UU nomor 21 Tahun 2001 sebagai dasar evaluasi Otsus Papua
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Baru-baru ini Ketua Kaukus Papua di Parlemen RI, Paskalis Kossay, melakukan pertemuan dengan Menkopolhukam untuk meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menuntaskan evaluasi kinerja pelaksanaan Otsus Papua (Sinar Harapan, 7 Februari 2013). Sementara seperti dilaporkan pada Kantor Berita Radio online (KBRPapua), pemerintah pusat, diwakili oleh Kementerian Dalam Negeri pada tanggal 12 Desember 2012 sudah mulai melakukan evaluasi yang terkait dengan pengelolaan dana Otsus. Memperhatikan kedua fenomena terkait dengan arah kebijakan publik untuk evaluasi pelaksanaan Otsus, bisa menimbulkan kebingungan. Kenapa evaluasi harus dilakukan sendiri-sendiri? Karena itu, sebaiknya indikator evaluasi Otsus dirujuk langsung pada UU Otsus Papua nomor 21 Tahun 2001. Menyimak UU Otsus maka yang paling penting dalam proses evaluasi adalah memperhatikan spirit kesatuan dan komprehensitasnya.
UU Otsus menekankan beberapa hal diantaranya terkait pengelolaan pembangunan di Papua yang harus dilakukan dengan perpektif keadilan, menghormati adat budaya masyarakat asli Papua, HAM dalam pengembangan ekonomi nasional dan global sehingga orang asli Papua bisa mencapai kesejahteraan dalam pengembangan SDM dan peningkatan perekonomi kerakyatan. Pencapaian keadilan dan kesejahteraan ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap intergritasnya dalam NKRI. Dalam kaitan dengan pencapaian nilai-nilai tersebut, maka pengelolaan Otsus memerlukan sistem yaitu pemerintah eksekutif, legislatif, lembaga adat, Majelis Rakyat Papua (MRP) yang setingkat dengan DPRP, lembaga-lembaga kenegaraan lainnya yang akan mengatur keamanan, keagamaan, pendidikan, kesehatan dll, serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk meluruskan sejarah Papua dan penyelesaian kasus-kasus HAM.
Pasal-pasal mendasar yang menyiratkan perumusan spirit Otsus sebagaimana digambarkan di atas bisa dilihat pada rumusan pertimbangan butir b, butir f. Pasal 38:1 terkait dengan perekonomian Papua merupakan perekonomian nasional dan global, dan pengaturan perimbangan kemanfaatan dari pengembangan sumberdaya alam bagi pendapatan pusat dan daerah diatur dalam kaitan dengan pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan (pasal 42:1). Pengelolaan pemerintahan eksekutif dari tingkat Gubernur sampai dengan Kepala Kampung, sedangkan lembaga legislatif dari tingkat DPRP dan MPR sampai dengan Badan Musyawarah Kampung.
Pasal 45 dan 46 terkait dengan kewajiban pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan penduduk propinsi Papua menegakkan HAM. Secara khusus inisiatif pemerintah pusat, yaitu Presiden RI melalui Keputusan Presiden dalam menetapkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan menjabarkan langkah-langkah rekonsiliasi sebagai bagian dari prinsip integrasi yang disinggung dalam bagian pertimbangan Otsus. Khusus terkait dengan Pasal 45-46, telah muncul berbagai dorongan kepada Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan dialog Jakarta-Papua.
Selain itu, penerbitan perundangan harus diupayakan terhadap turunan UU Otsus sebagai payung hukum dalam melindungi kebijakan dan praktek pembangunan. Perdasus adalah peraturan daerah khusus yang diterbitkan sebagai konsultasi dengan pemerintah pusat dan perdasi adalah peraturan daerah provinsi. Sementara perdasus dan perdasi berpihak kepada rakyat belum dihasilkan sesudah 11 tahun UU Otsus dioperasikan di Papua, sudah ada Inpres No 1/2003 tentang pemekaran wilayah Papua menjadi tiga provinsi. Dalam evaluasi yang dilakukan oleh Elsham Papua, penerbitan Inspres ini dilakukan tanpa konsultasi dengan MRP sebagaimana ditetapkan oleh UU Otsus karena pemekaran wilayah terkait dengan teritorial adat dalam masyarakat Papua.
Hal yang sama juga terlihat dalam penerbitan Keppres oleh Presiden SBY pada tanggal 20 September 2011 terkait dengan Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat (UP4B.2). Pembentukan Kepper ternyata lebih memfokuskan pada ketahanan pangan, penanggulanan kemiskinan, pembangunan ekonomi rakyat, pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar dan tindakan afirmatif kepada orang asli Papua, tetapi dalam prakteknya belum menyentuh perlindungan terhadap kebanyakan orang asli Papua yang tidak mempunyai akses langsung pada institusi-institusi negara seperti kepolisian, TNI, maupun penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua.
Adanya pujian terkait dengan Preprs No.84 Tahun 2012 mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah dalam rangka percepatan pembangunan Propinsi Papua dan Papua Barat harus terus bisa diuji oleh masyarakat luas, terutama orang asli Papua. Dikarenakan Prespes ini belum bisa melindungi pedagang asli Papua. Desakan dari Solidaritas Pedagang Asli Papua (Solpap) misalkan meminta Pemerintah Papua menetapkan Perdasus yang mengatur perlindungan bagi pedagang khusus orang Papua termasuk pengaturan pendirian mall, supermarket dan mini market serta ketentuan penjualan barang-barang karena didapati barang-barang murah dijual di lokasi perdagangan berkelas tsb. Perdasus harus diadakan untuk mengimbangi Keputusan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang penataan pasar modern.
Disinyalir
oleh masyarakat tentang pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 terkait
Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan Anggota Dewan. PP ini menyebabkan
adanya pembiayaan berbagai tunjangan kepada anggota Dewan sehingga Ketua DPRD
Provinsi bisa memperoleh pendapatan berjumlah Rp 36,267 juta melebihi
pendapatan seorang Gubernur (Rp 8,4 juta). Adanya perbedaan menyolok tunjangan
tsb menimbulkan gap di antara pendapatan legislatif dan eksekutif. Pendapatan
Ketua DPRD meliputi uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan beras,
uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan panitia musyawarah, tunjangan
komunikasi dan panitia anggaran. Akibat dari PP ini dilakukan berbagai pungutan
untuk menutupi defisit anggaran yang dibutuhkan membayar berbagai tunjangan
dari seorang anggota Dewan. Padahal diantara periode tahun 2007-2009, dengan
penerbitan 43 perda yang terdiri dari 9 perdasus dan 25 perdasi belum satupun
mencerminkan keberpihakan kepada masyarakat. Menurut Direktur The Institute for
Civil Strengthening (ICS) Papua, Budi Setyanto SH, perda yang dihasilkan
berpihak kepada pemerintah belum menunjukkan keberpihakannya pada rakyat.
Dengan demikian diperlukan pemahaman tentang
evaluasi yang harus dilakukan terkait dengan Otsus Papua. Evaluasi adalah
penilaian yang terencana secara terus menerus. Adapun aspek-aspek evaluasi dan
monitoring harus memenuhi beberapa indikator. Pertama, indikator terkait dengan
aksesitas masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan. Kedua, indikator partisipatif
pelaksanaan yang melibatkan semua unsur masyarakat dalam memproses perdasus dan
perdasi seperti disebutkan dalam UU. Ketiga, indikator kemanfaatan
kegiatan-kegiatan yang bisa dirasakan oleh masyarakat, serta keempat, indikator
efisiensi dan relevansi program yang dapat memberdayakan masyarakat terutama orang asli Papua.
UU Otsus Papua adalah produk DPR RI yang bersifat
nasional sehingga pengawalannya juga menjadi tanggungjawab bukan saja oleh
masyarakat Papua tetapi juga seluruh warganegara NKRI. Dasar pemahaman inilah
yang menyebabkan warganegara NKRI di luar Papua seperti yang terjaring oleh “Petisi
Warganegara NKRI untuk Papua” (www.facebook.com/petisi.untuk.papua)
melakukan diskusi-diskusi online untuk
mengerti letak permasalahan Papua dan upaya penanggulangannya yang lebih adil.
Sehingga teriakan-teriakan masyarakat terhadap ketidakadilan tidak otomatis
dianggap sebagai upaya untuk memberontak terhadap NKRI, bahkan dicap sebagai
separatisme dan ditindak dengan menggunakan Inpres No 2/2013 yang atas nama
keamanan NKRI, warganegaranya sendiri dibinasakan. Kebijakan bersama,
pemerintah pusat, daerah, dan seluruh warganegara NKRI dalam mendudukan
persoalan penanggulangan konflik di Papua harus bisa memenangkan basudara di
Papua dalam membangun integritas bersama sebagai warganegara NKRI yang
mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar