Petisi Warganegara NKRI untuk Papua dalam Morning News (22 Maret 2013)
Papua terus mengetuk pintu hati Presiden SBY
Papua terus mengetuk pintu hati Presiden SBY
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Komarudin Wotubun sebagai wakil rakyat menghitung janji
Presiden SBY untuk menyelesaikan konflik Papua (Kompas, 20 Maret 2013). "Janji tinggal janji, sekali
lancung ke ujian, seumur hidup tidak akan dipercaya". Wotubun seperti halnya semua basudara Papua
dan juga warganegara NKRI lainnya sekarang ini sedang meragukan maksud baik
Presiden SBY menyelenggarakan Dialog Papua Damai. Ketika keraguan makin besar,
apakah kemudian basudara Papua dan warganegara NKRI patah arang, putus asa.
Pemerintah SBY bisa menelantarkan janjinya, tetapi kalifah terus berjalan.
Basudara Papua adalah kalifah, pemimpin yang terus perlu
memberikan dorongan kepada pemerintah RI untuk menuntaskan “kasus” Papua. Petisi Warganegara NKRI untuk Papua
memperhatikan dengan cermat upaya-upaya basudara Papua menolak
penelantaran. Sejarah Papua mulai
ditulis dari perspektif basudara Papua sendiri. Buku-buku diterbitkan.
Tulisan-tulisan di koran-koran datang hilir berganti. Tulisan-tulisan di
internet membanjiri. Papua ada di
mana-mana. Memang seolah-olah Presiden SBY sedang melupakan, tetapi hutang
adalah hutang, sehingga Presiden SBY selalu terganggu dengan bayang2 Papua.
Petisi Warganegara NKRI untuk Papua malahan berpikir
sebaliknya, dari pada melupakan, menelantarkan, sebaiknya Presiden SBY
memfasilitasi Dialog Papua Damai. Papua adalah “takdir” semua presiden RI
dimulai dari Gus Dur ketika menerima 100 wakil Papua yang meminta hak-haknya
dari pemerintah RI. Presiden Megawati menandatangani UU Non 21 Tahun 2001,
Otsus Papua dengan kekuatan perlindungan, pembelaan dan pemihakan kepada orang
asli Papua, tetapi sekaligus membagi-bagi Papua
tanpa pertimbangan dari basudara Papua sendiri.
Mungkin inilah “takdir” Presiden SBY menyatukan kembali
Papua untuk menegakkan harkat dan martabatnya.
Sebagai tokoh internasional, tokoh perdamaian seperti diakui oleh dunia,
Presiden SBY harus menunjukkan kepada bangsa dan negaranya komitmen perdamaian
yang menjadi bagian dari kepemimpinannya untuk menyelesaikan konflik
Papua. Kepentingan berbagai golongan, baik
di dalam negeri dan luar negeri terhadap pengelolaan SDA Papua dan dampaknya
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional tidak akan pernah pupus. Kepentingan-kepentingan
ini tidak bisa menggunakan sekedar legitimasi dalam nama negara RI untuk
melindungi kebutuhan-kebutuhan pribadi setiap insan yang terlibat di dalamnya
tanpa mencapai kesejahteraan, keadilan dan perdamaian bagi basudara asli Papua.
Misalkan peluncuran Inpres No 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri
yang tujuannya di tingkat operasional terkait dengan pengelolaan bersama antara
TNI dan Polri terhadap sarana prasarana keamanan tidak bisa dipergunakan
sebagai alasan untuk menebarkan militerisasi di mana-mana. Semangat kebijakan presiden ini ternyata
bertentangan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.VI/MPR-RI/2000
tentang Pemisahan TNI dan Polri.
Pengaturan selanjutnya tentang peran TNI dan Polri diatur dalam TAP
No.VII/MPR-RI/2000, di mana TNI berperan di bidang pertahanan dan tugas Polri
di bidang keamanan.
Kajian akademis seperti dilakukan oleh TIM LIPI tentang
relasi antara kebijakan publik seperti terlihat dalam kedua Ketetapan MPR terkait dengan TNI-Polri berkesimpulan
bahwa pengaturan relasi kedua institusi keamanan ini mengalami tumpang tindih
di tingkat operasional. Dampaknya bisa
terlihat langsung dari cara penanganan konflik-konflik yang terjadi di Papua, Ambon, Maluku Tengah,
Maluku Utara, Poso, dan Batam (lihat Ikrar Nusa Bakhti dll, 2004).
Argumentasi riset ini mengabaikan kenyataan
bahwa kekacauan penanganan konflik di Papua, Maluku dan Poso sudah terjadi
sebelum TAP MPR No VI dan VII Tahun 2000 dikeluarkan. Keputusan politik bangsa
RI untuk menerbitkan kedua TAP MPR tersebut sebenarnya dipicu oleh
tindakan-tindakan operasional di lapangan, di daerah-daerah konflik yang
nyata-nyata, warga masyarakat melihat kelumpuhan TNI dan Polri dalam membangun
perdamaian. Misalkan beredarnya senjata-senjata
laras panjang di antara kelompok-kelompok masyarakat menunjukkan kepemilikan persenjataan yang
hanya dikuasai oleh institusi keamanan (Adeney-Risakotta, 2005).
Mempertimbangkan
semua temuan yang di lapangan, sebagai realitas operasional dan kaitannya
dengan kebijakan publik yang dikeluarkan untuk tujuan melindungi warganegara
NKRI, maka upaya perdamaian harus terus dilakukan. Upaya ini adalah tugas dari
Presiden RI. Peran Presiden RI, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas AD,
AL, dan AU diatur pada pasal 10 UUD 1945 dengan turunan perundangan
penguatannya pada UU No.20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan Negara RI.
Menurut Petisi
Warganegara NKRI untuk Papua, Presiden SBY, ketokohan internasionalnya dalam perdamaian selayaknya diimplementasikan dalam fungsinya sebagai pemegang
kekuasaan keamanan tertinggi negara dengan mengedepankan pengelolaan konflik
yang berharkat dan bermartabat sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan
UUD 1945 daripada sekedar mencampurkan kepentingan –kepentingan institusi yang
sempit.
Marilah
warganegara NKRI untuk Papua memberikan dukungan dan kesempatan sekali lagi
kepada Presiden SBY untuk menggunakan kepemimpinan, kenegarawaan dan
kekalifahannya dalam menegakkan keadilan,
kesejahteraan dan perdamaian di Papua.
Salam
amalulukee.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar