Translate

Jumat, 31 Agustus 2012

Indonesia menunggu cinta


 


Indonesia menunggu cinta
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
 

Bau berahi
Menebar
Tanah mengulum
Melembut
Sesudah panas
Menarik
Rahim bumi
Membuka

 

Detik hujan
Menguncup
Pijakan tanah
Burung-burung pulang
Batas senja
Menunggu kembali
Cinta

 
Bumi subur
Tanah air
Bumi indah
Bangsa perkasa
Bumi rahmat
Negara santun
Sesudah datangnya
Cinta

 

Yogya Memang Istimewa



Yogya Memang Istimewa
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Sudah saya selesaikan pembacaan ini
Empat halaman utuh
Undang-undang Republik Indonesia
tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
Disahkan DPR RI tanggal 30 Agustus 2012

 
Koran lokal, Kedaulatan Rakyat menulis headline
Jumat Pahing, 31 Agustus 2012
Yogya memang Istimewa
Delapan tahun menunggu palu
mengetuk nurani pemerintah
sesudah kegigihan rakyat Yogya
perjuangan pertahankan keistimewaan

 
Yogya memang Istimewa
Di hati saya
Di sini masa remaja dimulai
Bermimpi bersepeda
Menari klasik Jawa
Bermain gamelan
Sekalipun berbahasa ngoko
Sudah saya lakoni

 
Masih saya simpan
pada dinding pribadi
Setiap rindu mengunjunginya
Foto Yogya tempo dulu
Orang-orang bangga berjarik batik
Pohon beringin di  sudut kampung
Akar menggantung menjaring burung berumah
Orang berhenti mengintip anak burung
bersiul mereka tertawa tentang masa depan

 
Yogya memang Istimewa
Mengalirkan darah rukun warga
Mereka tinggal satu atap
Sekalipun berbeda-beda agama
Masih saya alami
Dalam sanak keluarga
Saling menghormati merukuni

 
Yogya memang Istimewa
Dari garis keras ke moderat tinggal bersama
Kecuali nila setitik merusak seluruh belangga
LKiS diserbu mereka yang menolak Irshad Manji
Tetapi di sini warga menyerahkan petisi kepada rektor UGM
Supaya universitas menjaga kebebasan akademik

 
Yogya memang Istimewa
Di sini saya masih  melihat ke masa lalu
Suara adzan mengingatkan kehampaan manusia semesta
Dengung lonceng menggema perdamaian
Candi  menyimpan narasi negeri permai persada

 
Di sini saya bisa melihat ke masa depan Ngayogyakarta
Masa yang terancam gedung-gedung pencakar langit
menggantikan persawahan
Rumah pekarangan luas menghilang
Menyisakan nama ular sebagai alamatnya

 
Yogya memang Istimewa
Biarlah saya sampaikan hormat kepadamu
Jangan  pernah biarkan
Warga saling mengalienasi diri
Karena muka mereka tertutup reklame
Di bumi Yogya
Biarkan saya bisa bersahaja
merasa getaran kota sakti 

 
Yogya memang Istimewa
mengabadikan sabda Ilahi
Menitis ke raja sama kuat ke rakyat
Menginspirasikan kesetaraan
Merawat hidup kekinian
dari tarikan garis masa lalu
sekuat dirimu Yogya
Karena gelora elingmu, siagamu tapa

 

 

Rabu, 29 Agustus 2012

Siapakah Sang Manusia, pelenyap Sang Manusia?


Siapakah Sang Manusia, pelenyap Sang Manusia?
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Siapakah mereka

datang gerombolan menghasut
Seolah-olah kami orang-orang bejat
Apakah Sang Pencipta sekejam manusia
Datang berteriak-teriak
Membakar dan membunuh
Karena jalan kepadaNya berbeda

 

Siapakah kami yang percaya
Dalam caraNya
Menafsirkan jalanNya dalam pengertian kami
Mencintai sekalipun harus dilenyapkan
Padahal kami adalah anak-anak Allah
Serumah dengan mereka
Anak-anak Sampang Madura

 

Siapakah mereka orang Madura
Yang saya kenal
Mereka adalah malaikat penolong
Ketika mobil kami terduduk
dari kecelakaan melintas lobang menganga di keangeran Banyuwangi
Mereka datang seperti malaikat
Mengetuk diri pada jendela mobil
memperbaiki roda patah
Mengantarkan ke bengkel
Tanpa sedikitpun harapan imbalan

 

Siapakah saya yang mengingatkan
Kebaikan orang Madura
Mereka yang memaksa saya menjadi orang Madura
Sebelum menolong kami di dini hari di hutan jati Banyuwangi
Dalam perjalanan pulang kami
Dari Bali ke Jawa
Sudah lama terjadi
Sekarang masih kuat dalam ingatan saya

 

Siapakah engkau sang manusia?
Berdiri menongkak pinggang
Mengambil alih kuasa Sang Pencipta
Menghalalkan darah sesamanya
Membakar dan membunuh
Karena mereka adalah Shiah
Yang bukan mayoritas dengan tradisi Sunni

 

Siapakah Shiah, siapakah Sunni,
Siapakah Ahmadiah, Siapakah Nasrani?
Siapakah Hindu, Siapakah Budha?
Siapakah Kejawen? Siapakah Kong Hu Cu?
Siapakah anak manusia di bawah kolong langit
Ketika lahir sebagai bayi dan pulang ke Sang Pencipta
telanjang

 

Siapakah mereka yang berteriak-teriak buas
Membakar, membunuh
Sekuat itukah mereka juga bersujud, bersholat
Dalam kemarahan kebinatangan kemanusiaan
Siapakah mereka yang menikam saudaranya
Serupa menerjang dirinya sendiri menginginkan
mengharamkan darah saudaranya
Serupa panggilan kesakitan diri yang berteriak-teriak
Kasihan-kasihan...ampun-ampun...tobat-tobat

 

Siapakah sedarah sedaging sesama saya?
Mereka yang terpanggang dalam kehasutan
Membawa penyesalan terlambat
Sesudah akhirnya sedarah sedaging mengungsi
Sudah puaskah sekarang
Mendapatkan sesamanya merana
Di rumahnya sendiri

 

Siapakah sang manusia
Mengambil hak Sang Pencipta
Melenyapkan mereka  sang manusia?
Darah sesamanya mengikutinya
Mengelilingi seantero negeri
Serupa Sang Pencipta
Meminta keberanian menuntut
sang manusia menobat
Supaya teriakan kesakitan dirinya
di bawah kolong langit
Disembuhkan!

 

Ampun-ampun...cukup-cukup...tobat-tobat!

Minggu, 26 Agustus 2012

Burung mata merah

 
Burung mata merah

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


 
Burung pemantau

Para leluhur

Pulang bertangkar

Pada pohon raksasa

Di halaman rumah pusaka

 

Mata rumah

Dari para soa

Menegakan balileu

Pulang bercakalele

berdiri gagah leluhur

di atas mata batu hitam

 

Batu tabu, batu pamali

Pata lima, dua mata batu

                tertidur di antara balileu dengan pantai

melambang sempurna panca indra leluhur mengarungi lautan berbadai
                                      
Pata siwa, dua mata batu

berbaring di antara balileu dengan gunung

Batu sakti, batu karamat

 

Membentuk sekampung


Darah setubuh

Merah kehidupan

Burung mata merah

Berumah sesudah senja di pohon tua

Rumah pusaka

Pancaran para raja negeri

Rumah Pattisahusiwa



Mesjid didadani

Angkat adat

baharui sumpah

Gereja dibangun

Melancarkan mengalirkan

Darah suci leluhur

 
 
Burung mata merah

Mengintai tajam

Memberitahu kedatangan

Leluhur

Mengelilingi lautan

Mendaratkan kora-kora

Di balileu

 

Manusia Siri Sori Salam Sarani

berCakalele

burung mata merah

mengintai

matanya menari-nari

di atas mata batu karamat




                                         (foto rumah pusaka raja Pattisahusiwa, foto diambil
                                          oleh Rolin dengan kamera Jeff. Jeff, seorang malessy
                                    Heka Leka dari Kenya sedang berdiri di depan rumah pusaka)
   

Jumat, 24 Agustus 2012

Manusia terminal



Manusia terminal
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 
Bukan karena salah naik bus

Kemudian saya mengerti
Ada maksud lain
Terdampar di Kampung Rambutan
Supaya memahami  kebajikan Sang Pencipta di sana

 
Menunggu bus pergi
Saya duduk di depan
Mengamati lelaki yang berkata-kata:
“Pondok Gede, Pondok Gede, asrama haji, asrama haji”
Sambil menunjuk ke bus di depannya
Orang-orang lalu lalang tak mempedulinya

 
Sekali-sekali lelaki tambun itu

Cepat-cepat ke pojok di mana kardus memajangkan  dagangannya
Seseorang membeli rokok
Memberi uang kepada lelaki itu
Di samping kardus sandalnya ditata rapi

 
Lelaki tanpa pengalas kaki
Panas terik menebalkan telapak kakinya
Celananya robek
Juga kemeja kumal dengan sobekan di bagian bawah ketiaknya
Masih terus teriak memanggil penumpang

 

Saya melihat seseorang mencari-cari  meletakkan uang Rp 1000 an
Sesudah mengambil sebatang rokok
Saya meneriakkan lelaki itu
Supaya ia kembali ke kardusnya
Ia pergi mengambil uangnya

 
Pak supir bus menimpali katanya: “Sudah biasa orang membeli dan menaruh uang di atas jualannya”

Ada yang mengambil jualannya sekarang  tetapi membayar nanti sore
Kami semua jujur,  kalau mengambil barang jualan membayar kemudian
Saya terkesima melongok
Pak supir menjawab: “Orang susah mah gak nyusahin sesamanya yang hidup juga prihatin”
Kami semua jujur di sini

 
Manusia terminal

Kejujuran langka meneguhkan krisis diri di bumi nusantara
Jakarta di ruang-ruang berAC
Kejujuran langka karena banyak godaan korupsi
Mengambil uang dari bukan hasil usahanya sendiri

 
Manusia terminal

Tempat transit berjuta orang
Juga bagi mereka yang tercelik dari kebajikan  orang kecil
Mereka yang bangga dengan kejujuran bersama
Mereka saling menguatkan  meneruskan  kelurusan hidup  Sang Pencipta
Dalam kesehariannya

 
Manusia terminal

Rasa bangga berbuat jujur
Dari jerih payah sendiri
Biarlah makin banyak
mata hati manusia belajar kepolosan hidup
Mereka yang berbangga dalam kesederhanaan

 
Manusia terminal

Bus bergerak meninggalkannya
Saya masih terkesima
Menyimpan kuat keindahan penglihatan
cara kemaslahatan hidupnya

 
Manusia terminal

Ngngngng...deru bus makin menjauh
Ngngngng....masih mengiang

...jujur.... jujur..jujur....

 

 

 

Kamis, 23 Agustus 2012

Menenun ulang sejarah Maluku, sesudah konflik Maluku


     Menenun ulang sejarah Maluku,
     Sesudah Konflik Maluku

     Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Maluku adalah propinsi rempah-rempah dari kejayaan masa lalu. Dimulai dari deretan Maluku Kie Raha, empat pulau kecil berjejeran dari selatan ke utara yaitu Makian, Moti, Tidore dan Ternate (Lapian, 1990, 9; Adeney-Risakotta, 2005, 155). Istilah Maluku Kie Raha berarti empat gunung yang terlihat dari pulau Halmahera. Di antara keempat pulau ini, hanya Makian sebagai satu-satu penghasil cengkeh. Ternate dan Tidore terkenal sebagai pelabuhan perdagangan cengkeh.
 
Karena erupsi gunung api Kie Besi di Makian, masyarakat pindah ke pulau Bacan yang kemudian membentuk Kerajaan Bacan.  Demikian juga dengan pulau Moti, yang terkena imbas dari erupsi Kei Besi di Makian, pindah ke pulau Halmahera, yang disebut Jailolo yang kemudian menjadi kerajaan Jailolo (Adeney-Risakotta, 2005, 155) .  Keempat pulau “Maluku Kie Raha” tsb secara fisik merepresentasikan ikatan persaudaraan sekandung dari satu ayah bernama Jafar Sadek.
 
Sebagai pengertian kata, istilah Maluku yang berarti gunung merupakan kata asli diambil dari bahasa Galela dan Tobelo (Watuseke, 1977, 308). Pengertian istilah ini terutama diambil dari kata gabungan Maluku Kie Raha. Sehingga pandangan lain yang digagaskan oleh  M.C. Ricklefs (1993, [1981], 310) dengan  menganggap kata Maluku berasal dari bahasa Arab, Jazirat al- Muluk tidak tercermin dalam maksud bahasan ini.  Penggunaan kata Maluku kemudian dipergunakan ke seluruh teritori yang dikuasai oleh Sultan Ternate, sebagai penguasa yang sangat perpengaruh selama beberapa abad, dimulai dari abad ke-13 sd 17.   
 
Kepemimpinan Sultan Ternate mulai memudar setelah politik hongi yang dijalankan oleh Belanda (VOC) di abad ke-17. Politik hongi adalah upaya pembelian pohon cengkeh termasuk akar-akarnya. Bahkan yang sangat parah, pengembirian kepemimpinannya dilakukan dengan menanggalkan semua gelar ningrat yang diberikan Sultan Ternate kepada anggota keluarganya. Tujuannya adalah supaya mengurangi pembiayaan Sultan Ternate. Kemudian Belanda memberikan gaji kepada Sultan Ternate (Adeney-Risakotta, 2005).
 
Penghilangan cengkeh dari wilayah utara telah menghilangkan monopoli sekaligus mengembiri kekuasaan Sultan Ternate. Kebijakan Belanda (VOC) meneruskan kebijakan penanaman cengkeh di luar wilayah Sultan Ternate di bagian utara Maluku yang sudah dilakukan oleh Portugis.  Portugis kemudian diikuti oleh Belanda melakukan penanaman cengkeh        besar-besaran di wilayah Maluku Tengah, terutama di pulau Lease yaitu tiga pulau kecil menghadap pulau Ambon. Ketiga pulau tersebut adalah Saparua, Haruku dan Nusa Laut.  Di pulau Saparua, Portugis mendirikan suatu benteng yang kemudian direbut oleh Belanda dan diberikan nama benteng Duurstede. Dari sinilah, VOC mengontrol ekspor cengkeh ke Amsterdam. Pada tanggal 15 Mei 1817, Kapitan Pattimura dibantu masyarakat Saparua berperang dan merebut benteng Duurstede dari Belanda.
 
 
 
 
 
               (Meriam di benteng Duurstede di Saparua. Foto 
                     diambil oleh Rolin dengan kamera Jeff)
 
Walaupun kekuasaan Sultan Ternate berkurang, tetapi keberhasilannya menempatkan kimelaha-kimelahanya (setingkat dengan lurah) di seluruh wilayah kekuasaannya yang tersebar sampai ke Timor Timur sekaligus sebagai cara penyebaran agama Islam.  
Peran Sultan Ternate dalam penyebaran Islam ke seluruh Maluku sangat besar sekali.
 
Walaupun demikian, masih banyak wilayah-wilayah yang penduduknya belum beragama Islam. Di wilayah Maluku Utara saja, di Galela misalkan, sekalipun penempatan kepala Soa diberikan kepada seorang muslim, tetapi warga masyarakatnya tidak beragama Islam. Tobelo juga bisa ditempatkan sebagai contoh di mana warganya tidak satupun beragama Islam. Penolakan kepada Islam dilakukan oleh warga karena tindakan-tindakan Sultan Ternate yang tidak adil kepada warga sehingga menuai protes dengan melakukan perampasan-perampasan pada perahu-perahu Sultan maupun Belanda yang membawa bahan-bahan dagangnya (Adeney-Risakotta, 2005).
 
Islam Maluku merupakan salah satu Islam yang cukup tua sejak diperkenalkan di abad ke 13 bersamaan dengan kejayaan Sultan Ternate dalam membangun jaringan perdagangan dunia. Kehadiran Portugis dalam wilayah Sultan Ternate sekalipun sebentar, kurang lebih 66 tahun ternyata sangat berpengaruh untuk melakukan kristenisasi kepada wilayah-wilayah yang penduduknya belum beragama.  Kehadiran Portugis yang dibarengi dengan pengalaman pembebasan dari Islam di wilayah Iberia dan Andalusia di Eropa Selatan, membentuk caranya yang agresif dalam penyebaran agama Kristen.
 
Islam sebagai agama tidak lebih penting daripada etnis atau suku untuk Portugis. Portugis menyebut Islam dengan Moro yang diambil dari kata Moroko, orang –orang yang berasal dari Afrika.  Penyebutan Islam sebagai Moro juga dilakukan ketika Portugis berada di Maluku.  Pulau Morotai di Maluku Utara disebut untuk menyebut wilayah yang ditempati oleh orang-orang Moro (beragama Islam).  Kerajaan Katolik di sekitar desa Mede, Halmahera Utara juga disebut Morotia (Adeney-Risakotta, 2005). Ketika Portugis di usir oleh Ternate dengan mendapat bantuan dari Hitu dan Jawa, wilayah-wilayah inilah yang kemudian menjadi daerah Protestan, yang diserah terimakan kepada Belanda sebagai salah satu pasukan asing yang membantu Ternate.
 
Pengusiran Portugis berlangsung dalam perang yang cukup lama, misalkan dicatat dalam perang Hitu di mana pasukan Ternate mendapat bantuan dari pasukan Hitu dan dari Jawa.  Dampak dari paska perang ternyata memberikan pengaruh sangat besar bagi penerusan kepentingan Belanda di daerah ini. Kerugian perang harus segera di atasi termasuk juga memulihkan kerjasama antara warga masyarakat. Pada saat inilah konsep dari pela mulai diperkenalkan.
 
Saya pernah menulis tentang hubungan antara praktek pela di Maluku Tengah dengan pella yang dimaksudkan sebagai daerah penampungan pengungsi pada jaman Yunani. Pela sebagai gerakan orang bersaudara ternyata mempunyai kepentingan yang kuat sebagai bikinan dari Belanda. Pela adalah penamaan ikatan persaudaraan yang cara pemeliharaannya dilakukan dengan saling mengunjungi , tolong menolong dalam membangun bangunan umum, maupun kehadiran khusus pada acara-acara adat yang berlangsung di desa masing-masing. Dalam artikel berjudul  "Satu Dekade 11 September dan tarikan kerusuhan  Maluku",  saya menjelaskan tentang Pela (lihat blog: Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua).
 
Penekanan pada pela di Maluku Tengah menjadi sangat penting karena terkait dengan kepentingan dagang Belanda. Praktek yang sama seperti Pela terlihat juga pada desa-desa di Maluku Utara tetapi tidak disebut Pela seperti yang dilakukan di Maluku Tengah (Adeney-Risakotta, 2005). Pela dibedakan atas beberapa tingkatan. Dimulai dari istilah gandong yang berarti kakak beradik satu bapak satu ibu, kemudian pela makan sirih, dll. Contoh gandong bisa dilihat pada negeri atau desa Tulehu yang bersaudara dengan negeri Paperu di pulau Saparua. Orang-orang diajarkan turun temurun bahwa apa yang dimiliki oleh Paperu adalah milik orang-orang Tulehu maupun sebaliknya. Banyaknya orang Paperu membawa mikro mini, mobil penumpang milik orang Tulehu adalah satu bukti kedekatan antara dua gandong yang berbeda agama. Paperu adalah desa Kristen dan Tulehu adalah desa Muslim.
 
Maluku sebagai propinsi yang menggunakan kata Maluku merupakan hasil dari konstruksi ideologi Belanda.  Ambon merupakan pusat dagang yang dipilih untuk bersaing dengan Ternate. Kemajemukan di Ambon tidak bisa diragukan lagi karena hanya di kota Ambon inilah bahasa daerahnya sudah punah. Pulau-pulau di sekitar kota Ambon masih memelihara bahasanya masing-masing. Syukurlah, desentralisasi pada masa awal reformasi, 1998 memungkinkan pemisahan antara propinsi Maluku dengan pusat ibukota Ambon dari propinsi Maluku Utara dengan kota pemerintahan Ternate (sekarang Sofifi, di Jailolo).
 
Kuatnya praktek gandong dan pela di provinsi Maluku merupakan modal sosial kepada pemerintah dan masyarakat Maluku. Modal ini bukan saja berlaku pada jaman pemerintahan Belanda, tetapi juga sampai sekarang. Sesudah konflik Maluku, keinginan untuk menguatkan gandong dan pela menjadi salah satu tugas yang sudah difasilitasi dengan melibatkan  Gubernur Maluku sendiri.  Bersama dengan pemuda/pemudi muslim dan kristiani di Yogyakarta, saya memfasilitasi pertemuan dialog budaya Maluku pada tahun 2004. Dialog ini bisa menghadirkan raja-raja dari muslim dan kristen ke Yogyakarta.  Sebagai tindak lanjutnya adalah dilakukan pelaksanaan kumpul keluarga dan panas pela yang melibatkan langsung desa-desa di seluruh propinsi Maluku pada perayaan kota Ambon, 7 September 2006.
 
 
 
                (mesjid Siri Sori Islam terlihat dari pantai)
 
Dampak dari kegiatan ini, bisa terlihat langsung pada pelaksanaan rekonsiliasi di antara desa muslim dan kristen seperti yang terjadi dengan desa Siri Sori Nasrani yang musnah pada saat konflik tetapi kemudian dibangunkan lagi oleh masyarakat Siri Sori Islam maupun Siri Sori Nasrani. Radja Siri Sori Islam hadir pada acara Dialog Budaya Maluku tsb, yang menginisiasi pendirian kembali kampung Siri Sori Nasrani. Walaupun sebenarnya kampung - kampung nasrani lainnya yang terprovokasi dengan kekerasan massa di kota Ambon akhirnya terlibat pertama-tama menyerang kampung Siri Sori Islam. Pertahanannya yang dibantu oleh pasukan PKO (pasukan khusus operasi) malahan akhirnya menghancurkan kampung tetangganya, kampung gandongnya, yaitu Siri Sori Nasrani.
 
 
 
              (gereja Siri Sori Nasrani yang baru didirikan)
 
Sekalipun demikian, masih ada kampung kristen atau islam yang ditinggalkan oleh penghuninya karena ketiadaan rasa aman. Misalkan kampung Iha, dipulau Saparua, yaitu desa muslim tertua di Maluku Tengah memilih untuk meninggalkan desanya dan tidak pernah sejak konflik kembali menengok kuburan sanak keluarganya sekalipun. Masyarakat Iha sekarang tersebar ke pulau Seram (Nusa Ina)
 
Selain penyebaran Islam ke Maluku Tengah dimulai dari Maluku Utara, Maluku Utara menyumbangkan penempatan lokasi ulubalangnya ke seluruh wilayah kekuasaannya. Pemindahan ulubalalangnya juga sekaligus pemindahan warga masyarakat lainnya dari Maluku Utara ke pulau-pulau di Maluku Tengah.  Warga Maluku Utara di Maluku Tengah menjaga kesetiaannya dengan mengembangkan ritual agama Islam yang disesuaikan dengan konteks lokal.
 
Misalnya di Tulehu, setiap perayaan Idul Adha harus dilakukan “angkat adat” di mana pada kesempatan itu saudara gandongnya harus datang untuk bercakalele (menari dengan salawaku). Kemudian mereka yang muslim membagi daging korban kepada gandongnya. Sebaliknya ketika saudara gandong Peperu ada acara adat, maka ia akan mengundang gandongnya untuk bercakalele di rumah adat mereka di kampung Paperu. Rumah adat bernama balileo yang dibangun dari topangan tiang-tiang yang mencerminkan nama-nama klan satu keluarga. Setiap nama dari klan ada pada tiang-tiang penonggak balileo, termasuk juga nama tiang dari saudara sekandung muslim yang tidak tinggal satu desa.


  (Foto di atas menunjukkan balileo yang memperlihatkan tiang-tiangnya di negeri Paperu di pulau Saparua. Sebelah kiri adalah lokasi yang menyediakan dua batu datar berwarna hitam disebut  batu karamat sebagai tempat  bercakalele. Posisi meletakan batu karamat ditentukan oleh pengelompokkan negeri menurut tradisi pata lima atau pata siwa. Batu karamat di negeri Paperu diletakkan di antara pantai dan balileo yang menunjukkan akar tradisi pata lima sekalipun negeri ini adalah negeri Kristen)
 
 
Uraian di atas paling tidak mendorong masyarakat propinsi Maluku meninjau ulang tentang klaim asal usul manusianya yang dipercayai dari pulai Nusa Ina (pulau Ibu). Sebutan pulau Nusa Ina berarti pulau besar yang tidak ada hubungan langsung dengan penyebaran penduduk keluar dari Nusa Ina ke pulau-pulau kecil di sekitarnya. Sebaliknya pulau Nusa Ina menjadi tempat migrasi untuk alasan pembuangan maupun keamanan. Misalkan keturunan kesultanan Jailolo dari pulau Halmahera di Maluku Utara sesudah keratonnya dimusnahkan, mereka pindah ke pulau Nusa Ina (Adeney-Risakotta, 2005). 

Fenomena munculnya beberapa negeri seperti Nunusaku, Sahulau, dan Sir belum bisa disetarakan dengan kekuasaan yang terbangun dari sistem kerajaan seperti yang terjadi di Maluku Utara.  Apabila kemudian terjadi penguatan politik lokal yang dimotori oleh ketiga negeri di Seram, maka yang terjadi adalah proses kontektualisasi sekaligus pemutusan dari pengaruh kekuasaan di Maluku Utara sesudah pendudukan kekuatan Eropa di kepulauan Maluku.

Kedua, fenomena migrasi dari pulau-pulau kecil ke pulau Nusa Ina untuk tujuan keamanan karena jauh dari letusan gunung api seperti di pulau Banda dstnya. Sekalipun di Amahai pernah terjadi daerah yang patah karena terkait dengan gempa bumi yang dicatat Rumpius pada tanggal 17 Februari 1678. Gempa bumi ini menewaskan isterinya dan anaknya di kota Ambon.
 
 
Upaya mengeratkan persaudaraan antara gandong, dan pela terus dilakukan baik oleh pemerintah maupun individu. Trauma dari konflik Maluku masih turut membekas dalam ingatan masyarakat, tetapi sekaligus ada harapan baru tentang lahirnya kebutuhan untuk saling menguatkan di antara komunitas muslim dan kristiani. Penguatan ini harus tetap dilakukan untuk menghindari peran militer yang menjaga Maluku. Tugas penjagaan inilah yang harus diberikan kepada masyarakat Maluku itu sendiri. Mereka yang disebut gandong maupun pela.
 
Bersambung:
 
Heka Leka membangun Maluku Cerdas, menguatkan jejaring adat