Translate

Selasa, 26 April 2011

Wajah Indonesia dari Papua. Cerita Pembangunan dari Pasar!

Wajah Indonesia dari Papua. Cerita Pembangunan dari Pasar!
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta


Tulisan ini saya khusus buat untuk sahabat saya, Pdt. Sostenes Sumihe.

Mengenal Papua melalui cerita kakek dan nenek membekas dalam ingatan saya.  Papua dalam cerita masa kecil saya adalah Papua yang polos. Kepolosan mereka sama seperti kepolosan kakek saya, orang Jawa yang kemudian sangat dicintai oleh masyarakat di Serui. Apabila operasi gagal, keluarga yang sanaknya meninggal akan turun dari gunung untuk membuat perhitungan dengan rumah sakit. 
Sebelum informasi tentang kegagalan operasi yang menyebabkan kematian bagi saudara mereka tiba di kampung, seluruh petugas RS bersama keluarganya sudah dipindahkan di tansi (kantor polisi) yang mempunyai tembok-tembok tinggi untuk melindungi diri dari gencaran panas yang melintasinya. Kakek saya, seorang yang lembut akan menunggu kedatangan rombongan dari gunung dan menceritakan kejadiannya kepada mereka. Kelembutannya akan menenangkan kepanasan dan kesedihan sanak keluarga tersebut. Kemudian sesudah semuanya tenang, warga bisa pulang lagi ke rumah masing-masing.  Ini cerita masa kecil saya.
Perjalanan ke Papua untuk tugas universitas saya gunakan untuk menelusuri tapak silak nenek dan kakek. Ibu saya dibesarkan sampai umur 5 tahun sebelum mereka pindah ke Ambon. Ia sudah lupa bahwa pernah punya teman Papua kecil yang selalu tidur bersamanya. Saya ke rumah di mana ia lahir darinya saya menelponnya ke Jakarta. Ia sangat terharu.
Mungkin karena kedekatan saya dalam kenangan dan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan LPPM UKDW dengan masyarakat di Waropen, Papua, maka saya dihubungi tim survey otonomi khusus Papua untuk mengevaluasi kerja-kerja tersebut. Kegiatan evaluasi baru saja dilakukan beberapa minggu lalu.
Dalam evaluasi yang saya isi, ada pertanyaan yang menarik. Pertanyaannya terkait dengan cerita apa yang menarik yang saya rekam dari pembangunan di Papua.  Paparan Freeport tentang kerja-kerja mereka pernah disampaikan pada seminar nasional tentang kebijakan lokal  dalam pembangunan nasional yang diselenggarakan di UKDW. Paparan tsb menunjukkan bagaimana tanggungjawab sosial yang terbangun dari kerja Freeport. Tanggungjawab tersebut terbatas hanya kepada beberapa suku yang kepemilikan tanahnya sekarang merupakan areal dari Freeport.  Saya tidak menuliskan tentang kesan keberhasilan Freeport dan rempah-rempah hasil ekplorasinya yang dibagikan kepada suku tertentu di Papua.
Sampai sekarang penelitian tentang dampak kerja-kerja pembangunan di Papua masih terus berproses.  Saya ingat mendiskusikan situasi ini dengan Pdt Benni Giay ketika hadiri seminar internasional di ICRS Yogya bulan Januari yang lalu.  Keberhasilan pembangunan di Indonesia dicatat dari perspektif kaum intelektual, pemerintah, swasta dan bukan perempuan serta masyarakat marjinalnya.  Kadang-kadang saya katakan kepada suami bahwa saya ingin kembali ke masyarakat kerja dengan mereka. Dulu ketika muda kerja di pedesaan di Halmahera Utara. Mungkin sekarang saya akan ke Papua. Berbagai tanggungjawab lainnya di Yogyakarta masih menahan keinginan ini.
Tetapi rekaman tentang pembangunan dan keberhasilannya saya simpan mendalam di benak saya. Apa yang masyarakat Papua pikirkan ketika saya berjalan di pasar-pasar untuk melihat apa yang mereka sedang menjual?  Pasar bisa dipakai sebagai ukuran untuk melihat dinamika pencapaian keberhasilan ekonomi di suatu masyarakat.  Keterbatasan produk yang dijual di pasar yang ditawarkan oleh orang-orang Papua asli terekam kuat dalam diri saya.  Mereka hanya menjual sirih pinang, ubi-ubian dan sayur-sayur yang tidak memerlukan proses pembudidayaan.   Tidak heran makanan segar jarang dan harganya mahal di Papua.
Tetapi segera keluar dari pasar, saya temukan berbagai motor yang menjual aneka ragam produk sayuran segar. Mereka berhenti dan ada di mana-mana. Saya menggunakan mikrolet untuk menelusuri seluruh jalan-jalan di Jayapura, Biak dan Serui. Membandingkan siapa yang ada di jalan raya sebagai penjual dan siapa yang ada di pasar. Apa yang mereka jual dan siapa yang membeli. Terlihat dengan jelas, ketidakjelasan arah kebijakan pembangunan di Papua yang menyediakan hanya infrastruktur seperti pasar tetapi tidak mempersiapkan sumber daya manusianya.
Apakah ini bagian dari negosiasi yang sedang dilakukan antara pemerintah dengan kaum pendatang yang diharapkan bisa mengisi percepatan pembangunan.  Roda perekonomian perlu digerakkan sehingga pengisian gap pembangunan di Papua bisa dilakukan oleh kaum pendatang. Ketika perekonomian semu ini berjalan dengan baik sesudah sistem bergerak dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang ada, maka target pembangunan untuk penguatan kapasitas orang Papua bisa saja terlupakan.
Jadi inilah cerita saya kepada surveyor tentang pembangunan dan kebijakan nasional untuk daerah operasi khusus di Papua. Saya mendorong para intelektual di Papua untuk membangun kepedulian dalam mengevaluasi produk pembangunan yang terhenti pada rupa infrastruktur. Keberhasilan pembangunan bukan pada infrastrukturnya tetapi terletak pada berapa persen dari anggaran belanja daerah dialokasikan untuk berbagai kegiatan pendidikan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan baik dilakukan secara formal maupun informal. Pembangunan infrastruktur dengan anggaran besar punya potensi korupsi di dalamnya.
Jadi teman-teman di Papua bisa membentuk aliansi peduli anggaran belanja pronvinsi dan mendiskusikan besaran dan mekanismenya. Mungkin tentang tata caranya saya harap menulis secara terpisah. Juga termasuk proses pengorganisasian kelompok peduli pembangunan di Papua perlu dibahas tersendiri. Pemikiran strategi pembangunan daerah harus merupakan proses kajian bersama antara masyarakat, legislatif dan eksekutif. Ini tantangan yang harus diselesaikan dibayar oleh para intelektual Papua yang peduli untuk mengawal pembangunan di sana.




Wajah Indonesia dari Yogyakarta. Hutang Indonesia untuk Yogyakarta!

Wajah Indonesia dari Yogyakarta. Hutang Indonesia untuk Yogyakarta!
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta

Saya sudah lama mendiskusikan posisi saya di manakah saya dalam perdebatan masyarakat dan pemerintah pusat-daerah tentang keistemewaan Yogyakarta. Saya mendiskusikan dengan teman-teman di Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah DI. Yogyakarta.  Beberapa dari mereka mendorong saya menuliskan tentang pemikiran tersebut. Tetapi saya sadar, saya bukan politisi. Apa tujuan saya menulis kalau dampaknya hanya untuk menunjukkan bahwa perempuan juga bisa berpikir? 
Ketika saya menjadi kritis untuk diri sendiri, saya balik bertanya, jadi apa yang saya pikirkan? Sekarang saya menulis saja apa yang saya pikirkan. Ada alasannya. Pertama-tama apa yang saya pikirkan saat ini sudah saya katakan  pada orasi hari Kartini ketika Forum  Silaturahmi Perempuan untuk Keistimewaan Yogyakarta melakukan hayatan besar-besaran dengan menghadirkan kurang lebih 2000 perempuan di podium dan halaman gedung DPRD Propinsi DIY.  
Saya ingin pertama-tama meletakkan perspektif saya dalam membedah keistimewaan Yogyakarta. Teman-teman mungkin sudah mengerti dengan jelas bahwa tulisan-tulisan saya dibentuk dalam kerangka perspektif perdamaian. Bersama teman-teman Koalisi Perempuan Indonesia, diskusi tajam sering dilakukan, tetapi proses bersama yang paling dipentingkan. Mencari kebenaran dari setiap kebijakan perlu dilakukan tanpa bertujuan untuk menjelekan orang lain.  Apalagi dengan sengaja membunuh karakter seseorang demi kepentingan kekuasaan yang ingin diraihnya.  Perempuan tidak luput dari perilaku politik kepentingan yang mengkristal pada pembunuhan karakter bahkan adu fisik.  Menghadirkan diri tanpa kepentingan hampir sulit dipercayai banyak orang. Tapi kita bisa lihat seseorang dari buah yang dihasilkannya. Perlu waktu dan tidak tergesa-gesa. Saya pikir ini adalah sikap dan posisi saya. Mungkin dengan cara ini, pemikiran tentang jalan keluar menjadi lebih kuat penampakannya.
Jadi kembali ke keistimewaan Yogyakarta, menurut saya kembali ke prasasti sejarah diri Yogyakarta. Ketika Indonesia belum terbentuk, Yogyakarta menyumbangkan kepada calon bangsa berbagai perkumpulan mahasiswa dan perempuan. Gerakan Taman Siswa yang sangat mempengaruhi tata cara pendidikan di masa depan dari Indonesia muda, sejak dulu di awal kemerdekaan hingga kini.  Yogyakarta memberikan sumbangan yang sangat penting bagi pengembangan sumber daya manusia di Indonesia.
Gerakan Taman Siswa inilah juga yang mendorong terbentuknya kongres perempuan pertama tanggal 22 Desember 1928. Sesudah kemerdekaan RI, landasan historis diperlukan untuk menelusuri tapak silak perjalanan pemikiran dan aksi kemerdekaan Indonesia, maka berbagai kongres yang pernah digagaskan ditetapkan sebagai dasar perjuangan Indonesia selanjutnya. Penetapannya diformulasikan sebagai hari nasional. Tujuan penetapan bersifat historis terutama untuk mengakarkan perjuangan Indonesia pada sejarah diri dan sejarah daerah-daerah.  Hal ini harus dilakukan karena Indonesia sebagai bangsa belum terbentuk.
Hilangnya pemaknaan hari Ibu, sebagai hari perempuan Indonesia dalam mendukung perjuangan pembebasan dari penjajahan terasa selama regim Orde Baru. Domestifikasi perempuan melalui gerakan PKK melukai banyak perempuan aktivis di Indonesia. Muncullah nama-nama seperti Nursyahbani Katjasukana yang bersama-sama dengan berbagai perempuan mendeklarasikan gerakan perempuan baru Indonesia melalui koalisi perempuan Indonesia. Tujuannya mengembalikan semangat perjuangan hari Ibu dalam domain politik. Artinya perempuan juga bisa terlibat menata jalanannya pemerintah negara seperti keterlibatannya dalam suatu rumah tangga.  Hasil reformasi ini turut mencatat Yogyakarta sebagai propinsi bersejarah di Indonesia dalam mengikatkan kembali ingatan bersama tentang suatu cita-cita yang sudah lama dihilangkan sekarang ditemukan dihidupkan kembali.
Mengapa Yogyakarta sebagai sumber inspirasi pergerakan di Indonesia? Saya ingat dengan jelas, pergerakan reformasi sebenarnya dimulai dari Yogyakarta sebelum berpindah ke Jakarta. Kota tanpa batas ketika semua pemuda/I bersatu untuk menghentikan penerusan regim Orde Baru.
Kesejarahan Yogyakarta adalah suatu berkat untuk Indonesia.  Semua orang mau tinggal di Yogyakarta karena di sinilah tempat perdamaian. Saya ingat di Yogyakarta saya menemukan selebaran yang diedarkan laskar jihad tentang RMS di Maluku Utara padahal di sana tidak ada sedikitpun indikasi penyebaran RMS seperti saya jelaskan dalam disertasi saya. Tetapi di sini baik radikal dari titik liberal ke titik fanatik bisa tinggal bersama-sama.  Ketika berbagai upaya untuk memfasilitasi perdamaian di Maluku gagal, di Yogyakartalah, saya bisa berjejaring dengan pemuda/I muslim dan Kristen dari Maluku untuk merencanakan kegiatan dialog budaya Maluku. Bahkan Sri Sultan dan keluarganya membuka pintu kraton untuk menjamu 30 raja dari negeri Muslim dan 30 raja dari negeri Kristen. Semua kegiatan ini dilakukan tanpa publikasi untuk menjaga penerusan perdamaian di Maluku.
Pertanyaan saya adalah, apakah kebijakan pemerintah pusat untuk mengubah status keistimewaan Yogyakarta melalui proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur bisa menjaminkan perdamaian bagi seluruh masyarakat di Yogyakarta termasuk juga bagi masyarakat di seluruh Indonesia. Yogyakarta adalah tempat di mana terpampang barometer untuk perdamaian di Indonesia.  Hanya di Yogyakarta sajalah, saudara/I saya, kaum muslim dari Ahmadiyah bisa hidup dengan tenang.  Mereka hidup bersama Front Pembela Islam yang juga ada di kota ini, termasuk juga berbagai gerakan agama lainnya, seperti Laskar Jihad al sunnah wa jamaah.
Ketika kita memerlukan model kerukunan hidup umat beragama, berbagai etnis dari berbagai daerah, berbagai lapisan masyarakat dengan aliran-aliaran agama dan kepercayaan, kaum marjinal karena subordinasi jendernya, di sinilah, di Yogyakarta harapan untuk suatu visi mulia dari kehidupan bersama bisa terlihat.  Kita semua perlu kewibawaan dari pengayom masyarakat. Yogyakarta melalui kewibawaan kraton Yogyakarta dan Paku Alam menampilkannya dengan sangat bersahaya. Ketulusan mereka tanpa keberpihakan kepada kelompok-kelompok yang difavoritkannya merupakan suatu inspirasi bagi kita semua di Indonesia.
Kita perlukan ketenangan dan kedamaian. Pemimpin yang bijaksana dalam negara Indonesia perlu menyediakannya supaya ia tetap dikenang sebagai negarawan bangsa ini. Perempuan perlu memikirkan tentang perdamaian daripada perdebatan kusir tentang penetapan dan pemilihan. Karena hanya dengan situasi damai, kita bisa membesarkan anak-anak dan keluarga. Siapapun perempuan hati nuraninya menjerit ketika melihat kekerasan,  kehancuran untuk memecahkan anak-anaknya sendiri dan anak-anak bangsanya.
Maka ketika hak atas kerukunan, hak untuk hidup damai hilang atau mau dihilangkan, maka perempuan perlu mempertanyakannya pada pemerintah. Saya mempertanyakannya sekarang kepada pemerintah. Saya tidak mengikutkan anggota organisasi saya ketika pertanyaan ini disampaikan dalam pidato saya pada hari Kartini. Saya lakukannya untuk menyentuh hati perempuan. Supaya perempuan berani berubah, bisa memutuskan sendiri pilihan politiknya, termasuk berani bersama-sama bertanya kepada pemerintah. Pertanyaan yang paling esensi, dapatkah pemerintah menjaminkan perdamaian di Yogyakarta apabila pilihan pemilihan gubernur /wkl gubernur sebagai tanda penampakan dari apa yang disebutkan “demokrasi”. Demokrasi menurut siapa? Kita harus balik bertanya. Termasuk bertanya apakah demokrasi bisa dicapai tanpa kekerasan mengingat Yogyakarta adalah kota miniature Indonesia. Kota Bhineka Tunggal Ika adalah Yogyakarta.  
Biarkanlah Yogyakarta mendapat haknya untuk tetap tenang. Kerukunan antara mahasiswa dari berbagai daerah adalah contoh yang sangat baik untuk diperlihatkan kepada Menteri Dalam Negeri, Presiden RI dan seluruh anggota DPR RI. Tanpa kewibawaan Sri Sultan dan Paku Alam, miniatur kecil Indonesia akan menjadi neraka untuk semua.  Budaya kerukunan dari kraton sudah menjiwai semua orang Yogyakarta. Dampaknya terlihat pada alumni Yogyakarta yang kembali ke daerah dengan perspektif kerukunan yang sangat alamiah. Mereka tidak berteori tentang perdamaian, tetapi mereka sendiri mengalami hidup kerukunan itu.
Yogyakarta sudah memberikan terbanyak, termanis untuk Indonesia. Maka marilah kita terus mendorong pemerintah eksekutif dan legislatif untuk segera menuntaskan tugas mereka menghasilkan RUUK yang memelihara kepentingan rakyat banyak bukan sekedar kepentingan kekuasaan kelompok tertentu. Itulah ringkasan orasi saya pada hari Kartini, 21 April 2011 di podium yang tersedia di gedung DPRD  I propinsi DIY.
Hidup Yogyakartaku!

Senin, 25 April 2011

Negaraku di manakah engkau ketika diriku diperangkap?

Negaraku di manakah engkau ketika diriku diperangkap?
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta


Fenomena menghilangnya mahasiswa-mahasiswa dari kota pelajar, di Yogyakarta karena terjaring gerakan cuci otak dari NII mulai terungak. Ketika korban mulai diberikan kesempatan untuk berbicara, karena ada jaminan dari otoritas pendidikan, seperti universitas, media mulai berani memuat cerita-cerita mereka. Koran lokal di Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat memberitakan tentang proses penjaringan bermodus penipuan yang dilakukan kepada mantan-mantan simpatisan NII (KR, 25 April 2011).

http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=237890&actmenu=35

Penjaringnya pada umumnya perempuan berjilbab yang memulai perekruitman dengan menyetir ayat-ayat suci Al Quran. Dosa-dosa negara yang dikaitkan dengan dosa-dosa pribadi target dbentangkan untuk menunjukkan keterhubungannya dengan akibat dosa bersama bagi krisis-krisis yang dihadapi Indonesia saat ini. Bencana alam, kegagalan kepemimpinan Indonesia dalam mengatasi berbagai masalah bersama dilihat sebagai bentukan dari ketidaksetiaan pribadi dan kolektif dalam menerapkan pola kehidupan seperti yang diamanatkan dalam Al Quran.

Seperti dihipnotis, korban-korban dalam pengakuan mereka kemudian dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta di mana mereka menerima sederetan ajaran termasuk untuk melupakan dirinya sendiri. Dalam ketidakberdayaan mereka secara mental,  karena tekanan terhadap tanggungjawab pribadi mendukung gerakan kolektif membebaskan Indonesia dari maskiat, mata mereka dibalut dibuat tertidur dalam perjalanan dari Yogyakarta ke Jakarta.

Komunikasi dengan orang tua dan keluarga diputuskan. Orang tua dianggap hambatan untuk mengikuti jalan Allah seperti yang dituliskan dalam AL Quran. Dengan memberikan identitas baru kepada pengikut awal ini, diharapkan mereka bisa memulai perjuangannya untuk membangun kehendak Allah mewujudkan barisan masyarakat negara islam indonesia. Sayangnya perjuangan yang mulai ini ternyata berkedok kebohongan dan penipuan karena tujuan melupakan orang tua akhirnya berakhir pada upaya penguasaan semua harta orang tua  untuk disumbangkan bagi pergerakan pewujudan NII.

Menarik mengkaji lebih lanjut tentang beberapa kombinasi cara kerja NII yang terlihat dari testimoni mahasiswa-mahasiswa tersebut. Pemberian identitas baru sebagai muslim yang taat pada Al Quran ternyata dilakukan dengan menghancurkan karier diri sendiri terutama mahasiswa yang sedang belajar, menipu orang tua dengan menjual harta mereka. Modus operadus hipnotis sering dibicarakan dikatakan teman-teman saya yang pernah ditepuk pundaknya kemudian digiring ke ATM untuk mengambil uang sesuai dengan permintaan dari pelaku. Menggunakan hipnotis berbarengan dengan pencucian otak melalui pemaparan ajat-ajat suci merupakan modus operadus yang diakui oleh korban sangat melelahkan mereka.

Saya menulis ini untuk bertanya di manakah negaraku Indonesia, di manakah pemerintah Indonesia  ketika berbagai kasus-kasus ini mulai terkuak dalam media cetak. Sebenarnya modus operandus penjaringan simpatisan dan anggota NII sudah dilaporkan dalam jaringan dunia maya sejak tahun 2004 an. Bahkan di Facebook ada komunitas dengan nama "Waspada Terhadap Negara Islam Indonesia KW9 Pesantren Al-Zaytun".

Syukurlah masyarakat Indonesia, saudara-saudara saya sebangsa, kaum muslim Indonesia segera menyadari keganjilan dan kesesatan dari gerakan NII ini. Berbagai forum berbasis umat dan masyarakat terbentuk untuk menyiasati masalah yang sedang kita hadapi bersama.

Menurut saya, NII memang sengaja dipelihara oleh negara. Siapa yang pelihara kita semua tidak tahu juga tidak berani mengungkapkannya. Ketika tuduhan diberikan kepada Maluku sebagai daerah separatisme RMS, saya mempertanyakan kebenaran tuduhan tersebut (Risakotta, Farsijana: 2004). Sekarang saya juga mempertanyakan kebenaran dari kasus NII ini.  Siapakah sebenarnya yang memelihara bibit sektarian, perpecahan dalam diri pemuda/i muslim di Indonesia saat ini? Siapakah yang dengan sadis membangun ajaran untuk pemuda/i ini membenci orang tuanya?

Apakah tujuan sebenarnya dari upaya pemeliharaan gerakan NII ini dalam negara Indonesia saat ini? Apakah pemerintah sengaja membiarkan supaya masyarakat merasa resah dan merindukan kembali tentara untuk melindungi Indonesia dari separatisme?

Jalan hidup bersama Allah adalah kerinduan semua insan manusia. Abu Hamid al-Ghazali yang hidup di antara  tahun 1058-1111, seorang filsuf dan teolog Islam terkenal menuliskan tentang hakekat manusia pada dirinya ada sifat-sifat anjing, babi, setan tetapi sekaligus ilahi.  Manusia dalam mencari Allah harus terus menerus menguji sifat-sifat non ilahi yang penampakannya bisa terlihat dari praktek hidup yang merusak hubungan diantara orang tua, keluarga dan dalam masyarakat.

Pemuda/i Indonesia sedang menguji dirinya sendiri. Mereka sudah jenuh dengan kemunafikan yang ditawarkan oleh dunia dengan sifat-sifat hedonisme, politik liberalisme yang bebas menekankan hak-hak individu yang memerdekakan sekaligus memojokkan kebersamaan dan kekuatan ilahi dari agama-agama. Dalam keadaan inilah, memang sangat mudah pemuda/i Indonesia dipengaruhi. Sangat mudah, pemuda/i menjadi target dari pencucian otak yang dilakukan atas nama agama. Sudah saatnya pemuda/i Indonesia mempertanyakan haknya untuk melindungi dirinya dari berbagai bentuk upaya siapapun memanipulasi diri mereka. Inilah saatnya untuk bisa menguji sifat-sifat kebaikan dan keindahan dalam diri sendiri.

Karena itu, negaraku, berikanlah kesempatan kepada pemuda/i Indonesia untuk membangun keimanan mereka dengan cara Indonesia yang mereka lihat dari kehidupan nyata. Persaudaraan bersama yang saling menghormati, karena alam raya Indonesia yang mengizinkan semua orang, semua makhluk hidup bersama-sama dengan damai.  

Minggu, 24 April 2011

Teritori Indonesia awal adalah teritori etnis!

Teritori Indonesia awal adalah teritori etnis!
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta


Teritori Indonesia awal adalah teritori etnis yang didominasi oleh beberapa pengaruh peradaban seperti Hindus, Budhis, Islam dan sekarang negara kesatuan Indonesia. NKRI merupakan teritori Indonesia sebagai negara kesatuan yang dilahirkan sebagai Indonesia sesudah perang dunia kedua ketika pengakuan kedaulatan umat manusia menjadi pemicu lunturnya kekuasaan ala kerajaan, kesultanan, "pan" agama dsbnya.


Kesadaran tentang kebangsaan Indonesia ini adalah kesadaran dari kenyataan pengalaman kepahitan kehancuran dunia sesudah berbagai perang yang terjadi karena pertarungan kekuasaan.

Pembentukan identitas negara, identitas pendudukan dibangunkan dalam identitas bersama yang menggali nilai-nilai kerukunan, keimanan, kesatuan, persatuan, keadilan, kemusyawaratan yang ada dalam kehidupan bersama. Ideologi digali dari kekayaan praktek kehidupan Indonesia dengan sekaligus memperhatikan pergolakan dunia saat itu. Maka lahirlah Pancasila! Perjuangan Indonesia diinspirasikan oleh perjalanan pencarian jati diri dari deklarasi kemerdekaaan Amerika Serikat yang memberikan inspirasi bagi kebangkitan revolusi Perancis.

Bersyukurlah kita mempunyai pemimpin bangsa yang bergumul bersama tentang Indonesia dalam konteks dunia yang saling menginspirasikan.

Indonesia yang dimimpikan juga tidak terlepas dari kecacatan anak-anak bangsa yang memimpikannya sekaligus mengendalikan kekuasaan untuk membangun Indonesia. Kecacatan itu dicatatan bersama oleh anak-anak bangsa.

Bisakah proses demokrasi yang kita inginkan bersama dicapai dan dilakukan dengan damai? Mungkin cita-cita inilah yang paling penting untuk Indonesia sekarang ini sehingga bisa memberikan sumbangan kepada perdamaian dunia di muka bumi saat ini!

Bisakah perjuangan mencapai keadilan dan demokrasi di Indonesia dilakukan dengan iklas tanpa rekayasa yang memanipulasi warga masyarakat dengan menggunakan terutama perbedaan agama sebagai alat legitimasi politik berbangsa?

http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=4085&coid=3&caid=31&gid=2


Praktek-praktek pergolakan yang menggunakan cara-cara menebarkan fantasi dan fanatisme bagi anak-anak bangsa umurnya pendek! Rakyat semakin sadar untuk mengerti berbagai alat politik konspirasi yang dikendalikan dan diarahkan kepadanya. Rakyat sudah sadar tentang politik kepentingan para elitis yang menggunakan berbagai simbol dengan tujuan memecahkan bangsanya sendiri. Jadi lebih baik marilah kita membangun Indonesia dengan cara-cara yang benar, tepat, dan bermutu. Karena hanya dengan cara inilah Indonesia akan memberikan kehidupan kepada seluruh warganegaranya, juga warga dunia lainnya!
Hiduplah Indonesia untuk semua!

Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua




Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta

 
Saya ingat ketika kami sedang di Monemvasia, yang disebut "Rosemary of the East", di Yunani, seseorang peziarah yang bertemu di sana sangat terkesan ketika ia tahu bahwa kami dari Indonesia. Dengan setengah terkejut, masih segar dalam ingatan saya, bapak itu mengatakan: "Indonesia!". Kemudian ia menjelaskan arti kata Indonesia. Kata Indonesia berasal dari bahasa Yunani yang berarti kepulauan di selatan India. Saya sangat bersemangat karena hanya ketika di Monemvasia, Yunani saya baru mengerti tentang nama Indonesia. Ketika itu saya berumur 37 tahun. 

http://www.360cities.net/image/monemvasia-peak-agia-sofia-west#295.20,24.80,80.0

 
Itu kira-kira di bulan Januari 2002, ketika suami dan saya masih tinggal di Amsterdam untuk menunggu saya menyelesaikan penulisan disertasi di Amsterdam School For Social Science Research. Suami saya pada waktu itu sedang meneliti di International Institute for Asian Studies (IIAS) dengan kantor cabangnya di Amsterdam. Pada kesempatan itu, kami mengunjungi beberapa tempat untuk belajar sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Eropa. 

Menulis disertasi tentang Pulau Rempah, the Spice Islands di Maluku Utara membawa peziarahan intelektual saya ke semua bacaan tentang apa yang terjadi pada masa sebelum pedagang Eropa berlayar ke timur.

Minat sejarah yang tinggi menyebabkan saya mengajak suami untuk mengunjungi Portugis (terutama Lisbon), Spanyol (Madrid, Andalusia), Yunani, dan Turki (Istambul) disamping Italia (Roma, Florence dan Venizia) , Swiss (Basel, Zurich, the Alp), Jerman (Berlin, Bon, Munich), Inggeris (London, Scotland dan terutama mengunjungi Cumbria untuk belajar dari John Ruskin) yang ditambahkan dalam perjalanan selama setahun hidup bersama di Amsterdam. Ada beberapa perjalanan yang saya lakukan sendiri seperti ke Bari dan Verona di Italia, dan Paris (Perancis).

Perjalanan itu juga makin menarik karena kami juga mengunjungi kota Oslo, kotanya Nobel di Norwey dan Denmark ketika saya menerima beasiswa perjalanan bersama Nordic Institute for Asian Studies (NIAS) di Copenhagen. Posisi negara-negara Eropa paling utara sangat menarik dalam sejarah perdamaian dunia, karena dari sanalah ide netralisasi dalam perang muncul. Seperti Indonesia dikategorikan dalam negara-negara non blok pada era sesudah Perang Dunia II, negara-negara Skandinavia juga ada dalam posisi yang sama. Kemudian penganugerahan Nobel menjadi ciri khas dari Skandinavia (Oslo) memang bukan suatu kebetulan.  

Sekarang saya merenungkan kembali tentang Indonesia. Sekarang saya memutuskan untuk membuat blog dengan judul Indonesiaku, Indonesiamu, Indonesia untuk semua karena saya ingin kita semua belajar bersama tentang, dari dan untuk Indonesia. 

Sebelum kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia sebagai negara kesatuan tidak pernah ada. Nama Indonesia sudah terkenal terutama di kalangan para pedagang baik dari Timur maupun Barat. Kemerdekaan Indonesia memindahkan sekaligus teritori yang pada waktu itu sudah terbentuk sebagai teritori dari the Dutch East Indicsh, teritori dari Hindia Belanda. Beberapa daerah yang pada waktu itu tidak pernah termasuk dalam teritori kekuasaan Hindia Belanda kemudian bergabung dengan Indonesia, seperti Aceh dan Papua Barat.

Yogyakarta sebagai kerajaan yang diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda malahan menawarkan Indonesia Muda sebagai ibu kota sementara RI Indonesia sambil melakukan perjuangan untuk memperoleh pengakuan dunia tentang kedaulatan bangsa Indonesia.

Kemudian 27 Desember 1949 sesudah empat tahun perang revolusi, dan diawali oleh konferensi meja bundar yang diprakarsai oleh PBB pada tanggal 4 Agustus 1949, Belanda akhirnya menerima kedaulatan Indonesia. 

Blog ini akan merefleksikan perjalanan bersama bangsa kita. Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua dalam kaitan dengan perjalanan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia. Blog ini saya sengaja menulis dalam bahasa Indonesia, untuk kita semua orang Indonesia. Indonesia yang kita banggakan dan cintai. Hiduplah Indonesia untuk semua!