – Papua atau dialog
antara Rakyat Papua dan Pemerintah Pusat merupakan hasil rekomendasi resmi pada
rapat dengar pendapat dalam rangka evaluasi Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang
dilakukan pada hari Kamis sampai dengan Sabtu dari tanggal 25 -27 Juli 2013.
Dalam rapat
dengar pendapat itu seluruh perwakilan OAP hadir. Ada tujuh wilayah adat
Tanah Papua yang hadir pada rapat tsb, yaitu wilayah adat Mamta/Tabi,
Saireri, Domberai, Bomberai, Anim Ha, La Pago, dan Mee Pago. Acara rapat dengar
pendapat difasilitasi oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) dari Propinsi Papua dan
Papua Barat. Diluar jalur tujuh wilayah ada, juga dihadirkan wakil-wakil
dari 40 Kabupaten Propinsi Papua dan Papua Barat. Menurut berita dari Tabloid
Jubi, setiap perwakilan diberikan kesepatan untuk menyampaikan hasil evaluasi
di tingkat kabupaten berdasarkan 280 pertanyaan umum yang dibuat dan disebarkan
oleh MRP pada bulan Juni 2013.
Rapat dengar
pendapat tersebut juga membedakan antara beberapa aspek yang kemudian
diterjemahkan keliru oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat yaitu bahwa
rapat dengar pendapat untuk mengevaluasi Otsus tidak dimaksudkan untuk
memberikan legitimasi terhadap rencana UU Otsus Plus atau Undang-Undang
Pemerintah Papua. Kesimpulan dari rapat dengar pendapat yang menghadirkan
perwakilan Orang Asli Papua terkait dengan implementasi dan kinerja apatur
pemerintah di tingkat Pusat, Propinsi Papua, Propinsi Papua Barat, semua
Kabupaten dan Kota dinyatakan gagal tidak otomatis memberikan dasar bagi
perubahan perundangan seperti yang sedang diperjuangkan oleh Gubernur Papua
terkait dengan Rancangan UU Otsus Plus. Ketua Panitia Rapat Dengar Pendapat,
Yakobus Dumupa membacakan pandangan umum Rapat yang menghasilkan dua
rekomendasi yaitu:
1. Membuka ruang untuk dialog antara
rakyat Papua dengan Pemerintah Pusat yang dimediasi oleh pihak netral dan
dilaksanakan ditempat netral.
2. UU No.21/2001 sebagaimana diubah
dengan UU No.35/2008 tentang Otonomi Khusus untuk Propinsi Papua dan Papua
Barat direkonstruksi setelah melakukan tahapan yang disebut dialog
Jakarta-Papua.
Untuk
mempersiapkan tuntutan dari representasi OAP terhadap dilakukannya Dialog
Jakarta-Papua, maka saya sebagai moderator Petisi Warganegara NKRI untuk Papua
akan meliris cerita-cerita dari pemimpin Papua yang selama ini tidak dilibatkan
dalam berbagai perundingan karena mereka dianggap sebagai OPM atau KNPB.
Tulisan tentang mereka dirilis pada tulisan terpisah.
Selamat
membaca dan salam amalulukee
Ttd
Farsijana
Adeney-Risakotta
Referensi:
1. The Testimony Project Papua edited
by Charles Farhardian (2007)
2.
Tabloid Jubi, 28 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar