Merenungkan Papua,
Menguatkannya!
Artikel ini juga bisa dilihat dalam versi bahasa Inggerisnya yang dimuat pada blog saya lainnya
http://farsijanaforpizza.blogspot.com/2013/11/contemplating-and-reinforcing-papua.html
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Di tengah pengetikan kisah hidup tokoh-tokoh Papua saya
tiba-tiba ingin menulis sebentar karena kegelisahan dalam diri. Seorang teman menulis surat kepada kami
dengan berharap saya tidak harus melewati penderitaan dalam diri sendiri untuk
mencapai keadilan bagi orang-orang Papua. Rasa simpatiknya terhadap penderitaan
patah tulang belakang sangat saya hargai. Tetapi mungkin kalau saya tidak patah
tulang belakang, saya tidak akan berada di belakang komputer untuk menulis
tentang penderitaan saudara-saudara Papua. Saya sudah menulis banyak sekali
untuk forum Petisi Warganegara NKRI untuk Papua. Diantara tulisan-tulisan saya
itu, ada 40 tulisan yang dikompilasi
bersama dengan satu tulisan yang masing-masing penulis yaitu oleh Erich Kaunang dan Nano Apituley yang
kemudian berwujud dalam bentuk buku
berjudul Petisi Warganegara NKRI untuk Papua (Adeney-Risakotta: 2013).
Artikel-artikel tersebut ditulis dalam berbagai tema terkait
dengan kenyataan hidup orang Papua, kekuatan membangun Papua, pembangunan yang
bertanggungjawab di tanah Papua, Perangkat Hukum sebagai dasar penguatan
kembali pemberdayaan Papua, dan Inisiatif
Perdamaian Papua. Kajian sejarah mendapat tempat di bagian paling awal dari
tulisan-tulisan saya sekalipun masih dinilai oleh novelis pertama perempuan,
Aprila R.A Wayar belum merepresentasi situasi yang dapat mendorong munculnya diskusi
mendapat di antara orang-orang Indonesia tentang Papua demikian halnya di antara
orang-orang Papua tentang pergumulan kesejarahan mereka. Saya berharap upaya yang
sedang lakukan dengan mengetik keduabelas kisah hidup tokoh-tokoh Papua
akan bisa menjawab komentar dari Aprila R.A.Wayar, terhadap upaya sesama
warganegara NKRI dalam memahami bersama pergumulan orang asli Papua.
Akan tetapi harus saya akui, sesudah hampir dua tahun bergelut dalam
pendalaman materi-materi tentang Papua untuk tujuan pembelajaran bagi sesama
warganegara NKRI untuk Papua, saya baru sekarang sungguh-sungguh merasa sangat
sakit. Sejarah yang dimaksudkan oleh Aprila adalah sejarah perjuangan panjang
anak bangsa untuk mempertahankan eksistensinya di tengah proyek menjadi manusia
modern yang digagaskan oleh Indonesia. Kepedihan
ini ternyata mendalam karena kesakitannya melebihi rasa sakit dari tulang belakang yang
patah. Kepedihan itu berhubungan
langsung dengan jeritan penderitaan saudara-saudara Papua selama berpuluh
tahun. Jeritan belum pernah saya dengar sehingga mengagetkan karena kekejaman
yang menyerupai kebiadaban yang dilakukan oleh bangsa saya sendiri kepada
sesama warganegara Indonesia di tanah Papua. Sang manusia dalam kekejamannya masih bisa
tersenyum menawan dalam keiklasan memohonkan pengampunan sebagaimana terlihat
dalam melafalkan ayat-ayat Firman Allah dalam syafaat dan penyembahan kepadaNya. Nilai-nilai luhur untuk mencapai masyarakat
demokratis seolah-olah jelas pada saat penyembahan tetapi kemudian menipis
bersentuhan dengan keganasan ankara raya.
Tidak mudah mengetik ulang cerita dari penderitaan orang lain,
terutama mereka yang mengalami penderitaan karena pernah dipenjara, menjadi
target untuk ditangkap bahkan dengan ancaman nyawa sekalipun. Menulis ulang
dari cerita seorang yang menyaksikan kekerasan yang terjadi di depan matanya
sendiri. Dalam cara mereka yang sangat berani untuk mengungkapan kekerasan yang
dilakukan oleh mereka yang melebihi kebrutalan seorang manusia, dalam kekuatan ini, saya melihat
ada harapan untuk suatu kehidupan dibangun kembali dari orang-orang terseleksi yang bertahan dalam kehidupan yang
ganas di tanah Papua. Muncul harapan
saya kepada orang-orang Papua, para tokoh-tokoh Papua ini, karena ketahanan
mereka menyebabkan mereka seperti emas yang berkilau. Ketahanan dalam
memperjuangan keadilan sebagai haknya untuk hidup telah mendorong keberanian
yang tulus tampil sekuat kehidupan itu sendiri untuk mengubah kenyataan dari
nasib buruk yang sudah ditargetkan menimpa pada orang-orang Papua. Saya
dikuatkan karena nasib buruk itu adalah pekerjaan tangan dari manusia yang
kekuatannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan tangan Sang Pencipta yang
menginginkan orang-orang Papua terus hidup mewarisi buminya sendiri.
Saya dibesarkan dengan cerita-cerita dari kakek dan nenek yang
tentang ketulusan orang-orang Papua yang sekaligus sangat sensitif untuk
bereaksi ketika mereka merasa ditolak karena perbedaan cara hidupnya. Pada awal
tahun 1940an, orang-orang Papua di Serui masih menggunakan cawat bagi lelaki dan
bertelanjang dada untuk perempuan. Kebiasaan ini sekarang masih dijumpai di
beberapa tempat di pedalaman. Sekarang Serui dan Biak sudah menjadi daerah yang
terbuka, yang sekaligus sebagai target turisme di mana orang-orang Papua dengan
pakaian adat malahan didorong untuk tampil kembali dalam upacara-upacara untuk
menyambut turis-turis yang datang ke Papua untuk melihat keeksotisan budayanya.
Paket turisme yang menggagaskan jualan kebudayan yang beradab ternyata
menyimpan kontradiksi terkait dengan fantasi kedirian manusia modern yang
hilang tetapi terpelihara di dunia yang dianggap terbelakang, primitif dan bisa
dibodohkan. Ironis peradaban yang tampil
elegan dengan kaya hidup ekslusif, perjalanan lintas dunia tetapi sekaligus
dilakukan dalam mentalitas manusia yang cenderung memperbudak mereka yang lemah
yang hanya bisa mendapat uang dari jualan budaya sebagai paket eksotisme yang
memberikan pendapatan kepada negara tidak kepada artis-artis lokal yang
dianggap tanpa kelas sosial.
Danau Sentani yang indah di Jayapura (Koleksi: Farsijana)
Biak dilihat dari pesawat (Koleksi: Farsijana)
Padahal Papua melebihi semua yang dibangun sekarang ini
sebagai keindahan dan kekayaan yang harus dibawa keluar dari tanah Papua
meninggalkan kemiskinan dan kehampaan bagi orang asli Papua. Kekuatan hidupnya bersama alam, dengan
gunung-gunung yang menjulang tinggi, sunga-sungai yang melebar, dan penuh
dengan kelimpahan makanan, kesatuan irama musik yang membangun kesadaran
bersama orang Papua adalah bukti kehadiran Sang Pencipta yang kuat melindungi
orang Papua dari kehancuran yang lebih dasyat. Lagu-lagu kehidupan yang
dinyanyikan disela-sela kesulitan dan kekacauan memberikan semangat baru kepada
orang-orang Papua untuk meraih kembali tahun-tahun yang sudah hilang dari
dirinya. Ketika orang asli Papua bernyanyi lagu kebanggaannya, Hai Tanahku Papua...
Hai tanah ku Papua,
Kau tanah lahirku,
Ku kasih akan dikau
sehingga ajalku.
Kukasih pasir putih
Dipantaimu senang
Dimana Lautan biru
Berkilat dalam terang.
Kukasih gunung-gunung
Besar mulialah
Dan awan yang melayang
Keliling puncaknja.
Kukasih dikau tanah
Yang dengan buahmu
Membayar kerajinan
Dan pekerjaanku.
Kukasih bunyi ombak
Yang pukul pantaimu
Nyanyian yang selalu
Senangkan hatiku.
Kukasih hutan-hutan
Selimut tanahku
Kusuka mengembara
Dibawah naungmu.
Syukur bagimu, Tuhan,
Kau berikan tanahku
Beri aku rajin djuga
Sampaikan maksudMu.
Dengan saya menulis rintihan harapan ini, sayapun dikuatkan
kembali untuk meneruskan perjalanan panjang menyembuhkan diri sendiri.
Kesembuhan yang datang bersama dengan setiap detak bunyi ketikan tuts komputer
yang mengukir secara hidup kisah hidup
tokoh-tokoh Papua. Mereka inilah adalah pemimpin karena bisa bercerita sejujurnya
tanpa rasa takut pada mimpi bersama untuk membangun kembali kekuatan yang
tersisa dalam diri kemasyarakatannya suatu harapan yang tidak pernah lenyap,
bahwa Papua adalah berkat dan kasih sayang dari Allah Yang Maha Kasih dan
Pemurah. Pembebasan dari siksaan itu adalah hak Tuhan karena setiap orang dan
bangsa yang memintanya akan mendapatkannya. Juga mereka yang bertujuan
menghancurkannya akan merasa takut dan malu kepada perbuatannya sendiri yang
atas nama peradaban ternyata telah melakukan perbuatan-perbuatan yang
bertentangannya dengan keadaban itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar