“Mendalami upaya mencari indikator damai di Papua”
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Pulau Papua sudah terkenal sejak pra
kolonialisasi. Ketenarannya bisa dilihat dari minat besar kesultanan Tidore
ketika meluaskan teritori kekuasaannya ke timur sampai ke daerah yang sekarang
disebut Kepala Burung. Kata Papua, selain dihubungkan dengan pencirian fisik
orang-orang Melanesia, yang berkeriting, seperti yang dijelaskan
oleh Stirling, dalam bahasa Maluku Utara, istilah Papua dipergunakan untuk
menyebut daerah yang tidak berpemimpin, tidak ada raja, seperti yang terlihat
pada praktek pemerintahan di Maluku Utara pada waktu itu. Jadi nama Papua dalam bahasa Maluku Utara
terdiri dari dua suku kata yaitu Papa-Ua, yang berarti anak piatu.
Sebutan ini diberikan untuk menjelaskan daerah di sebelah timur Maluku Utara
yang tidak memiliki seorang raja (Stirling, 1943:4,
dalam Koentjaraningrat, 1993).
Memperhatikan sistem kehidupan 255
suku di Papua, dengan pola interaksi sosial di antara mereka, maka penyebutan
Papua menurut penamaan dari bahasa Maluku Utara sebenarnya menunjukkan
kebenaran tentang realitas “kesetaraan” di antara suku-suku Papua. Ide kerajaan
datangnya dari bagian barat dengan perluasan sistem pemerintahan kemaharajaan
dimulai dari jaman kerajaan2 Hindu, Budha sampai dengan kesultanan Islam yang
terkait dengan penguasaan lahan2 produksi antara pulau dan negeri dengan target
perdagangan rempah-rempah dimulai dari empat pulau saudara di bagian utara
kepulauan Maluku yaitu, Moti, Makian, Ternate dan Tidore ke selatan sesudah politik
hongi mulai diterapkan pada jaman penjajahan barat (Adeney-Risakotta, 2005).
Sesudah masa kejayaan rempah-rempah sirna,
di jaman pembebasan koloni-koloni barat di seluruh dunia, paska perang dunia ke-2,
dengan penemuan teknologi eksplorasi penambangan, target ekspolari mulai
beralih kepada pengolahan pertambangan. Eksplorasi geologis pertama, yang disebut ekspedisi Colijin karena dipimpin oleh Dr. A. H. Colijin. Selain Colijin, dua orang
koleganya J.J. Dozy dan H. Wissel, sesama berkebangsaan Belanda, menemukan
gunung tembaga, Ertsberg di pegunungan Jayawijaya.
Sejak itu pemerintah kolonial Belanda, mengejar riset-riset eksplorasi pertambangan di hampir seluruh tanah Papua.
Sesudah kemenangan Perang Dunia kedua oleh AS dan sekutu-sekutunya, semua informasi dan hak pengolahan eksplorasi pertambangan di tanah Papua diberikan kepada perusahaan Freeport Surphur Company. Kehancuran negara-negara Eropa termasuk Belanda pada perang dunia ke-2 memerlukan dukungan dana untuk membangun kembali negaranya. Pengintegrasian Papua ke dalam NKRI merupakan salah satu kesepakatan antara PBB, pemerintah AS, Belanda dan Indonesia yang memungkinkan pengoperasian Freeport Surphur Company, sebagai Freeport Indonesia menandatangani kontrak pertama pada tanggal 5 April 1967. (Adeney-Risakotta, 2012).
Kebijakan pertambangan nasional mengharuskan Freeport Indonesia membayar saham dimulai dari 9 sampai sekarang dengan kenaikan 11 persen kepada pemerintah Indonesia ternyata belum bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup warga asli Papua, lingkungan alam di sekitarnya dan perbaikan hak-hak asasi manusia di tanah Papua. Bahkan sejak itu, tahun 1967, perpindahan penduduk ke Papua tidak tertahan lagi. Data 2010, BPS Papua mencatat jumlah penduduk Papua saat ini terdiri dari penduduk asli 2.159.318 jiwa (76,21%) dan 674.063% (35,4%). Sedangkan jumlah penduduk di Papua Barat berjumlah 798.601. Migrasi terjadi di Papua bukan terutama karena program transmigrasi, tetapi karena perpindahan warganegara NKRI dari daerah-daerah lain untuk mencari pekerjaan di Papua. Eksplorasi pertambangan membuka berbagai jaringan perdagangan sekalipun sebagian besar dari pekerjaan pertambangan melakukan pembelajaan kebutuhan mereka di luar pulau Papua di mana keluarganya sebenarnya bertempat tinggal.
Sesudah kemenangan Perang Dunia kedua oleh AS dan sekutu-sekutunya, semua informasi dan hak pengolahan eksplorasi pertambangan di tanah Papua diberikan kepada perusahaan Freeport Surphur Company. Kehancuran negara-negara Eropa termasuk Belanda pada perang dunia ke-2 memerlukan dukungan dana untuk membangun kembali negaranya. Pengintegrasian Papua ke dalam NKRI merupakan salah satu kesepakatan antara PBB, pemerintah AS, Belanda dan Indonesia yang memungkinkan pengoperasian Freeport Surphur Company, sebagai Freeport Indonesia menandatangani kontrak pertama pada tanggal 5 April 1967. (Adeney-Risakotta, 2012).
Kebijakan pertambangan nasional mengharuskan Freeport Indonesia membayar saham dimulai dari 9 sampai sekarang dengan kenaikan 11 persen kepada pemerintah Indonesia ternyata belum bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup warga asli Papua, lingkungan alam di sekitarnya dan perbaikan hak-hak asasi manusia di tanah Papua. Bahkan sejak itu, tahun 1967, perpindahan penduduk ke Papua tidak tertahan lagi. Data 2010, BPS Papua mencatat jumlah penduduk Papua saat ini terdiri dari penduduk asli 2.159.318 jiwa (76,21%) dan 674.063% (35,4%). Sedangkan jumlah penduduk di Papua Barat berjumlah 798.601. Migrasi terjadi di Papua bukan terutama karena program transmigrasi, tetapi karena perpindahan warganegara NKRI dari daerah-daerah lain untuk mencari pekerjaan di Papua. Eksplorasi pertambangan membuka berbagai jaringan perdagangan sekalipun sebagian besar dari pekerjaan pertambangan melakukan pembelajaan kebutuhan mereka di luar pulau Papua di mana keluarganya sebenarnya bertempat tinggal.
Kebijakan pembangunan yang pro globalisasi, ternyata menguntungkan bagi
warganegara NKRI yang datang dengan kapasitas, kapabilitas yang melebihi
warganegara NKRI Papua, orang asli Papua. Kesenjangan ekonomi mengarah pada
eksploitasi pasar untuk mengeruk dan mengelilingi warganegara NKRI Papua menyebabkan ketergantungan dan mengakibatkan lebih dari 80% orang asli Papua yang hidup di
tanahnya yang kaya, masih hidup dalam kemiskinan. Menurut BPS Papua Barat, sesuai dengan laporan bulan September 2012, sumbangan garis kemiskinan makanan (GKM) terhadap garis kemiskinan sebesar 73,10 persen di perkotaan dan 82,71 persen di pedesaan. Indikator GKM adalah besaran pengeluaran untuk berbelanja makanan sesuai dengan kebutuhan asupan energi sebesar 2.100 kilo kalori per kapita per hari yang disumbangkan dari 52 jenis komoditi meliputi padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu. Selain aksesitas ekonomi yang rendah, partisipasi orang asli Papua dalam
pendidikan, pemenuhan kesehatan mendasar dan mengkonsumsikan makanan bergisi masih tertinggal jauh dari warganegara NKRI
lainnya.
Dalam konteks inilah menarik untuk menerbitkan pertanyaan mendasarkan
dari hati nurani warganegara NKRI, terkait dengan bentuk tanggungjawab macam
apakah yang perlu dibangun untuk mendorong mencapai keadilan dan kesejahteraan
di tanah Papua. Ketika berbagai kalangan mencari indikator perdamaian untuk
mengerti tentang upaya bersama penduduk di Papua mengatasi krisis Papua, sangat penting bertanya
sejauhmana indikator keadilan dan kesejahteraan dibahas berbarengan dengan indikator
politik yang terkait dengan loyalitas basudara Papua dalam NKRI. NKRI adalah bingkai
perjuangan bersama berbangsa yang harus ditopang dengan pewajahan pembangunan
yang adil dan sejahtera menuju pada perdamaian menyeluruh di berbagai bidang
kehidupan warganegara di daerahnya di mana ia berdaulat.
Pertanyaan ini sangat penting direnungkan bersama, terutama ketika para
pendatang dan basudara asli Papua sedang memproses bentuk indikator perdamaian
yang cocok untuk membangun pemahaman bersama mengatasi krisis Papua. Ada banyak
contoh yang baik dari kehidupan antara basudara Papua, baik yang muslim dan
nasrani seperti yang diposting oleh Petisi Warganegara NKRI untuk Papua pada
Sunday News, 17 Maret 2013, yaitu situasi sebelum kapitalisme global menyentuh
Papua dan merusak kehidupan berbangsa di tanah Papua.
Orang Papua terbuka kepada saudara sendiri membangun daerah bersama, termasuk untuk kaum pendatang. Prinsip "kesetaraan" sangat kuat muncul dalam kelembutan hati basudara asli Papua. Prinsip "kesetaraan" tampil dalam bentuk pertukaran sumber daya alam yang diolah secara terpisah tetapi digunakan ketika terjadi tukar menukar termasuk penjualan sesudah tercapai pemenuhan suplai bagi kebutuhan keluarga sehingga dimungkinkan untuk ditawarkan kepada pasar.
Menerima Papua sebagai bagian dari daerah dan etnisitas yang membuka pintu kepada warganegara NKRI dari berbagai daerah lain mencari kehidupan di sana, adalah bagian dari tanda penghormatan kepada Papua. Inilah tanda tukar menukar yang menunjukkan "kesetaraan" di antara orang asli Papua dengan warganegara NKRI pendatang di tanah Papua. Semua orang yang tinggal di tanah Papua, secara otomatis adalah orang Papua sekalipun mereka berasal dari suku bangsa lainnya di seluruh Indonesia.
Orang Papua terbuka kepada saudara sendiri membangun daerah bersama, termasuk untuk kaum pendatang. Prinsip "kesetaraan" sangat kuat muncul dalam kelembutan hati basudara asli Papua. Prinsip "kesetaraan" tampil dalam bentuk pertukaran sumber daya alam yang diolah secara terpisah tetapi digunakan ketika terjadi tukar menukar termasuk penjualan sesudah tercapai pemenuhan suplai bagi kebutuhan keluarga sehingga dimungkinkan untuk ditawarkan kepada pasar.
Menerima Papua sebagai bagian dari daerah dan etnisitas yang membuka pintu kepada warganegara NKRI dari berbagai daerah lain mencari kehidupan di sana, adalah bagian dari tanda penghormatan kepada Papua. Inilah tanda tukar menukar yang menunjukkan "kesetaraan" di antara orang asli Papua dengan warganegara NKRI pendatang di tanah Papua. Semua orang yang tinggal di tanah Papua, secara otomatis adalah orang Papua sekalipun mereka berasal dari suku bangsa lainnya di seluruh Indonesia.
Penerimaan tentang keberadaan penyebutan orang Papua untuk baik penduduk
asli maupun pendatang harus diikuti dengan kesediaan untuk mengatur kebijakan
ekonomi yang berdampak kepada pencapaian keadilan dan kesejahteraan kepada
semua orang, terutama basudara asli Papua. Di sinilah peran masyarakat sipil di
Papua untuk bekerja bersama menurunkan kebijakan publik demi kebaikan bersama. Tetapi dasar kebaikan bersama ini harus mengandung prinsip perlindungan, pemberdayaan dan pemihakan kepada orang asli Papua sebagaimana tercermin pada kebijakan Negara dalam UU 21 tahun 2021 Otsus Papua. Kerangka
dasar inilah harusnya menjadi indikator dalam membangun pemahaman tentang wujud
perdamaian yang ingin dicapai bersama di tanah Papua.
Petisi Warganegara NKRI untuk Papua mengucapkan selamat kepada
Pastor Dr. Neles Tebay,
Koordinator Jaringan Damai Papua yang sudah memulainya dengan mempertemukan
berbagai forum masyarakat sipil di Papua untuk mewujudkan Indikator Papua Tanah
Damai sebagai prasyaratan mendorong pemerintah RI melakukan dialog dengan
basudara Papua.
Artikel-artikel terkait dengan upaya
mencari indikator perdamaian di Papua bisa dilihat langsung pada website dari Aliansi
Demokrasi untuk Papua www.aldp.papua.com
Salam amalulukee.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar