Persahabatan, Refleksi Enam Windu
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Rumah sepi sekarang. Suara tawa riuh masih tertinggal dalam
kenangan. Anak-anak makan sampai tertidur. Orang tua mereka memboyong ke
kenderaan masing-masing pulang ke rumahnya. Tinggal kami sendiri. Sambil duduk
di ayunan di pendopo bersama suami, saya tersenyum karena senang anak-anak
gembira mencicipi kreasi baru.
Sudah kebiasaan, saya membuat menu yang aneh, sehingga semua
mau coba sampai kekenyangan. Kue aneh itu bukan kue HUT karena tidak diberikan
lilin. Kue chiffon yang dilapisi whipping cream dengan potongan melon yang
dipotong kecil-kecil bisa ditaburi sedikit keju kalau suka kombinasi manis asin.
Enak sekali! Segar. Terbayang lagi ketika saya menikmati appetizer di Roma,
"Prosciutto e melone", yaitu melon dibalut sepotong ham tipis, atau sepotong keju swiss. Jadi untuk kue itu, saya
menyebutnya kue salyu melon. Sebenarnya, kue semacam ini disajikan dengan
strawberry, diberi nama snow strawberry cake. Tapi saya tidak ke pasar Patuk di
tengah kota untuk mencari strawberry. Saya hanya ke supermarket terdekat sore
sesudah kembali dari kantor, mampir membeli melon.
Suami, pak Bernie suka sekali kue lembut ini. Ia bertanya
tentang subsitusi melon, dari mana
idenya. Saya menjelaskan tentang ingatan ketika di Roma. Pak Bernie tersenyum, ingat waktu kami tinggal di Amsterdam ketika saya menyelesaikan penulisan disertasi.
Perjalanan 10 tahun lalu membekas, dan bisa dirayakan kembali di sini, melalui
modifikasi makanan yang enak.
Sudah jam 23.00 ketika kami masih bersama bercerita di ayunan sambil kaki panjang pak
Bernie mengayuh sehingga ayunan bergerak ke muka belakang. Kami sekarang makin
tua. Kami juga bersahabat, teman sharing tetapi sekaligus sangat menikmati
melakukan kerja sendiri-sendiri. Kadang-kadang saya harus kerja terpisah,
begitu juga pak Bernie, tetapi kami melakukannya dengan bersyukur. Menjadi
sahabat adalah membebaskan mereka menjadi diri sendiri. Saya menangkap makna
itu!
Sekalipun seolah-olah sudah mengerti, saya meminta pak
Bernie bercerita tentang Aristoteles. Aristoteles, filsuf Yunani yang menulis
buku tentang Etika Nicodemus. Tentang persahabatan, Aristoteles pernah
bertanya: Apa itu suatu persahabatan? Jawabannya: “Persahabatan adalah satu
jiwa yang tinggal pada dua tubuh". Persahabatan
bertumbuh. Dimulai dari makna persahabatan yang menekankan saling keuntungan,
ke persahabatan sebagai upaya untuk menolong mereka yang lemah, sampai kepada
pengertian persahabatan sebagai upaya untuk saling membutuhkan demi
persahabatan itu sendiri.
Persahabatan ketiga sangat ideal karena dari kepentingan
persahabatan melahirkan ketulusan hati. Pencapaian tahap ke-3 dari persahabatan
terjadi apabila karakter seseorang untuk menghargai persahabatan dilatih terus
menerus. Karakter yang diwujudkan ini
adalah hasil dari praktek nilai tsb yang dilatih setiap saat dalam kehidupan
sehari-hari. Sehingga nilai yang
dipercayai itu menjadi bagian dari kebaikan yang menonjol dalam
karakter diri seseorang.
Persahabatan inilah juga yang saya temukan dalam keakraban dengan
berbagai orang di mana saya bertemu dan bekerja bersama. Tiga tingkatan
persahabatan sering kali tampil saling bergantian. Semakin mendalam saya masuk
dalam kehidupan seseorang, semakin terasa kesungguhan persahabatan sebagai
komitmen mendasar seseorang yang menyentuh sanubari saya sampai saya bisa
melihat seolah-olah Sang Pencipta ada di sana. Saya ingat kata2 Firman: "Kamu adalah sahabat saya apabila melakukan kepada salah satu dari mereka yang hina ini". Pada tahap ini, persahabatan
adalah benar dikatakan Aristoteles, jiwa yang satu dalam tubuh yang berbeda.
Ketika pak Bernie pergi tidur saya menulis perasaan saya
ini. Saya ingin menulis kepada teman-teman saya di Facebook, seperti keluarga,
masing-masing menebarkan persahabatan yang membuat saya bisa menatap dengan
bangga. Saya punya teman-teman sevisi, mereka yang merasakan perjuangan bersama
sesama warganegara Indonesia, turut prihatin dengan perkembangan demi
perkembangan kehidupan dan pengetahuannya yang dibagikan bersama. Kepiluaan
karena konflik-konflik sosial, upaya untuk menegakkan keadilan, kesetaraan di
antara sesama anak bangsa, telah menjadikan kami sehati, sejiwa sekalipun kami
adalah tetap keunikan dari sistem diri yang terpisah.
Perjuangan kedepan masih panjang. Saya bisa melihat jalan ke
sana, dari situasi saat ini. Tidak mungkin kita sekedar merasa “kasihan”,
sayang kepada negeri sendiri, sesama manusia. Rumusan kata “sayang", "kepedulian"
dan lain sejenisnya perlu menemukan bentuk dalam perjuangan yang lebih konkrit,
termasuk keharusan untuk menggali rumusan-rumusan hukum yang sudah baku,
menjadikannya relevan dengan persoalan yang dihadapi bangsa saat ini.
Saya bersyukur untuk perjalanan ini yang dibimbing sendiri
oleh Tuhan sehingga saya bisa bersama-sama dengan teman2 dan saudara/i
berjalan, bersisian meneruskan komitmen untuk terus berjalan, tidak dengan
berlari sekenjang-kenjangnya, tidak juga dengan melarikan diri karena
ketakutan, tetapi karena kesediaan menghadapinya, tanpa rasa takut. Segala sesuatu
ada waktu, dari persahabatan, diberikan ruang untuk menjadi diri sendiri tanpa
rasa takut. Tanpa takut, dalam tangan Tuhan, saya berjalan, berjalan terus
menaburkan benih-benih kehidupan di muka bumi ini.
Terima kasih semesta untuk kesediaannya menerima saya,
bahkan masih terus mengundang saya untuk melihat keajaiban dirimu. Amin.
Terima kasih teman2. Terima kasih semua untuk komitmen
teman2, dan kata-kata bijaksana, doa yang disampaikan di hari HUT saya, enam
windu sudah tiba. Salam kasih (Farsijana Adeney-Risakotta)
Yogyakarta, 11-2-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar