Mengakarkan Mawar Hitam!
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
“Mawar hitam tanpa akar ada” adalah judul dari novel
yang ditulis oleh Aprila Wayar (2009). Novel ini berkisah tentang sepasang keluarga Papua,
pasangan muda dari kelas menengah yang bertemu di Yogyakarta pada saat gerakan
Reformasi. Sesudah menyelesaikan studi, mereka menikah dan kembali ke Jayapura
meneruskan gerakan aktivisnya bersama dengan saudara/i di tanah Papua. Kisah
hidup percintaan mereka diletakkan dalam konteks politik kekerasan yang sedang
terjadi di Papua. Ternyata keindahan dari kedalaman cinta kasih hanya bermakna
ketika pasangan suami isteri ini dengan cara sendiri-sendiri memberikan dirinya
bagi perjuangan bersama rakyat Papua. Perjuangan anti kekerasan dimulai di
tengah-tengah kekerasan militer yang terjadi di tanah Papua. Mereka menyaksikan
anak-anak terbaik Papua dibunuh, sehingga komunitas Papua tampil seperti “mawar
hitam tanpa akar”. Memandang kekerasan
militer yang menarget pimpinan-pimpinan Papua merekapun makin sadar perjuangan
melawan tirani ketidakadilan perlu diubah sehingga tidak ada kematian yang
konyol.
Petisi Warganegara NKRI untuk Papua sengaja
mengangkat ulasan sepotong dari novel yang tebalnya lebih dari 400 halaman
untuk menjelaskan beberapa hal. Pertama, pencarian identitas Papua yang lebih
dikenal sebagai nasionalisme Papua tidak bisa terbentung lagi. Reformasi
sebenarnya telah menghadirkan ruang demokrasi kepada setiap individu Indonesia
untuk berpartisipasi dalam mengawal kebijakan negara. Kebangkitan nasionalisme
Papua harusnya dilihat sebagai bagian dari upaya orang asli Papua mengisi makna
demokrasi dalam kehidupan berpolitikan di Indonesia. Tanda-tanda nasionalisme
Papua tergambar dari munculnya kebanggaan dari kesadaran yang mendalam tentang
perbedaan rumpun etnis yang dimiliki oleh orang asli Papua dibandingkan dengan
kerumpunan etnis lainnya di Indonesia seperti Melayu, Mongolia, Yamanisme dan Arabian.
Penguatan etnis menjadi dasar pembentukan identitas
yang pertama-tama di dalam teritori Indonesia seperti dimanifestasikan dalam
penamaan pulau-pulau yang sekaligus telah meleburkan pendatang dalam kewilayahan penyebaran bahasa "Austranesia" menjadi bagian kedaerahan yang batasan kewilayahannya tampil menguat secara fisik. Muhammad
Yamin menggunakan istilah teritori etnis untuk menggambarkan kewilayahan etnis
sejak Indonesia sedang mempersiapkan fondasi ideologi bagi kehidupan bernegara
dan berbangsa. Dalam pidato kelahiran Pancasila, Muhammad Yamin mengangkat
delapan etnis teritori sebagai kekayaan kerumpunan etnis yang mengisi
Indonesia. Kedelapan etnis teritori tersebut adalah Sumatera, Malaya, Brunei,
Jawa, Sulawesi, Sunda Lesser, Maluku, dan Papua (Yamin:1945, 1-4). Papua disebut
secara khusus dalam perwilayahan etnis yang berdiri sejajar bersama ketujuah
etnis teritori lainnya.
Penerimaan bangsa Papua terhadap UU no 21 Tahun
2001, Otonomi Khusus Papua, perlu diikuti
dengan pemberian ruang untuk orang asli Papua menggali akar keidentitasan dan kesejarahannya. Politik
penyeragaman yang dilakukan semasa pemerintahan regim Orde Baru harusnya sudah
bisa ditinggalkan dalam politik keindonesiaan sesudah gerakan Reformasi.
Misalkan penguatan penjagaan identitas Yogyakarta melalui UU no 13 Tahun 2012,
tentang Keistimewaan DIY tidak dengan sendirinya menegasikan keragaman yang ada
dalam kehidupan sosial politik di Yogyakarta saat ini. Aprila Wayar telah
mengambil inspirasi dari keragaman di Yogyakarta untuk bersama dengan saudara-i
lainnya di tanah Papua memulai penggalian nasionalisme orang asli Papua.
Perjuangan ini harus didorong supaya orang asli Papua bisa berakar di tanahnya
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar