Merayakan Hari Ibu, Menguraikan Politik Perempuan Indonesia
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Hari ini, sebelum berlalu, tanggal 22 Desember adalah hari
Ibu. Saya gelisah dari kemarin untuk menuangkan suara saya yang mengganggu
tidur. California tidak seperti Boston, sehingga sesudah semua orang berbaring
dibawah selimutnya, heather dimatikan. Saya sudah bangun pagi-pagi tetapi
terlalu dingin untuk mulai menulis. Siang ini sesudah selesai menghadiri ibadah
minggu advent ke-4 di First Presbyterian Church di Berkeley, saya minta suami
membawa saya kembali ke rumah supaya bisa memulai menulis tulisan ini. Sementara menulis saya harus berhenti untuk
bergabung dengan keluarga. Kegelisahan
saya adalah bagaimana saya memaknai hari Ibu tahun ini?
Tahun lalu, pada hari Ibu, saya menyelenggarakan Sarasehan
di kantor DPRD untuk menghadirkan wakil rakyat, terutama legislator perempuan,
senator dari Yogyakarta yaitu Gusti Kanjen Ratu Hemas, dan masyarakat sipil di
Yogyakarta untuk membahas bersama-sama topik “Pemberdayaan masyarakat sipil dan
wakil rakyat dalam pemberantasan korupsi”. Tujuan penyelenggaraan kegiatan
tersebut adalah mendorong komitmen wakil rakyat untuk membangun forum
masyarakat sipil yang secara bersama sehingga bisa mengontrol kerja-kerja
legislator dalam penganggaran dan pelaksanaan program yang dilakukan oleh
pemerintah.
Tahun ini saya berada di Amerika Serikat
sehingga kesempatan sekarang saya ingin membandingkan perayaan hari Ibu di sini
dengan yang dilakukan di Indonesia. Di
Amerika Serikat dan negara-negara lain di dunia, perayaan hari Ibu dilakukan
pada minggu ke-2 di bulan Mei. Pada saat
itu perempuan-perempuan yang adalah ibu dalam keluarga diberikan kesempatan
untuk menerima pelayanan dan penguatan dari anggota keluarganya. Biasanya mereka
dibebaskan dari tugas-tugas harian pada hari Ibu. Di Amerika Serikat, keluarga-keluarga tidak
mempunyai pekerja rumah tangga, sehingga pekerjaan domestik dilakukan oleh ibu,
bapak dan anak-anak secara bergantian.
Sementara perayaan hari ibu di Indonesia
terkait dengan perayaan penyelenggaraan Kongres Pertama Perempuan Indonesia
yang berlangsung tahun 1928 di Yogyakarta. Tahun 1928 adalah tahun yang penting
bagi orang-orang Indonesia yang pada saat itu sedang dijajah oleh Belanda.
Pemuda-pemuda yang berasal dari daerah-daerah melakukan Kongres Pemuda dan
menaikan ikrar yang terkenal yang disebut Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober
1928, isinya
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku
bertumpah darah jang satu, tanah Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku
berbangsa jang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Dua bulan kemudian, perempuan-perempuan
yang tergabung dalam berbagai organisasi agama, sekuler melakukan pertemuan
untuk membahas tentang peran perempuan dalam perjuangan pembebasan Indonesia
dari penjajahan Belanda. Organisasi
perempuan yang hadir pada pelaksanaan Kongres Perempuan Pertama berjumlah 30
yang berasal dari Jawa dan Sumatera.
Kongres Perempuan ini menjadi sangat penting karena dilakukan pembahasan
tentang peningkatan pendidikan kepada perempuan dan aksesitas perempuan untuk
belajar. Kongres mendorong supaya pemerintah kolonial memberikan penambahan
sekolah kepada perempuan dan intensif beasiswa supaya perempuan bisa belajar.
Mimpi perempuan-perempuan masa perjuangan
terhadap perempuan Indonesia supaya bisa pintar sehingga mampu membuat
keputusan penting untuk hidupnya.
Apabila perempuan pintar maka kemungkinan mereka terperangkap sebagai
korban poligami bisa dikurangi. Begitu harapan para perempuan peserta Kongres
Pertama Perempuan Indonesia. Kongres Pertama Perempuan Indonesia menjadi anjang
di mana mereka bisa memikirkan persoalan yang ada dalam keluarga yang
menentukan perjalanan bangsanya ke depan.
Kesadaran kesetaraan dalam perempuan
Indonesia tampil kuat sekalipun semangat perjuangan mereka dilakukan tanpa kata
“feminisme”. Perempuan-perempuan dari
berbagai latar belakang berkumpul untuk mencari jalan keluar. Saya bayangkan mereka datang mengendarai
kapal dari Sumatera kemudian melanjutkan dengan kereta api ke Yogyakarta. Perempuan-perempuan di Yogyakarta yang
mempunyai kesempatan untuk mendapat pendidikan melalui pendidikan Taman Siswa
yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara membuka pintu kotanya untuk menerima
perempuan-perempuan dari seluruh Jawa dan Sumatera berkongres. Pendidikan adalah jendela untuk perempuan
bisa mengatasi permasalahan-permasalahan dalam keluarga dan masyarakat.
Penekanan perayaan hari Ibu sebagai suatu
gerakan politik perempuan Indonesia sering kali melupakan tentang peran diri
perempuan sendiri sebagai agen perubahan bagi sesamanya. Perempuan-perempuan Taman Siswa yang dididik
untuk mengerti tentang kekuatan pada dirinya seperti dilakukan dalam metode
Taman Siswa, yaitu menjadi teladan apabila berada diposisi depan, membangun
kemauan apabila berada di tengah dan berada di belakang dengan terus memberikan
dukungan. Suasana pembelajaran yang setara telah menolong perempuan-perempuan
melihat kekuatan pada dirinya sendiri.
Suasana inilah yang mewarnai Kongres Pertama
Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1928. Perbedaan status sosial, agama,
aliran politik tidak menjadi hambatan untuk perempuan duduk bersama membahas
tentang persoalan mereka yaitu kenyataan perempuan lain di seluruh nusantara
yang masih buta huruf. Apabila perempuan
bisa membaca mereka akan bisa terlibat membuat keputusan sendiri. Perempuan
membuat mimpi pada dirinya sendiri selain memberikan tubuhnya dalam pernikahan.
Kekuatan mimpi perempuan akan mengalirkan keindahan apabila perempuan mengerti
keinginan dan mampu menyampaikan kepada keluarga, sesama dan masyarakat di
sekitarnya.
Perempuan-perempuan yang hadir pada
Kongres di Yogyakarta terinspirasi dengan kisah-kisah perempuan lain yang
terlahir dalam masa penjajahan tetapi mampu melakukan perlawanan karena
ketidakadilan yang dilakukan kepada warga di sekitarnya. Kartini, namanya pada waktu itu sudah
terkenal. Kisahnya yang tragis meninggal
sesudah melahirkan dan meninggalkan catatan dirinya yang memberontak terhadap
struktur masyarakat ningrat yang melestarikan poligami digunakan sebagai contoh
untuk mengupas banyak cerita senasib di antara perempuan-perempuan di seluruh
nusantara.
Harapan besar terlihat pada tokoh-tokoh
perempuan dari daerah-daerah yang memimpin perang atas Belanda, Cut Nyak Dhien,
Christina Martha Tiahahu, Nyai Ageng Serang.
Tokoh-tokoh perempuan ini sangat mencintai masyarakatnya yang berada
dalam kungkungan penjajahan. Mereka berdiri menegakkan keadilan. Pena adalah alat perjuangan mereka, tetapi
juga kecekatan, kecerdasan dalam membangun taktik perang membuat penjajah
kewalahan untuk berhadapan dengan mereka.
Saya ingat ketika mengunjungi rumah Cut
Nyak Dhien di Aceh. Dengan keyakinan dalam iman Islam, Cut Nyak Dhien
menyatakan perang terhadap Belanda. Rumahnya dipenuhi dengan doa-doa dalam
bahasa Arab yang memberikan kekuatannya untuk meneruskan perjuangan melawan
Belanda. Suami pertamanya meninggal ditembak Belanda, kemudian Cut Nyak Dhien
menikah dengan Teuku Umar yang juga lebih dulu meninggal ditembak Belanda. Tidak
ada pilihan lain, Cut Nyak Dhien bersumpah, dengan recong kecilnya ia
menyatakan perlawanan kepada Belanda sampai akhir hayatnya.
Merayakan hari Ibu, menguraikan politik
perempuan Indonesia, adalah membela hati perempuan-perempuan pejuang dalam sejarah
Indonesia. Mereka hidup bukan untuk dirinya sendiri. Mereka tidak mempunyai media maya seperti
sekarang ini. Mereka berada di perbatasan terdepan melawan kebodohan perempuan
sesamanya, melawan eksploitasi dan diskriminasi yang dilakukan oleh penjajah.
Hidup mereka sangat sederhana.
Sekarang perempuan Indonesia, sekalipun
masih terus berjuang mengisi partisipasi perempuan dalam politik, termasuk
merepresentasikan perempuan lain dalam jabatan-jabatan politik negara, nasibnya
semakin baik. Tetapi apakah demikian wajah perempuan Indonesia sesungguhnya.
Komnas Perempuan menerbitkan laporan rutin tahunan yang masih memperlihatkan
angka kekerasan yang tinggi di kalangan perempuan Indonesia. Kekerasan yang terjadi karena konflik-konflik
sosial di dalam masyarakat menyebabkan perempuan menjadi korban. Kekerasan
dalam rumah tangga masih sangat tinggi sekalipun perempuan-perempuan aktivis
dan parlemen sudah berhasil mendorong lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Menguraikan politik perempuan Indonesia,
memang tidak bisa sekedar berhenti pada penjelasan berapa jumlah perempuan yang
duduk pada jabatan politik di parlemen, pemerintahan, atau perempuan yang
sering memberikan ceramah untuk membuat kebijakan politik tetapi kasus-kasus
kekerasan terus menguat dalam masyarakat.
Menguraikan politik perempuan Indonesia, adalah memikirkan secara
strategis tentang pendidikan politik yang paling sederhana dilakukan kepada
seluruh perempuan Indonesia.
Saya di sela tugas-tugas pengajaran,
dalam pelayanan bersama Koalisi Perempuan Indonesia mengendarai sepeda motor
menjumpai perempuan-perempuan di desa terpencil untuk secara bersama-sama
membahas UU PKDRT yang dihasilkan oleh negara untuk melindungi perempuan. Memfasilitasi perempuan di Gunung Kidul yang
mempunyai tingkat bunuh diri tertinggi di Indonesia, supaya mereka bisa
berbicara, memang memerlukan penghayatan untuk mengerti pergumulan
perempuan-perempuan biasa ini.
Saya tinggal bersama mereka, mendengar
cerita-cerita mereka, ke ladang dengan mereka, mengunjungi tempat-tempat di
mana mereka bekerja sebelum pelatihan pendidikan pembahasan UU PKDRT dimulai.
Kami bernyanyi bersama-sama. Kami menjelaskan satu demi satu kendala-kendala
yang mereka hadapi dalam hubungan suami istri. Simulasi dilakukan ketika mereka
masih sungkan untuk menceritakan pengalamannya sendiri. Ketika tiba-tiba
semakin jelas terbentang dalam benak mereka tentang penderitaan dan harapan
keluar darinya, mereka bisa merancang sendiri urutan tindakan mengatasi krisis
ketika terjadi suatu kekerasan di dalam desa sendiri.
Perempuan akar rumput adalah fondasi
pergerakan perempuan Indonesia. Perempuan-perempuan ini bukan sekedar
memberikan hak perwakilannya kepada perempuan-perempuan yang berkapasitas untuk
mewakilinya membuat perundangan yang berpihak kepadanya. Perempuan-perempuan
akar rumput inilah sebenarnya inti dari pergerakan politik perempuan Indonesia.
Perempuan-perempuan akar rumput mengingatkan perempuan-perempuan politikus
menggunakan keterwakilan yang diterima dari masyarakat dengan bertanggungjawab
sehingga tidak terjebak pada kelemahan manusia terjerat korupsi sehingga perjuangan
mereka dari rumah negara harus berpindah ke rumah tahanan. Perempuan-perempuan akar rumput inilah
harusnya menjadi pencerahan perempuan politikus untuk mengingat panggilan
sejati mereka melayani sesama warganegara yang diperjuangkannya. Kepada
merekalah, saya ingin memberikan selamat hari Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar