Petisi Warganegara NKRI untuk Papua dalam Morning News (21 Maret 2013)
"Komarudin Watubun menghitung janji Presiden SBY memfasilitasi Dialog Papua Damai"
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Kompas cetak, 20 Maret 2013 dalam rublik opini (hal. 7) memuat artikel yang sangat halus tetapi kritis dari seorang Papua, Komarudin Watubun. Komarudin Watubun adalah wakil ketua DPRD Papua dan Ketua DPP PDIP Papua. Artikel ini berargumentasi bahwa hambatan pelaksanaan Dialog Damai Papua, sekalipun presiden SBY sebanyak enam kali dalam sembilan tahun kepemimpinannya berjanji memfasilitasinya tetapi realisasinya nihil karena sejarah kontak kerja yang telah dimulai sejak 7 April 1967 dengan Freeport.
Membandingkan penyelesaian damai antara pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka, yang menghasilkan MOU Helsinki, Komarudin Watubun mengandaikan proses yang sama bisa dilakukan oleh pemerintah RI apabila ada kemauan politik dari para pemimpin. MOU Helsinki mengatur pengelolaan sumber daya alam 70% oleh pemerintah Aceh dan sisanya oleh pemerintah RI. Ketersendatan menuju dialog yang sama, untuk menyelesaikan konflik Papua harus diatasi dengan mendorong pemerintah RI dan warganegara NKRI untuk percaya diri dan bangga dalam pengelolaan SDA secara mandiri karena kemampuan SDM yang sudah tersedia. Membangun argumentasinya, Komarudin Watubun mensinyalir pandangan Bung Karno tentang pentingnya komitmen untuk berdikari ditegakkan dalam mengendalikan pembangunan nasional.
Artikel ini, seperti diakui oleh penulis tidak menyentuh penjelasan tentang peran global dalam mengontrol Indonesia, terutama yang terjadi dengan Freeport. Prinsip berdikari yang digagaskan Soekarno ternyata juga pada saat kepemimpinannya malahan menyerahkan Papua kepada Freeport Surphur Company. Kontradiksi dalam kebijakan nasional seringkali disebabkan karena tekanan eksternal, tetapi seperti dikatakan oleh Komarudin Watubun, ketika ada itikad dan komitmen yang mendalam dari pemimpin maka upaya perubahan kebijakan nasional bisa dilakukan dengan mendasarkan pada keadilan, kesejahteraan dan perdamaian bagi anak bangsa Indonesia.
Petisi Warganegara NKRI untuk Papua ingin tambahkan, tentang pentingnya peran warganegara NKRI untuk memahami persoalan kebijakan nasional yang diikat oleh kepentingan-kepentingan global sehingga secara bersama bisa mendorong pemerintah RI mengatasi jeratan tsb.
Petisi Warganegara NKRI untuk Papua memfasilitasi aksesitas artikel Komarudin Watubun sehingga bisa dibaca dalam penjelasan di bawah ini atau langsung ke link Kompas .
Salam amalulukee.
Berdikari di Tanah Papua
Oleh Komarudin Watubun*
Reaksi pemerintah (pusat) terhadap peristiwa penembakan
delapan anggota Tentara Nasional Indonesia dan warga sipil yang terjadi di
Papua pada Pebruari lalu seakan-akan lagu lama yang dinyanyikan kembali.
Hampir dalam setiap kejadian menyangkut Papua, pemerintah
(pusat) cepat bereaksi. Mengadakan rapat, mengeluarkan pernyataan, menjanjikan
komunikasi konstruktif, dan mencuatkan wacana untuk mengakomodasikan keinginan
menyelesaikan konflik Papua dengan dialog. Namun satu per satu reaksi yang
selalu dilakukan “segera” itu dalam perjalanan waktu menguap begitu saja.
Dalam kurun sembilan tahun Susilo Bambang Yudhoyono memimpin
negeri ini setidaknya enam kali ia melontarkan pernyataan (resmi) mengenai dialgo
untuk menyelesaikan konflik Papua. Data ini saya peroleh melalui penelusuran di
internet berupa publikasi media cetak dan media elektronik. Siapapun dengan
mudah mendapatkan keenam pernyataan Presiden SBY tersebut.
Yang pertama disampaikan saat ia baru memimpin negeri ini,
berpasangan dengan Jusuf Kalla, pada akhir 2004. Isinya: “Pemerintah
berkeinginan menyelesaikan masalah Papua dengan cara damai, adil, dan
bermartabat dengan menitikberatkan dialog dan persuasi”.
Yang kedua disampaikan dalam pidato kenegaraan 16 Agustus
2005. “Penyelesaian masalah Papua akan dilaukan secara damai, mengedepankan
dialog, pendekatan persuasif, dan pelaksanaan otonomi khusus secara konsisten
sebagai solusi adil, menyeluruh, dan bermartabat. Pemerintah tak akan
mengundang dan memberi peluang campur tangan asing”.
Yang ketiga dalam pidato kenegaraan 2010. SBY kembali
mengatakan, “Pemerintah dengan seksama terus mempelajari dinamika yang ada di
Papua, dan akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan
Papua yang lebih baik”.
Yang keempat pada pidato kenegaraan 2011, SBY mengatakan, “Menata
Papua dengan hati alah kunci dari semua langkah untuk menyukseskan pembangunan
Papua”.
Yang kelima saat rapat kabinet September 2011, “Dialog antara pemerinath pusat dan saudara
kita di Papua itu terbuka. Kita mesti berdialog, dialog terbuka untuk mencari
solusi dan opsi mencari langkah paling baik selesaikan masalah Papua”.
Yang keenam saat bertemu dengan Persekutuan Gereja-Gereja di
Tanah Papua pada 1 Februari 2012. Di sana Presiden SBY menyatakan bahwa
pemerintah mendukung dan berkeinginan
menyelesaikan konflik Papua melalui cara dialog.
menyelesaikan konflik Papua melalui cara dialog.
Itu baru pernyataan Presiden. Masih ada pernyataan menteri,
staf khusus, dan orang atau
pihak lain yang ada di sekelilingnya. Pada saat yang sama dalam kurun yang sama
nyawa manusia di Papua melayang baik yang tidak berdosa maupun yang “berdosa”.
pihak lain yang ada di sekelilingnya. Pada saat yang sama dalam kurun yang sama
nyawa manusia di Papua melayang baik yang tidak berdosa maupun yang “berdosa”.
Saya beri tanda petika pada kata berdosa karena bagi pihak
tertentu pelenyapan nyata itu legal, dibolehkan, sehingga mereka merasa berhak,
wajib, bahkan mendapat apresiasi serta
penghargaan, padahal sejatinya, semua yang menjadi korban adalah anak bangsa
Indonesia yang tercinta.
penghargaan, padahal sejatinya, semua yang menjadi korban adalah anak bangsa
Indonesia yang tercinta.
Kekhawatiran berdialog
Yang sering muncul dipermukaan mengenai alasan sulitnya dialog
diselenggarakan ialah
tidak ada representasi atau wakil masyarakat Papua. Pembanding rujukannya adalah
Dialog Damai Aceh. Di Aceh, struktur organisasi Gerakan Aceh Merdeka jelas.
Kejelasan ini mempermudah terselenggaranya dialog. Bagi saya, alasan ini ada benarnya,
tetapi ada dampk besar dari dialog jika kesepakatan damai itu sendiri.
tidak ada representasi atau wakil masyarakat Papua. Pembanding rujukannya adalah
Dialog Damai Aceh. Di Aceh, struktur organisasi Gerakan Aceh Merdeka jelas.
Kejelasan ini mempermudah terselenggaranya dialog. Bagi saya, alasan ini ada benarnya,
tetapi ada dampk besar dari dialog jika kesepakatan damai itu sendiri.
Mari kita berandai-andai. Jika Dialog Damai Papua dibuat
seperti Aceh, yang akan dihasilan
adalah “MOU Helsinki” Bagian II. Mari mencermati ini. Dialog Damai Aceh melalui
MOU Helsinki. Di sana tersua sejumlah kesepakatan dan konsekuensi yang harus diterapkan
masing-masing. Di antaranya adalah pembagian hasil kekayaan alam.
Pasal1.3.4. MOU Helsinki: “Aceh berhak menguasai 70 persen hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang
di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh”.
adalah “MOU Helsinki” Bagian II. Mari mencermati ini. Dialog Damai Aceh melalui
MOU Helsinki. Di sana tersua sejumlah kesepakatan dan konsekuensi yang harus diterapkan
masing-masing. Di antaranya adalah pembagian hasil kekayaan alam.
Pasal1.3.4. MOU Helsinki: “Aceh berhak menguasai 70 persen hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang
di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh”.
Pertanyaan besarnya, apakah Jakarta atau pemerintah pusat
dan pihak lainnya
akan rela melakukan hal ini untuk Papua? Konsekuensinya berdampak terhadap
kesepakatan yang dibuat Pemerintah Indonesia dengan Freeport. Indonesia harus
melakukan renegosiasi dengan Freeport. Dalam analisisinya pada rublik Opini Kompas,
2 Agustus 2012”, Renegosiasi Kontrak Freeport", Kurtubi mengatakan bahwa posisi
legal pemerintah lemah. Kontrak karya yang dilakukan adalah antara pemerintah dan investor.Pemerintah menjadi bagian “para pihak” yang berkontrak. Semua pasal
dalam isi kontrak karya yangditandatangani pemerintah dan para investor (Freeport)
untuk tambang di Papua pada 7 April 1967baru bisa berubah kalau disetujui kedua pihak.
akan rela melakukan hal ini untuk Papua? Konsekuensinya berdampak terhadap
kesepakatan yang dibuat Pemerintah Indonesia dengan Freeport. Indonesia harus
melakukan renegosiasi dengan Freeport. Dalam analisisinya pada rublik Opini Kompas,
2 Agustus 2012”, Renegosiasi Kontrak Freeport", Kurtubi mengatakan bahwa posisi
legal pemerintah lemah. Kontrak karya yang dilakukan adalah antara pemerintah dan investor.Pemerintah menjadi bagian “para pihak” yang berkontrak. Semua pasal
dalam isi kontrak karya yangditandatangani pemerintah dan para investor (Freeport)
untuk tambang di Papua pada 7 April 1967baru bisa berubah kalau disetujui kedua pihak.
Di sinilah, saya duga, pemerintah pusat mengulur-ulur waktu
atau dengan kata lain, takut
menyelenggarakan Dialog Damai Papu. Kontrak Karya I Freeport dengan
Pemerintah Indonesia berlangsung untuk kurun 1967-1991. Pada masa Orde Baru dilakukan
Kontrak Karya II hinggi 2021. Dan kini upaya perpanjangan pun dilakukan agar kontrak bisa berlangsung lagi hingga 2041.
menyelenggarakan Dialog Damai Papu. Kontrak Karya I Freeport dengan
Pemerintah Indonesia berlangsung untuk kurun 1967-1991. Pada masa Orde Baru dilakukan
Kontrak Karya II hinggi 2021. Dan kini upaya perpanjangan pun dilakukan agar kontrak bisa berlangsung lagi hingga 2041.
Keberanian politik
Terlalu panjang menjelaskan alasan Indonesia pada 1967
memutuskan untuk kontrak karya denga Freeport. Begitu pun ketika Kontrak Karya
II dilakukan. Fokus kita adalah tahun 2021 sudah di depan mata. Kini tinggal
kemauan politik (pemimpin) bangsa ini untuk lebih mengutamakan kemampuan bangsa
kita sendiri memakmurkan bangsa.
Semangat berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) Bung Karno
inilah yang perlu dipegang dan diterapkan untuk mewujudkan Papua yang sejahtera
dan damai dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pidato 17 Agustus 1965 Bung Karno mengatakan: “Berdikara
bukan saja tujuan,
tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai
tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan pembangun dengan tidak menyandarkan diri
pada bantuan negara atau bangsa lain. Adalah jelas bahwa tidak menyadarkan diri
tidak berarti bahwa kita tidak mau kerja sama berdasarkan sama derajat dan saling
menguntungkan”.
tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai
tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan pembangun dengan tidak menyandarkan diri
pada bantuan negara atau bangsa lain. Adalah jelas bahwa tidak menyadarkan diri
tidak berarti bahwa kita tidak mau kerja sama berdasarkan sama derajat dan saling
menguntungkan”.
Anak bangsa kita sudah sangat mampu secara teknologi
mengelola kekayaan alam
bangsa ini tanpa didikte dan diperas bangsa lain. Kita tidak anti-asing, tetapi kita harus
berkomitmen membangun Papua yang damai, tidak hanya sebatas wacana berupa pidato atau pernyataan, tetapi juga aksi nyata.Kekayaan alam bangsa untuk bangsa. Sudah saatnya
berdikari di tanah Papua.
bangsa ini tanpa didikte dan diperas bangsa lain. Kita tidak anti-asing, tetapi kita harus
berkomitmen membangun Papua yang damai, tidak hanya sebatas wacana berupa pidato atau pernyataan, tetapi juga aksi nyata.Kekayaan alam bangsa untuk bangsa. Sudah saatnya
berdikari di tanah Papua.
*)Komarudin Watubun
Wakil Ketua DPRD Papua
Ketua DPP PDI Perjuangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar