Menguraikan Keadilan dan Hukum
Dari Instalasi Demokrasi, “kepala ular” dan “kepala burung”
penjaga Pancasila dan NKRI
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Saya berjanji meneruskan tulisan tentang relevansi Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk HAM di Papua. Sejak mempublikasikan tulisan bagian pertama
tentang Nelson Mandela, saya baru mulai menulis lagi. Akhir pekan lalu saya
membantu keluarga mempersiapkan Natal, sekalipun saya hanya bisa memberikan
sedikit bantuan tetapi saya bahagia. Kemudian hari Senin kemarin, pak Todung
Mulya Lubis dan pak Akhmad Sahal makan malam di rumah. Pak Todung Mulya Lubis
adalah pengacara terkenal Indonesia, yang tulisan tentang Hak Asazi Manusia
saya membacanya ketika masih belajar teologi di tahun 1980an. Pak Akhmad Sahal
sedang menulis disertasi tentang wacana pemikiran negara kebangsaan untuk
penyelesaian konflik Israel dan Palestina. Keduanya sedang menjadi fellow dari Ash Program di Harvard Kennedy School.
Suami saya mengatur rumah dengan sangat indah. Pohon Natal
yang indah sudah disiapkan untuk perayaan Natal sekalipun kami akan merayakan
Natal dengan keluarga suami di Berkeley California. Hanna memasak makanan enak-enak. Saya membuat
croisants. Sekarang ingin menuliskan lebih dulu tentang keadilan dan hukum
sebelum membahas tentang TRC yang dalam bahasa Inggeris adalah singkatan dari
truth and reconciliation commision. Alasannya, saya sudah lama memikirkan
tentang keadilan dan hukum, termasuk ketika saya berpameran pada bulan Mei
tahun ini.
11 Satire Hukum Nasional adalah tema yang saya sudah
jelaskan secara singkat. Saya belum pernah menjelaskannya dalam narasi
sekalipun banyak orang secara individual ketika pameran dilakukan menerima
penjelasan saya tentang mengapa karya kawat tersebut disebut satire hukum
Nasional. Di Indonesia, dan di mana-mana di dunia, hukum merupakan sistem yang
mempunyai kekuatan untuk menegakkan keadilan. Apa itu keadilan, pertama-tama
yang harus dibahas?
Dalam pameran saya, keadilan sebagai suatu konsep yang
abstrak hanya bisa dimengerti ketika dilakukan. Tetapi sebagai seorang artis,
ketika saya membahasakan keadilan, saya melihatnya bukan sebagai suatu timbangan
seperti yang dipahami filosofi selama
ini. Kata adil dalam bahasa Indonesia adalah bahasa Arab yang berarti sama
rata, berakar dalam teologi Islam. Dalam tradisi Yahudi-Kristen, kata keadilan terkait dengan tindakan
memberikan sedekah kepada mereka yang memerlukan. Keadilan berumah dalam
tindakan kasih.
Pengertian keadilan seperti dijelaskan dalam filosofis barat
menyatu dengan pemahaman hukum. Keadilan tidak terpisah dari pelaksanan hukum
yang disimbolkan pada seorang perempuan, dewi keadilan. Tangan kanannya
memegang pedang sebagai tanda tentang adanya kekuatan untuk memaksa keadilan
tercapai. Kedua, tangan yang memegang timbangan sebagai tanda keseimbangan.
Ketiga, mata dari dewi keadilan dibalut sebagai tanda bahwa pelaksanaan
keadilan tidak melihat kepada rupa, status dan latarbelakang apapun. Keadilan
dilakukan tanpa pandang bulu.
Saya pernah menulis tentang seorang designer terapis Ventura
County Medical Center yang mengunjungi saya di kamar untuk mengukur tubuh saya ketika sedang
mempersiapkan body brace yang sekarang masih saya gunakan sampai T-11 dan L-4
sungguh sembuh. Ketika itu saya ingat, tubuh sendiri juga digunakan sebagai
model untuk mendapatkan ukuran supaya saya bisa membuat salah satu karya dari
11 satire hukum nasional yaitu “Penari Keadilan”.
Penari keadilan adalah judul yang saya berikan pada karya
patung keadilan sebenarnya bercerita tentang pandangan dan praktek seorang
manusia yang melakukan keadilan. Digambarkan sebagai seorang penari, perempuan
penari karena keadilan adalah keindahan apabila dilakukan seperti tarian.
Manusia melakukan tukar menukar sehingga kekuatan saling berbagi mengalir seperti
suatu tarian. Keadilan adalah
keseimbangan, kewajaran, kelayakan.
Keadilan adalah cita-cita yang semestinya, sejatinya terjadi. Seseorang dilahirkan sejatinya dengan hak-hak
untuk diperlakukan sewajarnya, sebaliknya juga memperlakukan orang lain
selayaknya. Ia tidak pilih kasih pada saat melakukan keadilan, karena sejatinya
keadilan yang dilakukan kepada lain akan juga dikembalikan kepadanya.
Karena itu keadilan dalam karya seni “Penari Keadilan” tidak
punya mata. Seluruh tubuhnya adalah keadilan, sehingga dimana-mana dari
ketubuhannya tampil seperti mata yang menyaksikan keadilan dilakukan sekaligus
merefleksikan keadilan yang diterima. Dalam interpretasi keadilan dari dewi justice,
matanya tertutup supaya tidak memihak. Pada karya seni Penari Keadilan, mata sang penari tidak ada, artinya ia tidak
punya pilihan untuk hanya memihak pada orang tertentu. Bagian depan dan belakang dari mukanya sama artinya tindakan keadilan yang dilakukan tidak saling berkontradiksi, bertentangan.
Sementara tangan dan bagian hatinya, berkaca, artinya
dirinya adalah cerminan keadilan yang merefleksikan keadilan yang dilakukan
dirinya sendiri kepada orang lain. Sebaliknya ia bisa juga melihat keadilan
yang dilakukan pada saat orang lain mencerminkan keadilan yang terpancar
darinya.
Pada tubuh Penari Keadilan ada selendang yang mengintarinya
tanpa putus seperti gelombang yang mengelilinginya mendorongnya untuk terus
melewati naik dan turunnya keadilan yang dilakukannya. Keadilan adalah
keseimbangan. Keadilan tidak tampil dalam kelimpahan di tengah orang lain yang
berkekurangan. Keadilan selalu mencari cara untuk menyeimbangkan sehingga
menghasilkan keharmonisan dalam gerakan.
Penari keadilan menggunakan jubah dengan tanda perdamaian
pada bagian paling ujung dari roknya. Tanda perdamaian mengelilingi roknya.
Buah dari keadilan yang memberikan keseimbangan adalah perdamaian. Perdamaian
menebarkan ke dalam diri dari penari sekaligus ke luar dirinya ke seluruh
semesta. Artinya, keadilan tidak pernah
berhenti pada tingkat individu, keadilan adalah upaya untuk menggerakkan
sesama, membangun sistem yang memungkinkan setiap orang bisa bercerita terhadap
upaya tidak dipenuhinya keadilan.
Penari keadilan menggenggam bunga yang adalah bagian dari
keindahan yang selalu harus diperbahurui. Bunga-bunga segar yang ada diseluruh
tubuhnya sebagai bagian dari selendangnya bisa berfungsi untuk pengayom,
melindungi, merangkul, tanda kedekatan, kehangatan.
Pada tubuh Penari Keadilan, seluruhnya adalah hati, jiwa dan
pikiran sekaligus. Keadilan tidak bisa dipisahkan, tetapi adalah bagian dari
pertimbangan dengan akal budi, tentang obyektifitas yang benar dan salah,
kepalsuan, dengan jiwa untuk merasakan pada tingkat mental dan dengan hati
untuk mensyukuri. Keadilan harus terus dilatihkan seperti seorang penari
sehingga menjadi trampil, cekatan dan indah dalam menarikan tariannya. Keadilan
dalam dirinya ada nilai-nilai hidup sehingga seseorang bisa merasa terharu,
bersyukur dan tenang untuk bisa tiba pada kedamaian.
Tetapi apakah penjelasan ini sudah cukup untuk menjelaskan
tentang hukum.
Penari Keadilan adalah satu dari 11 satire hukum nasional.
Apa yang menyebabkan Penari Keadilan digolongkan dalam 11 satire hukum
nasional? Kalau penari keadilan sebagai suatu nilai yang ideal dan pencapaian
seperti digambarkan terwujud, maka mengapa harus dimasukan sebagai bagian dari
11 satire hukum nasional?
Mendudukannya bersama-sama adalah menunjukkan bahwa Penari
Keadilan ada di sana untuk mengelitik hukum nasional Indonesia. Harapan manusia
ada pada hukum. Penegakkan hukum adalah upaya melestarikan penari keadilan.
Mungkin dalam penerapan hukum di Indonesia, terjadi banyak penyimpangan tetapi
penari keadilan seperti hati nurani yang selalu akan menolong masyarakat hidup
dengan tentram.
Hukum adalah sistem, tetapi mungkinkah dalam hukum masih ada
keadilan?
Seringkali hukum dilepaskan dari dewi keadilan, diambil saja
timbangannya. Padahal dalam hukum seluruh spirit dari penari keadilan adalah
keutuhan, holistik dalam menjalankannya.
Saya merefleksikan hukum di mana keadilan dilakukan
pada bumi Indonesia. Pada saat pelaksanaan pameran tersebut, ketika pintu ruang
pameran di masuki, karya kawat sebagai instalasi pertama yang menyambut
penonton adalah “Instalasi Demokrasi”. Karya ini saya letakan di atas meja
marmer antik untuk menunjukkan tentang akar peradaban Indonesia dalam sejarah
dirinya. Karya Instalasi Demokrasi adalah potongan kawat yang digunting
membentuk pulau-pulau di Indonesia. Saya membuat desain pulau-pulau dengan
mengikuti peta Indonesia. Pemotong pulau-pulau dilakukan saling menyambung
seperti lautan yang menyatukan Indonesia.
Dimulai dari bagian barat, pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa
Tenggara, Papua, Kepulauan Maluku, Maluku Utara, Sulawesi dan Kalimatan. Visualisasi
pulau-pulau memungkinkan saya memotong bentuk pulau-pulau yang besar. Setiap
pulau mempunyai karakter yang kuat menggetarkan jemari saya ketika saya
menyelesaikan setiap potongan sambil melihat bentuk-bentuknya yang tidak pernah
saya pikirkan sebelumnya. Misalkan, bagian paling atas dari pulau Sumatera di
mana teritori propinsi Aceh berada, tampil pada karya kawat seperti rupa dari
kepala ular.
Saya meletakkan potongan pulau-pulau ini pada format
labirin. Potongan pulau-pulau dilingkari mengelilingi tugu demokrasi yaitu
Pancasila sebagai hukum tertinggi di Indonesia. Saya sangat kaget ketika
menyadari bahwa kepala ular sebagai bentuk visualisasi ketika didekatkan
bertemu dengan kepala burung. Kepala burung adalah bentuk dari peta pulau Papua
di mana bagian baratnya adalah Papua Barat dari Indonesia. Perjalanan demokrasi
di Indonesia seperti labirin. Pancasila merupakan cita-cita bersama negara
bangsa Indonesia, tetapi Pancasila juga terus diuji dalam penyelenggaraan
negara Indonesia. Saya terpesona dan bersyukur bahwa alam semesta mengizinkan
Indonesia mempunyai kepala ular dan kepala burung yang mengimpitkan kesatuan
bangsa.
Instalasi Demokrasi
Instalasi Demokrasi dikelilingi oleh saudara-saudara dari Papua
Visualisasi ini berbicara mendalam tentang keberanian dari
kepala ular dan kepala burung dalam mengingatkan Indonesia tentang cita-cita
demokrasi yaitu Pancasila. Pancasila sebagai prinsip dasar negara mengandung
nilai-nilai keadilan yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan yang beradab, persatuan Indonesia, perwakilan dan kemusyawaratan untuk
mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila adalah
instalasi demokrasi yang paling tertinggi di negara saya, Indonesia. Pancasila
menurunkan tatanan hukum bernegara di tanah air. Ketika hukumnya tidak berjalan
dengan baik, kepala ular akan mematuk dan kepala burung akan terus
berteriak-teriak. Jadi Indonesia berterima kasih kepada kepala ular dan kepala
burung yang sebenarnya menjaga kesetiaan Indonesia terhadap Pancasila dan
keutuhan NKRI. Kepala ular adalah Aceh dan kepala burung adalah Papua. Aceh dan
Papua adalah ujian dari demokrasi Indonesia.
Bersama dengan Penari Keadilan and Instalasi Demokrasi ada 9 karya
seni kawat lainnya yang adalah sebagai berikut:
- Payung
hukum
- Mafia
hukum
- Bumi
torang terbelah
- Pencari
Fakta
- Sangkar
Perundangan
- Hukum
Rimba
- Cermin
Hukum
- Pukat
Koruptor
- Negara
Buku
Saya akan
menjelaskan kesembilan karya ini kemudian. Sementara ini gambar visualisasinya
bisa dilihat pada pinterest, pada tulisan saya lainnya yang terpisah-pisah atau tulisan dari mass media lainnya pada saat pameran bulan Mei 2013 lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar