Translate

Selasa, 20 Mei 2014

Menutup tanggal 20 Mei 2014, Mengelitik tanggungjawab Prabowo Subianto!





Menutup tanggal 20 Mei 2014, Mengelitik tanggungjawab Prabowo Subianto!


Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


 


Terang dibalik pohon-pohon yang menghitam. Malam sudah datang sekalipun kegelapan jatuh dari langit baru sekitar jam 8.30. Hati saya gelisah. Sudah lama saya ngak menulis untuk blog Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua. Tulisan yang sama bisa juga dibaca dalam bahasa Inggeris pada blog PIZZA. Tapi hanya malam ini saya kembali menarikan jemari di atas tuts. Dulu saya pikir kata-kata saya akan kering karena proses verbalisasi seni dilakukan dalam bentuk patung dan melukis yang mengambil seluruh tenaga saya. Saya untuk beberapa bulan ini sedang mengerjakan karya seni dengan tema Papua. Sebenarnya saya berbagi dalam bentuk komentar pada status saya di FB tentang kerja-kerja seni ini, tetapi akan lebih indah apabila saya menulis sebagai suatu bagian yang terintegrasi. 


Hanya malam ini kegelisahan yang sangat mendalam menyungkirbalikan asumsi saya tentang otak kiri yang sedang mengendalikan proses kreatifitas diri. Mungkin batas antara otak kiri dan kanan menjadi tipis ketika saya tahu karya seni hanyalah alat menyuarakan keprihatinan. Kegelisahan saya adalah keprihatinan. Tepat! Kegaluhan seperti malam yang datang merebut terang. Biarkanlah saya menikmati lamanya siang yang mulai lebih panjang pada musim semi daripada musim dingin.


 Malam pekat mengintai di luar. Saya membiarkan angin segar menyusup dari bawah jendela tetapi mempersilahkan malam tinggal di luar. Malam berjaga-jaga bersama bunga-bunga putih mungil yang dalam bahasa Jerman disebut “meiglockchen”. Seorang sahabat saya, Aurita yang tinggal di Jerman beberapa hari lalu membagikan cerita keluarga tentang meiglockchen. Sekarang keharuman meiglockchen masuk bersama udara segar ke dalam rumah. Tiga potong “meiglockchen” sudah lebih dulu ada dalam vas bunga di atas meja makan. Saya memetik dan menghiasinya untuk makan malam kami. Tapi bukan karena “meiglockchen” saya menulis sekarang.  Mengapa di tengah harum wangi saya mencium bunga bangkai? Ada apa dengan keharuman itu sendiri?


Hari ini tanggal 20 Mei 2014. Di Indonesia, sudah tanggal 21 Mei, tetapi masih beberapa jam lagi sebelum tanggal 20 Mei mundur berganti tanggal 21. Apa yang dilakukan oleh saudara-saudari saya di Indonesia untuk merayakan tanggal istimewa, 106 tahun hari Kebangkitan Nasional  dan 16 tahun hari Gerakan Reformasi.?  Hari ini, tanggal 20 orang-orang bisa merenungkan tentang apa yang sedang terjadi 16 tahun  lalu tetapi dengan sangat ironis kita juga melihat sendiri, bahwa Prabowo Subianto yang membunuh rakyat dalam gerakan Reformasi pada bulan yang sama, 16 tahun kemudian sedang menguatkan langkahnya ke Istana Negara.  Kita tergetar melihat ambisi Prabowo Subianto untuk menjadi presiden Indonesia.   Padahal 16 tahun lalu Prabowo Subianto adalah Pangkostrad yang bertanggungjawab untuk kekerasan yang terjadi di Jakarta. Pemerkosaan perempuan-perempuan Tionghoa, penembakan mahasiswa Trisakti, yang sebelumnya diikuti dengan kasus penculikan mahasiswa-mahasiswi.  


Kompas tanggal  18 Desember 2012 menuliskan tentang pengakuan Prabowo yang menyesal tidak melakukan kudeta kepada presiden Habibie. Perkataan Prabowo dibenarkan oleh Habibie, yang menggambarkan bahwa adanya pergerakan TNI AD masuk ke arah Kuningan dan menuju Istana Negara. Dalam buku Detik-Detik yang menentukan  karya BJ Habibie (2003), Wiranto dikatakan melaporkan tentang masukannya pasukan ke Istana Negara.  Habibie kemudian melakukan pertemuan tanggal 22 Mei 1998 di Istana Negara  bersama Prabowo. Dalam pertemuan itu, Habibie menuturkan argumentasinya untuk memecat Prabowo sebagai Pangkonstrad karena dianggap menggerakkan pasukan AD untuk memasuki daerah yang bukan kewenangannya.  


Jadi kegelisahan saya sebenarnya terkait dengan nasib Indonesia yang sedang termabuk karena membiarkan seorang mantan  pelanggaran HAM untuk menjadi Presiden Indonesia.  Jakarta Post pernah memuat tulisan Aboeprijadi Santoso yang dalam kunjungannya ke desa Kraras kira-kira 300 meter dari kota Dili di Timor Leste, dimana terjadi pembunuhan masal kepada masyarakat sipil tak bersenjata atas perintah presiden Soeharto,  yang didukung oleh pejabat-pejabat teras AD yaitu Benny Moerdani, Wiranto, Kiki Syahnakri dan Prabowo.  Tetapi Prabowo dengan pasukannya Chandraka 8 yang melakukan pembasmian kepada 287 orang pada tanggal 17 September  1983.  Pembunuhan masal ini dianggap tindakan yang benar karena Indonesia merendam gerakan masyarakat Timor Leste untuk menentukan nasib sendiri terpisah dari Indonesia.  Terlampir tulisan Aboeprijadi Santoso di Jakarta Post.


Dalam tulisan yang sama di Kompas, tanggal 18 Desember 2012 dijelaskan bahwa Prabowo menerima pemecatan dari Habibie karena mengerti Presiden pegang kekuasaan tertinggi atas angkatan perang. Menjadi Presiden adalah langkah terakhir Prabowo Subianto untuk memperoleh kekuasaan tertinggi termasuk angkatan perang. Sejarah pelanggaran HAM yang terjadi dalam perang antara Indonesia dan Timor Leste  hampir dilupakan oleh masyarakat Indonesia.  Tetapi  dalam sejarah perang Timor Leste, masyarakat biasa masih terus mengingatnya. Hal yang sama juga terjadi dengan sejarah Gerakan Reformasi yang berusia 16 tahun. Rakyat tidak melupakan Prabowo Subianto karena  turut bertanggungjawab terhadap kekerasan militer yang terjadi kepada masyarakat sipil.. Kekerasan yang terjadi di seantero Indonesia, ada hubungan dengan konspirasi para elite yang bermain-main dengan isu SARA untuk meremukkan warganya sendiri.  Siapakah yang harus bertanggungjawab! Jelas, ia adalah Prabowo Subianto.


Saya menulis kegelisahan ini karena yakin bahwa setiap orang Indonesia punya hati nurani untuk menolak kekerasan yang dilakukan atas nama negara terhadap warga biasa.  Kekerasan negara dipandang dari segi kepentingan negara dianggap sebagai penertiban sehingga kehidupan rakyat tersia-siakan. Tetapi saya juga percaya, rakyat semakin dewasa dan tanpa takut berupaya untuk mengerti apa yang sedang terjadi dengan bangsanya. Tulisan ini adalah antidote untuk membantu kita semua sadar dari keracunan yang ikut termakan tanpa disengaja.  Menulis antidote bertujuan untuk mendorong rakyat sendiri untuk menggunakan hatinuraninya dalam memilih kandidat presiden RI. Salah pilih presiden, berarti warga mengizinkan seorang seperti Prabowo Subianto melakukan revisi sejarah tanpa mengakui kebenaran tentang apa yang pernah dilakukannya kepada bangsa dan masyarakatnya.