Oleh
Farsijana Adeney-Risakotta
Baru-baru ini Ketua Kaukus Papua di Parlemen RI, Paskalis Kossay, melakukan pertemuan dengan Menkopolhukam untuk meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menuntaskan evaluasi kinerja pelaksanaan Otsus Papua (Sinar Harapan, 7 Februari 2013). Seperti dilaporkan oleh Tabloid Jubi online, 9 November 2012, Kaukus Papua di Parlemen RI merupakan gabungan dari anggota DPD dan DPR-RI dari Papua. Otsus Papua dikeluarkan pada jaman pemerintahan Presiden Megawati melalui UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua. UU disahkan oleh DPR RI yang menjalankan tugas pengawasannya ketika Pemerintah mengimplimentasikan pelaksanaan UU Otsus tsb.
Dalam pertemuan dengan Menkopolhukum, Paskalis Kossay menegaskan bahwa selama 11 tahun berlangsung pemerintah belum mengevaluasi pelaksanaan UU Otsus Papua. Pemahaman yang dimaksudkan dengan evaluasi adalah penilaian yang terencana secara terus menerus. Adapun aspek-aspek evaluasi dan monitoring harus memenuhi beberapa indikator. Pertama, indikator terkait dengan aksesitas masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan. Kedua, indikator partisipatif pelaksanaan yang melibatkan semua unsur masyarakat seperti disebutkan dalam UU. Ketiga, indikator kemanfaatan kegiatan-kegiatan, serta keempat, indikator efisiensi dan relevansi program yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat sebagaimana yang dijelaskan dalam UU Otsus Papua tsb.
UU adalah produk DPR RI yang bersifat nasional sehingga pengawalannya juga menjadi tanggungjawab bukan saja oleh masyarakat Papua tetapi juga seluruh warganegara NKRI. Idealnya pelaksanaan UU Otsus dievaluasi melalui turunan perundangan yang dihasilkannya. Misalkan diperlukan evaluasi terkait dengan efektifitas Keppres Pembentukan Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan di Papua Barat yang ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 20 September 2011. Menurut hasil penelitian dari ELSHAM Papua yang bisa diakses dalam blog ini dengan judul artikel “Mari Kitorang Bertanggungjawab terhadap Papua”, dampak dari Keppres ini tidak dirasakan langsung oleh masyarakat, karena pendirian infrastruktur di Papua ternyata sedikit dimanfaatkan langsung oleh pendudukan, yaitu orang Papua asli.
Percepatan Pembangunan di Papua ternyata hanya memberikan manfaat kepada pendatang yang menurut beberapa narasumber yang saya wawancarai, cenderung berada di Papua beberapa minggu saja kemudian kembali ke Jawa sampai menunggu pembayaran gaji bulan berikutnya. Papua ternyata menjadi sumber geruk keuntungan dari sesama warganegara NKRI yang dedikasi dan komitmennya untuk membangun Papua sangat dipertanyakan.
Dimulai dengan kebijakan
Pemerintah Megawati yang menerbitkan Instruksi Presiden tahun 2003 terkait
dengan pemekaran tiga Papua menjadi tiga propinsi. Kebijakan Pemekaran ini
tidak mendapat persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua
(DPRP).
Motivasi pemerintah RI
melakukan pemekaran propinsi di tanah Papua karena alasan kekerasan. Kekerasan yang berlangsung di Papua juga belum tuntas untuk
diselesaikan oleh Pemerintah SBY. Ada sekitar 22 kasus kekerasan di Papua pada
tahun 2012, dan di tahun 2011 ada sekitar 65 kasus. Kasus-kasus ini terjadi
dengan pemicu adalah polisi maupun TNI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar