Translate

Jumat, 03 Januari 2014

Papua dan Penjara dalam lukisan 1 Januari 2014. Suatu Refleksi Penggenapan!


Papua dan Penjara dalam lukisan 1 Januari 2014 berada pada posisi pertama dalam pencarian Googling
 

Papua dan Penjara dalam lukisan 1 Januari 2014.
Suatu Refleksi Penggenapan!

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


“Biarkan lukisan berbicara dan menyentuh hati orang. Kalau mau menulis pisahkan tulisan dari lukisan”, Kata suami saya. Saya ketika itu melukis tanggal 31 Desember 2013 dan memberikan judul Justice for Papua untuk lukisan yang sangat disukai suami sebelum diberikan judul. Hatinya gundah ketika melihat lukisan saya. Semula suami berpikir saya melukis bunga dalam vas. Lama diamati, dia baru sadar lukisan itu adalah turso manusia yang sedang berteriak.

Saya melukis sebagai cara menyuarakan teriakan orang asli Papua. Justice for Papua sebagai lukisan akhirnya saya publikasikan di blog tanpa mendengar komentar suami saya. Lukisan itu, dari dekat terlihat sebagai kepala orang Papua tetapi dari jauh seperti serangkaian bunga dalam vas. Orang Papua sedang dirantai dengan besi hitam yang terlihat seperti vas bunga. Memang orang Papua indah, diluar dan dalam. Ketulusan mereka bisa berubah menjadi ganas ketika tahu sedang diperalat oleh seseorang. Ini ciri manusia di mana saja!

Jadi nasihat suami saya pertimbangkan. Tanggal 1 Januari 2014 hati saya sangat gelisah. Kami sedang menonton Rose Bowl yang American football yang dimainkan oleh universitas atau college di seluruh Amerika Serikat. Kemudian saya mulai lihat dalam benak sendiri orang yang berada dalam penjara.  Banyak sekali manusia berada pada satu  bilik yang kecil.  Mereka berdesak-desakan.  Diantara mereka ada yang berteriak-teriak. Mereka berteriak sampai tertidur.  Sipir tidak datang menenagkan mereka. Saya gelisah dengan gambaran penjara dalam benak. Sedang menonton, saya menutup mata membaringkan kepada di pundak suami.  Saya tertidur tetapi tubuh saya terasa sakit tidur dalam posisi sambil menggunakan body brace.  Jadi saya mohon permisi dari keluarga untuk ke studio saya di mana saya mulai melukis gambaran yang ada dalam benak dan perasaan saya.

Papua dan Penjara dalam lukisan 1 Januari 2014 adalah judul yang saya berikan terpisah dari gambar itu sendiri. Saya putuskan untuk mempublikasikannya tanpa menulis apa-apa pada lembaran lukisan tersebut. Saya juga menunda penjelasan lukisan yang sudah saya persiapkan setelah menyelesaikan tulisan tersebut. Sekalipun saya sangat ingin segera mempublikasikan tulisan ini bersamaan dengan lukisan tersebut.

Apakah keadaan penjara di mana orang-orang Papua di tahan seperti yang saya lihat dalam gambaran benak? Saya mempersiapkan kertas dan perlengkapan lainnya untuk melukis.  Warna yang sudah ada tidak cocok dengan warna dalam perasaan saya. Kemudian saya mengambil warna dasar kuning dan mencampurnya dengan warna hitam.  Warna kuning juga saya campurkan dengan warna merah, kuning dengan hijau, kuning dengan coklat. Kuning menjadi warna dasar karena saya merasa orang Papua adalah wahyu yang diberikan Tuhan kepada Indonesia untuk merefleksikan dirinya sendiri. Sebagai negara yang beriman, beragama, Indonesia bisa mencerminkan keimanannya kepada Tuhan dari caranya memperlakukan orang asli Papua. Mengapa orang Papua harus dipenjarakan karena tuduhan mereka makar?

Menurut Papuan Behind Bars, pada bulan November 2013, ada 537 kasus penangkapan rakyat bisa yang kemudian 71 orang dinyatakan sebagai tahanan politik (tapol).


 

Identifikasi terhadap penahanan mereka dihubungkan dengan tuduhan makar, yaitu upaya warga masyarakat untuk menunjukkan sikap politik pemisahan dari NKRI.  Tanda makar yang selalu dipakai sebagai alasan penuduhan adalah upaya pengorganisasian masyarakat untuk berkumpul sehingga bisa menaikkan bendera Bintang Kejora.  Tragedi Biak Berdarah yang melibatkan militer menembak dari atas kapal ke arah pelabuhan Biak di mana masyarakat sedang berkumpul menyebabkan puluhan orang meninggal. Sedangkan mereka yang selamat diangkut ke dalam kapal dan ditenggelamkan di dalam laut.

 Link


and


Tragedi Biak berdarah terjadi pada tanggal 6 Juli 1998. Orang asli Papua menolak lupa tragedi Biak berdarah. Peristiwa Biak berdarah ini dimulai dari protes yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam protes itu mereka menaikan bendera yang kemudian menyebabkan pembantaian kepadanya.

Pengakuan pemerintah Indonesia terhadap ketidakadilan yang dialami oleh orang asli Papua telah mendorong dihasilkannya UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Adeney-Risakotta, 2013). Dalam UU ini pemerintah Indonesia menetapkan peraturan di tingkat nasional yang terkait dengan upaya untuk menyelesaikan masalah Papua.  Bentuk penyelesaikan diletakkan dalam perspektif Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang memungkinkan dan mengizinkan negara bersama warganegara Indonesia, yaitu orang asli Papua terlibat dalam dialog untuk mendudukkan sejarah intergrasi Papua. Untuk itu, Komisi Kebenaran dan Perdamaian ditetapkan dalam UU Otonomi Khusus supaya bisa mengatur proses klarifikasi sejarah tersebut.

Orang Papua juga diberikan kesempatan untuk menaikan bendera Bintang Kejora bersama-sama dengan bendera Merah Putih. Bintang Kejora diterima sebagai identitas orang Papua bukan sebagai tanda kedaulatan Papua yang terpisah dengan NKRI karena secara hukum Papua adalah bagian dari NKRI.

Mengeruhnya konflik Papua diperburuk oleh rendahnya komitmen Pemerintah Indonesia untuk memenuhi perundangan yang sudah ditetap. Pemerintah SBY mungkin menganggap bahwa UU No.21 Tahun 2001 adalah produk dari pemerintahan Presiden Megawati yang menandatanganinya sehingga mengabaikan kepastian hukum yang ada pada perundangan tersebut. Orang asli Papua dilindungi oleh UU No.21 Tahun 2001 karena Negara Republik Indonesia mengakui haknya untuk melestarikan dan menghadirkan identitas suku Papua dalam kehidupan politik Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia bahkan diwajibkan untuk memfasilitasi upaya klarifikasi sejarah Papua.

Argumentasi lain yang sering muncul dalam berbagai ulasan media ketika ditanyakan mengapa pemerintah tidak mau melakukan dialog adalah untuk menghindari orang asli Papua meminta kemerdekaan. Sambil menyinggung upaya LSM asing yang bekerja sedang mengkampanyekan ketidakadilan di tanah Papua, pemerintah cenderung memang persoalan Papua yang dicoba dimunculkan di tingkat nasional terkait dengan strategi negara-negara tertentu yang mempunyai kepentingan ekonomi untuk mengeksploitasi Papua.

Maka pertanyaan lain muncul adalah apakah selama masa integrasi Papua ke dalam NKRI termasuk ketika UU No 21 Tahun 2001 yang memberikan pengalihan pengaturan daerah langsung dilakukan oleh daerah telah berhasil mensejahterahkan rakyat Papua?  Studi yang dilakukan oleh Centre For Public Policy and Management Studies dari Universitas Katolik Parahyangan tiba pada kesimpulan bahwa perundangan Otonomi Khusus yang menyebabkan adanya alokasi dana tambahan kepada Papua, tidak sedikitpun mengubah kinerja otonomi daerah Papua yang ternyata berada diurutkan paling terakhir dari seluruh propinsi di Indonesia. Akibatnya, maksud pembangunan yang harusnya bisa dirasakan oleh orang asli Papua hanya merupakan kue yang bisa dirasakan oleh para elit Papua dan pejabat pemerintah di Jakarta.

Saya merenungkan semua ini ketika saya sedang menggambar Papua dan Penjara. Ternyata penjara untuk menjebloskan orang asli Papua sangat banyak di seluruh Papua. Tanahnya yang subur adalah milik orang Papua sekarang seperti penjara, yang dikapling-kapling menurut sel masing-masing.  Istilah “penjara” tidak secara literer seolah-olah terkait  penjara di mana orang-orang ditahan karena dianggap melakukan pelanggaran oleh negara.  Orang asli Papua tidak menghendaki grasi dari Presiden, yang dikendali adalah kejujuran pemerintah Indonesia untuk memenuhi tuntutan aturan hukum yang dihasilkan oleh pemerintah itu sendiri.

Paling diherankan sesudah tragedi Biak Berdarah, kemudian berbagai tragedi lainnya bermunculan, seperti Abepura berdarah tanggal 7 Desember 2000, Wasior berdarah tanggal 13 Juni 2001, Wamena berdarah tanggal 6 Oktober 2000 dan 4 April 2003, diikuti dengan pembunuhan Theys Hiyo Eluway serta penghilangan sopir pribadinya, Aristoteles Masoka pada tanggal 10 November 2001. Pada tanggal 16 April 2006, terjadi lagi tragedi pelanggaran HAM. Data-data tragedi ini dicatat baik oleh Komisi Nasional HAM yang berhasil menghimpunnya kemudian menyerahkan kepada pengadilan tetapi sampai saat ini tidak ditindaklanjutkan oleh pemerintah. Menurut catatan dari KONTRAS, satu-satunya pelanggaran yang disidangkan adalah tragedi Abepura tanggal 7 April 2000 yang sudah disidangkan di Pengadilan HAM Makassar. Kasus-kasus tragedi ini melibatkan aparat keamanan (TNI – Polri).


 

Seperti dalam lukisan Papua dan Penjara, kebenaran secara alamiah sedang mengikuti orang Papua. Daun-daun yang adalah napas kehidupan ilahi bertumbuh ke arah orang asli Papu. Keadilan seperti daun yang tidak pernah mati karena bertumbuh pada pohon yang berakar mendalam. Daun-daun menerobos trali besi untuk menyentuh memberikan dorong kepada orang Papua.  Orang asli Papua dalam lukisan Papua dan Penjara menjadi satu untuk meminta keadilan dari pemerintah. Kehidupan dan keadilan adalah bagian dari iman yang tidak akan bisa diambil oleh siapapun termasuk pemerintah RI. Maka bersatulah orang asli Papua dan sesama warganegara NKRI untuk mendesak pemerintah RI memenuhi tuntutan hukum yang ada pada perundangan negara RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar