Berduka Bersama Dunia.
Merayakan Jumat Agung, 29 Maret 2013.
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Dalam tradisi Kristiani, pada dini hari Yesus meninggal di kayu salib. Tanda-tanda alam menyertai hembusan napas Yesus digambarkan oleh penulis Injil Matius, kegelapan dan gempa bumi meliputi bumi. Pagi tadi, saya bangun jam 2.30. Masih dalam ingatan tentang tenggangan waktu, di antara tengah malam dengan dini hari jam 3 pagi, ketika kegelapan dan kegetaran terjadi mengantar Yesus ke dalam alam kematian. Ketika saya sedang merasakan pengalaman kematian Kristus, tiba-tiba hujan turun. Suara rintik-rintik semakin deras. Ada gemuruh terdengar di luar kamar. Pengalaman 2000 tahun lalu masa kematian Yesus seperti sedang berulang dalam pengalaman saya. Alam juga masih ingat kepada masa duka yang mendalam mengiring penyerahan Yesus ke dalam maut.
Jumat Agung dirayakan oleh umat Kristiani untuk memperingati hari kematian Kristus. Peringatan ini adalah menghadirkan seluruh rentetan kehidupan Yesus yang membawa kepada kematian. Saya ingat ketika masih kecil sudah sangat terpesona dengan rasa sakit yang ada dalam diri ketika memasuki masa pra paskah. Rasa sakit yang melebihi rasa lapar dan haus.
Dalam masa pra paskah saya membaca tulisan Injil tentang jalan salib yang dilalui oleh Kristus. Di mulai dari kesempatan Yesus mencuci kaki dan tangan dari murid-muridnya sebelum melakukan jamuan makan bersama mereka. Sesuai dengan tradisi Yahudi, pemilik rumah menyambut tamu-tamunya dengan menyediakan air untuk membersihkan kaki dan tangan mereka yang sudah berjalan jauh sebelum tiba di tempat yang ditujuinya. Dalam tradisi dikatakan Yesus mengambil kesempatan ini dengan membersihkan kaki dan tangan dari keduabelas muridnya. Pencucian diri membawa perjamuan makan terakhir menjadi sangat bermakna kepada murid-murid semua. Mereka perlu dasar yang kuat untuk bisa melewati rasa duka mendalam, yang sedang menanti. Hanya Yesus sedang merasakannya. Saya ingat Yesus berbagi perasaan kepada mereka, murid-murid, katanya: "Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya" (Matius 26: 38b). Murid-murid masih belum mengerti. Hanya Yesus yang tahu, mereka perlu menyatukan diri, saling mengasihi sehingga rasa duka yang akan dihadapi bisa diterima dalam pengalaman merasakan cinta kasih sejati Yesus yang pernah melayani mereka dengan sungguh.
Kecintaan Yesus kepada murid-muridnya bisa dirasakan oleh mereka. Ketika perjamuan makan terakhir dimulai, Yesus mengatakan bahwa di antara murid-muridnya akan ada seorang yang menyerahkan diriNya kepada kelompok yang menginginkan Yesus dihukum. Sudah lama Kristus diincar untuk diserahkan kepada pengadilan kota karena dianggap mengajarkan ajaran yang menghujat Allah. Pelayanan Kristus sudah menggoncangkan dunia Palestina pada waktu itu.
Injil mencatat tentang cinta kasih Yesus mendalam kepada manusia. Mereka yang dipinggirkan oleh negara, orang-orang yang dikucilkan dari keluarga, mereka yang miskin, lapar, haus dan sakit dilayani sampai mereka merasakan kembali cinta kasih Allah. Bahkan Lazarus dibangkitkan! Yesus menghadirkan cinta kasih Allah sehingga cinta kasih itu menakutkan para penguasa yang melupakan tugas pelayanan kepada warganya. Dengan cinta kasih dari Allah, Yesus dalam pelayanannya mengajarkan manusia menghadapi penderitaan tanpa takut. Penderitaan bukan monster yang harus ditakuti. Seperti maut, penderitaan bisa dihadapi bersama Allah. Tindakan cinta kasih yang dimanifestasikan dalam pelayanan Kristus ternyata menjadikan dirinya target untuk difitnah, ditangkap, diadili dan dihukum.
Duka semakin memuncak. Sesudah mempersiapkan murid-muridnya memasuki duka mendalam,Yesus berpamitan untuk sendirian. Saya ingat cerita Alkitab bahwa Yesus pergi ke tempat sepi dan berdoa. Duka semakin dekat, sampai-sampai Yesus sendiri gemetar dalam doanya, “Ya Bapa, kalau boleh cawan ini lewati dari padaKu, tetapi bukan oleh karena kehendakKu melainkan menurut kehendakMu sendiri”. Saya menulis parafrasenya karena inilah ingatan saya dan saya suka menyebutnya ketika saya harus menahan kedukaan dalam perut. Saya mulai menyukai ayat ini sesudah kenal dengan cara Yesus membawa duka mendalam di dalam diriNya. Penyerahan diri Yesus mengutuh kepada jalan yang dipilih Allah.
Penangkapan Yesus oleh serombongan orang-orang yang menargetnya menjadi pembuka dari drama perjalanan salib Yesus yang sangat menegangkan. Sebelum Mel Gibson membuat film “The Passion of the Christ” yang menguras banyak air mata terhadap momen kedukaan dari detik ke detik perjalanan Yesus menuju ke kematian, saya sebagai anak kecil terkagum-kagum kepada kekuatan tradisi yang mengajarkan pengalaman duka dan cara Yesus menghadapinya. Saya ingat selalu bertanya kepada orang tua, atau pembimbing rohani di sekolah minggu tentang mengapa ajaran duka dan cara menghadapinya harus menjadi bagian dari tradisi Kristiani. Jawaban mereka belum bisa menghilangkan kegentaran yang saya rasakan di perut, di dada, di dalam leher sampai saya harus cepat-cepat keluar dari ruangan memandang kepada langit. Mungkin inilah awal kedekatan saya dengan semesta. Untuk banyak pengalaman duka yang mengiris-iris diafragma saya, saya segera berkelat keluar di bawah langit. Di sana saya bisa bernapas dalam tenang. Kekuatan saya adalah datangnya dari Allah yang menciptakan langit dan bumi.
Kematian Kristus adalah puncak dari perjalanan salib yang mengiris-ngiris. Membayangkannya saya mau mual. Mengapa tradisi Kristiani mengajarkan tentang jalan salib dengan puncak pada kematian Kristus sebelum tiba masa kebangkitan? Saya ingat bertanya terus. Semakin tua, pertanyaan itu masih ada bersama saya. Jawaban-jawabannya saya rangkai dari perjumpaan iman saya dengan peristiwa-peristiwa kehidupan yang memberikan penerangan tentang pentingnya keputusan Allah merestui perjalanan salib terjadi sebagai jalanNya kepada Yesus Kristus. Jalan Allah yang mengasihi manusia tanpa syarat. Mengasihi sampai kebencian tergoyakan dalam penerimaan manusia yang terbebaskan dari belenggu obsesif ikatan persona diri di hadapan Allah. Seperti dikatakan Pemazmur: "Siapakah saya ya Allah, sampai di lobang kuburpun Engkau di sana?". Betapa kekuatan yang dibanggakan manusia bisa sirna sekecap seperti angin meniup debu.
Tahun ini, menghayati perjalanan salib Yesus Kristus sangat berbeda. Dua minggu sebelum hari ini, Jumat Agung, perut saya mulai sakit. Kesakitan dari kedukaan yang harus saya lihat. Manusia masih mencintai dirinya sendiri sehingga pengertian-pengertian baik yang menghasilkan kebijakan-kebijakan yang membawa kepada kehidupan seolah-olah sirna. Berita korupsi merajai media. Tubuh seseorang yang pernah dicintainya dengan mudah dipotong-potong dan disebarkan sepanjang jalan tol di Jakarta. Tubuh fisik dari rumah-rumah ibadah dengan mudah disingkirkan pemerintah di Bekasi. Tubuh fisik dari anak manusia dengan mudah diakhiri hanya dalam lima belas menit tembakan beruntun dilakukan oleh seorang eksekutor di Lapas Cebongan Sleman, DIY. Kekerasan yang menghadirkan realitas seolah-olah bagian dari imaginasi adegan film-film Hollywood. Kasus-kasus kekerasan lain berdampak bagi warga biasa, terbentang dari Aceh sampai Papua, yang belum terungkapkan. Kegetaran itu dari sakit perut menjadi kuat ketika saya masih harus terus melakukan berbagai kegiatan rutin dari seorang Farsijana.
Kematian Yesus mengajarkan kekuatan membawa kedukaan dalam rahmat Allah. Rahmat Allah saya bisa rasakan ketika sehari sebelum Jumat Agung, saya diberikan kesempatan membakar lilin di Tugu, bersama dengan adik-adik, saudara/i dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dan masyarakat luas untuk menghayati meninggalnya keempat saudara yang dieksekusi di Lapas Cebongan Sleman. Saya tidak mengenal mereka, keempat orang yang dieksekusi dan semua orang yang ada di Tugu. Tetapi saya di sana bersama dengan yang lain, saya membakar lilin. Saya menulis puisi “Bulan membakar Yogya”. Saya sedang membakar ego saya bersama lilin tersebut. Saya membakar "ego" saya karena saya juga berkontribusi terhadap kedukaan yang dirasakan bersama dalam masyarakat. Saya belum maksimal berbagi dengan mereka, pengetahuan dan kepeduliaan saya kepada mereka. Saya membakar “ego” saya sampai saya merasakan kesakitan dari duka itu berubah menjadi ketenangan yang menyelimuti saya.
Di alam terbuka, di titik nol di tengah kota, di Tugu, di monumen yang segaris, searah ke gunung Merapi di utara dan keraton Ngayogjakarta ke selatan di sepanjang lautan Hindia, saya seolah-olah sedang diselimuti dengan rahmat Allah yang maha besar. Keajaiban bulan purnama dengan pantulan sinarnya sedang menyentuh kami di sana. Mungkin saya yang paling merasakannya. Lingkaran-lingkaran sinar membungkus saya sehingga rasa duka dalam rongga tubuh bisa berubah menjadi bahasa yang siap dilahirkan. Saya tiba-tiba bisa mengerti duka sesama, mereka yang keadilannya sedang dicabut, dilanggar, dipatahkan dan disingkirkan. Bulan purnama yang memancarkan sinar kasihnya juga sedang mengirimkan perlindungan kepada mereka yang di mana-mana sedang mencari keadilan Allah. Hanya dengan cara Allah, penderitaan bisa dihadapi.
Kematian Kristus adalah kematian Allah bersama dunia. Inilah berita kematian Kristus untuk dunia. Hanya melalui kematian, ada kehidupan. Saya bersyukur diberikan pengalaman melewati masa penderitaan dengan cara yang belum pernah saya alami sebelumnya. Ketika pengenalan atas kekuatan penderitaan dimengerti, saya semakin sadar tentang pengeraman permenungan. Sehingga ketika waktunya tiba, saya sendiri tidak bisa menahan diri untuk membiarkan bahasa mengungkapkan misteri penderitaan yang sedang saya rasakan dalam diri.
Saat ini, saya membawa kesakitan dari penderitaan dunia ke dalam diri, karena Yesus sudah lebih dulu melakukannya. Saya membawanya sampai waktu Tuhan mengangkatnya menurut rahmatNya sendiri. Dengan mata iman, perjuangan hidup bersama, perjuangan berbangsa saya hadapi dalam merasakan penderitaan sesama sampai saya tahu harus melakukan sesuatu kepada mereka.
Disamping berbagai gerakan langsung dengan masyarakat, saya tahu betapa pentingnya menuturkan kembali pengalaman dalam bahasa yang bisa saling menguatkan perjuangan bersama. Mereka yang memberikan diri untuk berbagi, menyentuh kehidupan yang dihindari banyak orang karena padanya ada resiko. Saya sudah memilih memasukinya. Pengalaman yang menakutkan harus saya hadapi dengan ketahanan berjalan di dalam jalan Allah seperti yang dialami oleh Kristus.
Ketika saya menulis, saya membawa pengalaman manusia keluar dari dirinya dan membentangkan untuk mengaca pada diri sendiri dan sesama. Lorong-lorong kegelapan dalam diri sendiri dan sesama harus bisa dibentangkan. Saya sedang melakukannya seperti Yesus yang menghadapi penderitaan dalam kesedihan mendalam tanpa cepat-cepat segera menyingkirkannya. Seperti seorang perempuan membesarkan kandungannya, penderitaan memerlukan waktu untuk menguat menjadi sosok diri yang peduli dan empati kepada kehidupan. Pengalaman penderitaan adalah rahmat. Saya menyambutnya dengan syukur mendalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar