Bagian II: Nelson Mandela dan Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi untuk Indonesia, khususnya Papua
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Nelson Mandela masih tetap segar ketika dibaringkan kembali ke dalam rahim bumi sesudah 10 hari
sejak kematiannya, warga dunia, negara Afrika Selatan, Propinsi Pretoria, Desa
Qunu merayakan kehidupannya. Konsistensinya
dalam perjuangan, ketabahan melewati masa penghukuman, kejeliannya untuk
mengerti dari mana perubahan harus dimulai, keluasannya untuk menguakkan
kekuasaan yang tersembunyi pada diri manusia, telah menghantarnya sebagai
pemimpin yang memberikan harapan bagi perjalanan bersama di dunia dalam era
milinium. Kalau diumpamakan, Nelson
Mandela adalah seorang seniman yang tahu membuat karya kemudian membongkar
sesudah berpameran. Seniman pada umumnya sangat egoistis untuk menghilangkan
karyanya. Nelson Mandela bukan memperlakukan konflik kekuasaan, penindasan
sebagai bagian dari keahliannya yang dapat memasarkan cara penyelesaian masalah
berbangsa. Ini adalah tentang cara hidup. Jalannya membuat hidup lebih baik di
muka bumi ini yang adalah suatu keindahan luar biasa.
Keahlian itu ada pada warga masyarakat, bukan pada dirinya.
Nelson Mandela menciptakan sistem yang memungkinkan masyarakat mengisinya
dengan kemampuan mereka dalam penyelesaian masalah yang diakibatkan oleh
politik appartheid. Kemampuannya untuk membangun sistem bukan muncul dari suatu
ide abstrak hasil bergolakkannya sendiri yang dituangkan dalam selembaran
kertas. Kebijakan-kebijakan yang Nelson Mandela hasilkan adalah produk dari perjumpaannya
dengan warga Afrika Selatan di mana-mana dalam perjalanannya untuk mengerti apa
yang sedang terjadi dengan mereka. Kemampuannya untuk menghadirkan penderitaan
rakyat sebagai perspektif dalam membuat kebijakan membuat Nelson Mandela tampil
sebagai seorang pemimpin yang bukan saja mengubah kalangan warga kulit putih
Afrikaans tetapi juga warga Afrika yang ingin menegakkan dominasi di atas tanah
yang diklaim sebagai milik nenek moyangnya.
Saya sudah menjelaskan tentang kondisi masyarakat ketika pengalihan
kekuasaan terjadi di Afrika Selatan. Pengalihan kekuasaan sebagai topik analisis
dalam studi hubungan internasional dan politik seringkali tampil dengan
menggambarkan akibat yang berakhir pada kekerasan massa. Sekarang ini kekerasan
massa sedang terjadi di Syria yang melibatkan perang saudara. Banyak analisis
menyebutkan tentang peran politik internasional yang sering memperkeruhkan
proses negosiasi politik di dalam suatu negara yang sedang menghadapi krisis
pengalihan kekuasaan. Kebijakan Amerika Serikat paling banyak disoroti dalam
pengalihan kekuasaan di mana-mana di seluruh dunia. Keterlibatan Amerika
Serikat dalam politik di Afrika Selatan juga sangat besar. Saya pikir, Amerika Serikat sangat bersyukur
karena sekalipun Nelson Mandela bersimpati kepada partai komunis, tetapi
memutuskan mengorganisir advokasi anti-appartheidnya melalui ANC, sehingga
dukungan Amerika Serikat mengalir kepadanya sangat besar. Bahkan kemampuan
Nelson Mandela untuk mengalihankan kekuasaan tanpa pertumpahan darah dan
diikuti dengan melakukan proses rekonsiliasi nasional, adalah sebenarnya mimpi
dari idealisme Amerika Serikat yang di dalam negerinya sendiri proses ini belum
sepenuh berjalan.
Tetapi ketika pengalihan kekuasaan sedang berlangsung di
Afrika Selatan, menimbulkan keresahan dan ketakutan kepada kelompok minoritas terhadap
kemungkinan tuntutan kelompok Afrika atas pengembalian tanah-tanah produk yang
dikelola oleh kelompok-kelompok minoritas. Tetapi ternyata kemenangan Nelson
Mandela tidak menghasilkan pengalihan kekuasaan yang menjurus kepada perang
saudara. Dalam periode sesudah Nelson Mandela keluar dari penjara sebelum
pemilihan presiden dilakukan, ada peristiwa pembunuhan yang menurut Nelson Mandela
hendak diarahkan kepada perang saudara. Ketika itu, seorang Afrika dibunuh.
Tetapi Nelson Mandela berjalan menjumpai masyarakat dan segera melakukan
konferensi press untuk menyampaikan belangsungkawa terhadap peristiwa yang
terjadi dan meminta masyarakat untuk tenang. Masyarakat diminta untuk tidak
terpicu dengan isu-isu yang menghasut mereka. Kelompok minoritas diminta untuk
tenang dan meneruskan produksi yang sedang berlangsung sampai menyesuaikan
dengan sistem regulasi yang berkembang untuk menghadirkan perspektif kelompok
Afrikan dalam kebijakan negara. Tetapi yang paling penting di atas semuanya
adalah setiap warganegara diberikan kesepatan untuk memilih, one person one
vote.
Ketika Nelson Mandela sedang di penjara, seorang isteri dari
temannya, Joe Slovo, Ruth First meninggal dari bom yang diledakkan ketika
mereka sedang terlibat dalam demonstasi penolakan apparteid. Ketika itu, anak
Ruth, Gillian Slove baru berusia 12
tahun. Ia dipindahkan ke London, Inggeris di mana ia dibesarkan. Ayahnya, Joe
Slove meneruskan perjuangan gerakan anti appartheid sebagai pemimpin South
Africa Communist Party. Joe Slove adalah salah satu teman Nelson Mandela,
sebagai seorang pengacara muda ketika mulai memasuki Johannesburg. Gillian Slove menulis tentang cerita perjuangan
ibunya, termasuk penderitaan yang dialami oleh warga Afrika yang digambarkan
sangat terperinci dan menggugah sanubari. Red Dust adalah novel yang dipakai
oleh Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran ketika mereka mulai menegakkan proses
penghentian lingkaran kekerasan dalam masyarakat di Afrika Selatan. Gillian
Slove terlibat sebagai anggota keluarga yang memproses kematian Ruth First
melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Gillian Slove menggambarkan
ketegangan dan kemarahan dirinya ketika harus bertemu dengan Craig Williamson
dalam persidangan yang dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika
Selatan sebelum menentukan amnesti kepada pembunuh ibunya. Keluarga Slove,
menerima keputusan amnesti kepada pembunuh Ruth First sebagai bagian dari
pengampunan yang diberikan oleh keluarga kepada negara yang diteruskan kepada
Craig Williamson, sesudah mendengar motivasi pembunuhan yang direncanakan
tersebut.
Jadi apa sebenarnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi? Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk dengan
menerapkan prinsip-prinsip Hak-Hak Azazi yang ditegakkan oleh PBB kepada
seluruh bangsa. Penerapan HAM untuk menghindari pemberlakuan kepada semua
situasi yang menghasilkan adanya tindakan diskriminasi sampai kepada kekerasan
dari seseorang atau kelompok kepada seseorang lain atau kelompok lain. Misalkan
seorang yang dituduh melakukan subversif, haknya sebagai manusia harus dilindungi. Seorang tentara yang atas nama negara
melakukan pembunuh sewenang-wenang kepada rakyat, haknya juga harus
dilindungi. Melindungi hak seseorang
bukan meniadakan kemungkinan seseorang atau kelompok tertentu untuk dihukum.
Penghukuman seseorang harus dilewati melalui proses pengadilan yang
memungkinkan keadilan bisa dibukakan. Dalam pengalihan kekuasaan seperti
terjadi di Afrika Selatan, kemungkinan
untuk penegakkan keadilan dan hukum bisa diselewengkan atau dapat menimbulkan
munculnya ketegangan baru dalam masyarakat.
Institusi pengadilan yang tersedia seringkali belum siap untuk melakukan
persidangan yang memungkinkan orang-orang yang terlibat dalam tindakan
kekerasan bisa menerima hukum yang diputuskan kepadanya. Sebaliknya mereka yang
memproses kasus-kasus pelanggaran HAM pada negara seringkali tidak puas dengan
keputusan yang dibuat oleh pengadilan.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk di Afrika Selatan
untuk pertama-tama bukan sebagai tempat di mana keputusan tentang yang benar
dan salah harus memuaskan mereka yang dirugikan, baik itu negara atau rakyat.
Tujuan pembentukannya adalah untuk mendudukan dalam sejarah bersama, tentang
motivasi-motivasi yang melatarbelakangi terjadi tindakan kekerasan sehingga
menyebabkan pembunuhan, kekerasan seperti perampasan, pelepasan hak-hak sipil
lainnya yang dimilik oleh seorang warganegara. Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi dibentuk untuk membangun kembali kehidupan sebagai sesama
warganegara karena mereka harus hidup bersama-sama sebagai masyarakat di dalam
suatu negara. Itulah sebabnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak
diletakan sebagai bagian dari sistem peradilan yang sudah ada. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibangun terpisah
sebagai lembaga mandiri dari kontrol pemerintah.
Menarik untuk memperhatikan bagaimana Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi di Afrika Selatan bekerja. Sebagai suatu Komisi, keputusan
pembentukannya ditetapkan dalam perundangan yang diputuskan pada parlemen. UU
yang mengatur pelaksanaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebelum ditetapkan
dibahasakan bersama secara bertahap dari masyarakat yang paling terbawah sampai
pada tingkat lembaga-lembaga advokasi yang bekerja dengan masyarakat. Tujuannya
untuk mendengar dari masyarakat terutama kelompok-kelompok yang menginginkan
adanya penyelesaian secara hukum terhadap kasus-kasus kekerasan yang telah
merenggut nyawa anggota keluarga atau masyarakatnya. Inspirasi yang diberikan
oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dari Afrika Selatan ketika diterapkan di
negara-negara lain tampil berbeda-beda disesuaikan dengan kebutuhan dan sejarah
kekerasan yang terjadi padanya.
Saat ini ada 26 negara-negara di dunia yang telah mengadopsi
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan untuk menyelesaikan konflik
yang terjadi dalam sejarah pengalihan kekuasaan di bangsanya masing-masing.
Indonesia salah satunya yang telah mengadopsi. Saya ingin lihat secara cepat
apa yang telah dilakukan oleh Indonesia dan bagaimana hubungannya Papua.
Ada sedikitnya empat tulisan yang menarik bisa diperdalam
lebih jauh terkait dengan pembahasan mengenai
Komisi Rekonsiliasi dan Perdamaian di Indonesia. Tulisan-tulisan ini diterbitkan dari praktek
advokasi hukum dan HAM yang dilakukan dalam penegakan keadilan di
Indonesia. Ada dua lembaga penting yang
saya maksudkan yaitu Kontras dan Elsham yang bersama dengan lembaga masyarakat
sipil lainnya sesudah gerakan Reformasi memberikan masukan kepada pemerintah
tentang pentingnya pembentukan Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran. Pemerintah
melalui TAP MPR RI menetapkan perlunya melakukan rekonsiliasi nasional. Pemerintah menetapkan UU No.27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi yang diharapkan bisa memberikan rasa keadilan kepada persoalan
kebangsaan sejak peristiwa G30 PKI, Tanjung Priok, Trisakti, Aceh dan Papua.
Sayangnya, upaya
lembaga sipil masyarakat (KONTRAS) untuk meminta peninjauan UU tersebut
terhadap ayat yang dirasakan tidak adil, malahan akhirnya menyebabkan Mahkamah
Konstitusi menghapuskan UU tsb. Tulisan Elsham terkait dengan pentingnya
dibangun kembali upaya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sesudah
dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan kajian yang sangat penting. Dua
kajian lainnya berangkat dari latar belakang akademis sebagai kajian hukum yang
membantu masyarakat untuk mengerti tentang posisi Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi sebagai bagian dari persoalan hukum di Indonesia. Momentum di mana Nelson Mandela meninggal
telah mengangkat kembali isu Komisi Kebenaran dan Kebenaran sebagai lembaga
mandiri yang penting harus dibentuk lagi oleh pemerintah Indonesia.
Seperti saya sudah menjelaskan dalam bagian pertama dari
tulisan saya tentang Nelson Mandela, tulisan ini adalah kelanjutan darinya.
Saya menulis Nelson Mandela terutama dalam kaitan dengan advokasi yang saya dan
sesama warganegara NKRI sedang lakukan untuk penegakkan keadilan dan hukum di
tanah Papua. Di atas semua kepentingan, tanpa menyesampingkan berbagai
perdebatan tentang bentuk rekonsiliasi dan kebenaran yang cocok untuk
Indonesia, seperti yang penah dilakukan antara Gunawan Muhammad dan Pramudya
Ananta Toer, Franz Magnis Suseno dengan Sulastomo yang melibatkan Martin
Aleida. Artikel dari Franz Magnis Suseno dan Sulastomo menanggapi upaya
pemerintah SBY untuk meminta maaf kepada mantan Tapol, diterbitkan oleh Kompas
cetak, tetapi tulisan Martin Aleida dianggap terlalu terbuka sehingga hanya
bisa tampil pada rublik media online yang mendiskusikan kebudayaan dan politik.
Diskusi Gunawan Muhammad dengan Pramudya
Anantar Toer juga merupakan materi online yang terbit lebih awal ketika
pemerintah Gus Dur menggagaskan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sekaligus
memulai proses permohonan maaf kepada mantan Tapol.
Pengulangan diskusi terbuka terhadap pentingan rekonsiliasi
nasional, menurut saya adalah dua hal yang berbeda dengan pengadaan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi. Diskusi
akademik untuk mengerti tentang praktek rekonsiliasi di Indonesia tiba pada
kesimpulan bahwa rekonsiliasi yang dimaksudkan berbeda dengan yang dipraktekkan
dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan. Ketika Konflik
Maluku dan Aceh masih bergema, wacana tentang rekonsiliasi digali dari praktek masyarakat yaitu baku bae (Maluku)
dan Islah (Aceh). Penggunaan Islah dipraktekkan juga untuk proses rekonsiliasi
kasus Tangjung Priok. Menurut saya,
berbagai peristilahan rekonsiliasi yang sesuai dengan praktek dalam kehidupan
bermasyarakat di Indonesia bisa dipergunakan sejauh pengaturannya diatur secara
hukum.
UU No.27 Tahun 2004 memang sudah dihapus oleh Mahkamah
Konstitusi yang diminta oleh lembaga sipil masyarakat untuk melakukan judicial
review terhadap beberapa ayat pada UU tsb.
Penolakan ayat terutama terkait dengan Amnesti. Seperti sudah saya
jelaskan di atas, merunjuk pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika
Selatan, kemungkinan pemberian hukum dalam bentuk amnesti dimungkinkan secara
hukum. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diberikan wewenang untuk menggali
kebenaran dari peristiwa kekerasan yang terjadi akan berkonsultasi dengan
berbagai kelompok lainnya tentang keputusan yang harus diberikan kepada
terdakwa sesuai dengan tindakan berdasarkan motivasi yang mendorongnya. Dalam
kasus kekerasan massa yang terjadi di antara masyarakat, ada motivasi bersama yang
terbangun bertahap. Misalnya kekerasan massa di Maluku Utara bisa digambarkan
sebagai peningkatan ketakutan dan ekskalasi teror yang disuburkan dalam
masyarakat. Siapakah melakukannya? Saya mendiskusikan panjang lebar tentang hal
ini (Adeney-Risakotta, 2005). Tetapi dalam sejarah konflik di Indonesia, ada
kelompok yang tidak pernah melawan, tetapi dibantai. Misalkan warganegara yang
dikatakan terlibat dengan partai politik komunis, peristiwa 1965-1967, tetapi
juga dalam masa Reformasi, kelompok Kristen yang dibantai di Ternate dan
Tidore. Mereka ini adalah kelompok yang tidak pernah melakukan perlawanan balik
di tempat di mana mereka dibantai.
Saya ingin tegaskan argumentasi bahwa Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi adalah bukan semata-mata proses hukum menghukum. Tujuan utama dari
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, adalah menjaminkan keberlangsung kehidupan
bersama dalam masyarakat dengan memotong lingkaran kekerasan. Perspektif ini
yang sering kali hilang dari diskusi tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
di Indonesia. Ketika saya memeriksan UU
27 Tahun 2004, perspektif ini juga tidak muncul. TAP MPR tentang rekonsiliasi
nasional juga tidak menyinggung tentangnya. Padahal tujuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
adalah mendorong proses politik dalam negara secara terbuka dan representatif
dengan mengurangi kemungkinan penggunaan kebijakan negara atau kelompok yang
dominan untuk memobilisasi kekerasan yang mengakibatkan pembunuhan dan
pembantai secara masal.
Di Indonesia, menurut saya, ada dua UU yang masih mempunyai
kekuatan hukum untuk melaksanakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sekalipun
UU No.27 Tahun 2004 sudah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Pertama adalah
UU No.21 Tahun 2001, pasal 46, ayat 1-3, yaitu Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi dalam UU Otonomi Khusus Papua. Perumusan tujuan dari Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi pada UU Otonomi Khusus Papua berbeda dengan yang ditetapkan dalam
UU Pemerintahan Aceh. Kedua adalah UU
No. 11 Tahun 2006 tentang Undang-Undang Pemerintahan Aceh untuk menggantikan UU
otonomi Khusus dan hasil kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan
Gerakan Aceh Merdeka yang dikenal dengan MoU Helsinki.
Bagaimana perbedaannya dan apa yang bisa dilakukan, saya
akan membahas pada bagian berikut.
Bagian III: Pengakuan Pemerintah Indonesia, Relavansi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
bagi pelanggaran HAM di Papua.
http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2013/12/pengakuan-pemerintah-indonesia-dan.html
Bagian I: Selamat Jalan Nelson Mandela, Bapak Pelangi Manusia
http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2013/12/bagian-i-selamat-jalan-nelson-mandela.html
http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2013/12/pengakuan-pemerintah-indonesia-dan.html
Bagian I: Selamat Jalan Nelson Mandela, Bapak Pelangi Manusia
http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2013/12/bagian-i-selamat-jalan-nelson-mandela.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar